Sabtu, 27/04/2024 03:23 WIB

Pemerintah Diminta Serius Tekan Angka Perkawinan Anak

Linda Agum Gumelar menyebut angka perkawinan anak di Indonesia saat ini masih tergolong tinggi.

Menteri PPPA periode 2009-2014 Linda Agum Gumelar (Foto: Muti/Jurnas.com)

Jakarta, Jurnas.com - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) periode 2009-2014 Linda Agum Gumelar menyebut angka perkawinan anak di Indonesia saat ini masih tergolong tinggi.

Selain faktor ekonomi, tingginya angka perkawinan anak ini juga disebabkan oleh kebiasaan, adat istiadat, juga asumsi masyarakat setempat. Karenanya, menurut Linda, rekayasa budaya (cultural engineering) diperlukan untuk menekan angka tersebut.

Linda yang juga Ketua Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI) itu menilai masyarakat masih sangat dipengaruhi oleh faktor pemahaman tafsir agama yang tidak selalu tepat dengan ajaran sebenarnya, bahkan terkesan mendukung praktik perkawinan anak.

"Hal inilah yang harus diluruskan terkait pemahaman yang keliru terhadap penafsiran agama, khususnya terkait ketentuan perkawinan anak," terang Linda dalam webinar `Pendekatan Agama dalam Mencegah Perkawinan Anak` yang digelar oleh Yayasan Mitra Daya Setara pada Senin (14/12) sebagai rangkaian Peringatan Hari Ibu (PHI) Ke-92 Tahun 2020.

Senada dengan Linda, Menteri PPPA Periode 2004-2009, Meutia Hatta sekaligus Pembina Yayasan Mitra Daya Setara (MDS) menyebut perkawinan anak masih menjadi tantangan besar yang dihadapi bangsa ini.

Menurut data BPS, dalam kurun waktu 10 tahun (2008-2018), penurunan angka perkawinan anak di Indonesia tergolong rendah yaitu 3,5 persen, dan penyebaran kasusnya berada di banyak provinsi.

Jumlah anak perempuan yang mengenyam pendidikan selama sembilan tahun di sekolah pun masih di bawah 10 persen. Menurut Meutia angka ini jauh dari harapan di tingkat nasional.

"Faktor budaya menjadi hal yang harus dikaji lebih dalam, untuk memastikan upaya penanganan tingginya prevalensi perkawinan anak di berbagai provinsi wilayah Indonesia telah dilakukan. Itulah sebabnya rekayasa budaya saat ini, merupakan tuntutan yang harus dilakukan segera, dan tidak bisa ditunda lagi," tegas Meutia.

"Rekayasa budaya harus diawali dari sini, dan selanjutnya harus menjadi bagian dari pembangunan karakter bangsa Indonesia, sebagai bagian dari membangun kebudayaan nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menghasilkan manusia Indonesia yang unggul," imbuh Meutia.

Meutia menambahkan, rekayasa budaya memerlukan proses panjang yang kontinu, harus dipantau dan dievaluasi secara berkala.

"Sejumlah kementerian terkait di bawah Kemenko PMK, perlu menyusun program-program yang serius dan saling melengkapi untuk menangani perkawinan anak, berkaitan dengan tujuan melaksanakan pembangunan karakter bangsa Indonesia secara serius dan terfokus, demi peningkatan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Khususnya bagi kaum perempuan Indonesia saat ini, mencegah perkawinan anak adalah bagian dari upaya peningkatan kualitas hidupnya agar setara dan saling melengkapi dengan laki-laki dalam membangun Indonesia yang memiliki berbagai tantangan baru dari zamannya, kini dan di masa depan," jelas Meutia.

Sementara itu, Menteri PPPA Bintang Puspayoga menjelaskan bahwa praktik perkawinan anak seringkali dilakukan di dalam keluarga dan masyarakat karena dianggap akan berguna dan membawa kebaikan bagi perempuan di kehidupannya.

"Padahal perkawinan anak merupakan masalah sosial yang masif dan memasuki tahap darurat. Semua tradisi, adat, dan budaya memang memiliki makna dan maksud yang baik. Namun, dengan perkembangan yang ada, baik secara sosial, budaya, dan ilmu pengetahuan, kita harus menyesuaikan pola hidup, pola perilaku, dan pola pikir dengan perkembangan zaman, tentunya dengan tidak meninggalkan kebaikan dan makna dari tradisi tersebut," kata Menteri Bintang.

"Dengan begitu, identitas kita akan tetap terjaga dan tidak melanggar moralitas. Berbagai konstruksi sosial yang merugikan perempuan dan anak dalam bentuk apapun harus dihapuskan," tambah Menteri Bintang.

Pada 2019, terdapat 22 provinsi di Indonesia yang memiliki angka perkawinan anak lebih tinggi dari angka nasional. Bahkan UNFPA memprediksi sekitar 13 juta perkawinan anak akan terjadi pada 2020-2030 akibat pandemi Covid-19.

Adapun data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, menunjukan terdapat 34.000 permohonan dispensasi perkawinan yang diajukan pada Januari hingga Juni 2020. Dari 97 persen permohonan yang dikabulkan, 60 persen di antaranya diajukan oleh anak. Merespon hal ini, Menteri Bintang menekankan perlunya pengetatan syarat dan prosedur pemberian dispensasi perkawinan.

"Saya memohon dukungan seluruh pihak dalam proses penyusunan dan pengesahan Rancangan Peraturan Presiden Tentang Dispensasi Kawin yang termasuk rancangan usulan baru dalam Prolegnas pada 2021. Menghapuskan praktik perkawinan anak bukan hal yang mustahil. Jika kita menyamakan persepsi, menyatukan tujuan, dan bergandengan tangan, saya yakin kita dapat menghapuskan praktik ini," ujar Menteri Bintang.

Akademisi sekaligus Staf Khusus Menteri Negara Pemberdayaan Perempuaan Periode 1999-2001, Prof. Zaitunah menjelaskan pentingnya upaya pendekatan agama dalam mencegah perkawinan anak.

Zaitunah menuturkan bahwa Islam mengajarkan pentingnya kematangan fisik (Baligh) dan kematangan psikis (Aqil), serta kematangan mental bagi pasangan yang ingin menikah.

"Jika salah satu atau keduanya belum siap, maka harus ditunda dari pada nantinya menjadi mudlarat (menolak keburukan). Dalam hadis Rasulullah SAW pun tidak ada ajaran atau dorongan untuk menikah muda," terang Zaitunah.

Webinar `Pendekatan Budaya dalam Mencegah Perkawinan Anak` diselenggarakan Kementerian PPPA bersama Yayasan Mitra Daya Setara sebagai rangkaian kegiatan Peringatan Hari Ibu ke-92 tahun 2020, dan dihadiri lebih dari 700 peserta yang terdiri dari organisasi perempuan, Dinas PPPA seluruh Indonesia, akademisi, organisasi keagamaan, LSM peduli perempuan dan anak, Kowani, dan BKOW, dengan dipandu oleh dosen FISIP, Unair Pinky Saptandari.

Yayasan Mitra Daya Setara merupakan lembaga yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan, sekaligus wadah bagi para pensiunan KemenPPPA yang diinisiasi oleh Menteri PPPA Periode 2014-2019, Linda Amalia Sari Gumelar pada 26 Februari 2019.

Yayasan MDS memiliki visi yaitu mewujudkan lembaga yang berperan aktif, kreatif dan inovatif dalam menyelenggarakan pemberdayaan perempuan, kesetaraan gender, pemenuhan hak anak, dan perlindungan anak. Selain itu, hadir dengan misi yaitu melakukan advokasi dan sosialisasi; melaksanakan pemberdayaan masyarakat; menyelenggarakan KIE; dan melakukan pemberdayaan SDM dari Yayasan.

KEYWORD :

Perkawinan Anak Linda Agum Gumelar Meutia Hatta Bintang Puspayoga




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :