Jum'at, 19/04/2024 16:25 WIB

Darurat Perokok Anak, Revisi PP 109/2012 Diminta Segera Diselesaikan

Aliansi Masyarakat Sipil Perlindungan Anak untuk Darurat Perokok Anak mendesak Menteri Kesehatan RI untuk segera menyelesaikan revisi Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) 

Konferensi Pers secara daring bertajuk “Darurat Perokok Anak: Aliansi Masyarakat Sipil Perlindungan Anak untuk Darurat Perokok Anak Menagih Janji Penyelesaian Revisi PP 109/2012 untuk Melindungi Anak,” hari ini di Jakarta, (05/11/2020).

Jakarta, Jurnas.com - Aliansi Masyarakat Sipil Perlindungan Anak untuk Darurat Perokok Anak mendesak Menteri Kesehatan RI untuk segera menyelesaikan revisi Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) tentang Pengamanan Bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi Kesehatan untuk melindungi anak.

Desakan itu karena implementasi PP 109/2012 dinilai telah gagal melindungi anak dari adiksi rokok dan menurunkan jumlah perokok anak. Terbukti prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun terus meningkat dari tahun ke tahun, dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018 (data Riskesdas 2018).

Hal ini ditegaskan dalam Konferensi Pers secara daring bertajuk “Darurat Perokok Anak: Aliansi Masyarakat Sipil Perlindungan Anak untuk Darurat Perokok Anak Menagih Janji Penyelesaian Revisi PP 109/2012 untuk Melindungi Anak,” hari ini di Jakarta, (05/11/2020).

Tampil sebagai pembicara dalam Konferensi Pers tersebut Seto Mulyadi, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Arist Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Shoim Sahriyati, juru bicara Aliansi Masyarakat Sipil Perlindungan Anak untuk Darurat Perokok Anak, dan Lisda Sundari, Ketua Lentera Anak.

Seto Mulyadi, Ketua LPAI menegaskan Indonesia sudah berada dalam kondisi darurat perokok anak. Selain ditandai dengan prevalensi perokok anak yang terus meningkat dari tahun ke tahun, iklan, promosi, dan sponsor (IPS) rokok juga sangat massif menyasar anak sebagai target.

“Anak-anak sudah menjadi korban dari eksploitasi industri rokok yang terus aktif menyasar anak sebagai basis konsumen jangka panjang, karena dengan semakin dini usia merokok akan makin besar juga keuntungan bagi perusahaan rokok,” kata Seto Mulyadi.

Industri rokok, tambah Seto, menyasar anak melalui strategi iklan rokok yang gencar, menonjolkan tema kreatif, gaul, keren, modern, dan hebat, agar dapat mempengaruhi anak untuk mencoba merokok dan mendorongnya terus merokok. Ia mengutip data survey LPAI tahun 2019 terkait perilaku anak merokok, bahwa sebanyak 73% anak merokok diawali dengan melihat iklan, promosi dan sponsor rokok di sekitar lingkungannya.

“Merujuk teori pembelajaran sosial manusia termasuk anak-anak biasanya belajar melalui pengamatan perilaku dari manusia lain. Itu sebabnya anak-anak yang berada di lingkungan yang dipenuhi perokok akan melihat hal itu lalu menirunya,” tegas Seto.

Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas Perlindungan Anak, menegaskan, pemerintah telah gagal melindungi anak dari adiksi rokok, karena terbukti implementasi PP 109/2012 telah gagal mengendalikan jumlah perokok, khususnya perokok anak.

“Sehingga kunci utama menebus kegagalan adalah dengan melakukan revisi menyeluruh terhadap PP 109/2012 tersebut,” kata Arist.

Urgensi merevisi PP 109/2012, kata Arist, seiring Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 yang salah satu targetnya adalah menurunkan perokok anak dari 9,1% pada tahun 2018 menjadi 8,7% pada 2024 dengan agenda kebijakan peningkatan cukai hasil tembakau, perluasan layanan berhenti merokok, pelarangan total iklan dan promosi rokok, perbesar pencantuman peringatan bergambar bahaya merokok.

Namun Arist menyatakan ia skeptic penyelesaian revisi PP bisa terjadi karena Menteri Kesehatan yang seharusnya menjadi garda terdepan perlindungan kesehatan masyarakat menjadi penghambat penyelesaian PP tersebut.

“Dalam isu Covid 19 kita melihat ada keterlambatan, apalagi dalam isu pengendalian tembakau diperkirakan Menkes semakin tidak hadir. Posisinya yang berseberangan dengan IDI menambah kekhawatiran bahwa produk regulasi yang dihasilkan Menkes akan mengalami krisis legitimasi,” tegas Arist.

Shoim Sahriyati, juru bicara Aliansi Masyarakat Sipil Perlindungan Anak untuk Darurat Perokok Anak, menegaskan urgensi Revisi PP untuk mempercepat harapan semua kota dan kabupaten di Indonesia menjadi Kota Layak Anak (KLA).

“Selama 3 tahun berturut-turut yakni tahun 2017, 2018, dan 2019 Surakarta meraih predikat Kota Layak Anak Utama. Sebenarnya Surakarta sudah menargetkan untuk dapat menjadi Kota Layak Anak Paripurna yang bebas dari Iklan Rokok pada tahun 2019. Namun kami masih terkendala memenuhi indikator KLA nomor 17 tentang kesehatan dasar karena Surakarta belum memiliki kebijakan pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok,” kata Shoim yang juga menjabat ketua Yayasan Kakak Solo.

Shoim percaya, masih banyak daerah lain di Indonesia yang juga ingin menjadi Kota Layak Anak Paripurna, tetapi kami di daerah masih menunggu regulasi pengendalian tembakau yang kuat untuk menjadi panduan dalam membatasi serbuan iklan rokok massif yang menyasar anak dan remaja sebagai target,” tambahnya.

Agusman KS, Ketua Yayasan Balarenik memaparkan fakta tentang kondisi darurat perokok anak karena lembaga yang ia pimpin memang menangani rehabilitasi kepada anak yang kecanduan merokok. “Kondisinya memang sangat mengkhawatirkan, karena perlu penanganan yang semaksimal mungkin kepada anak-anak yang sudah kecanduan merokok agar mereka dapat lepas dari adiksi rokok,” ujarnya.

Sejak tahun 2016 Yayasan Balarenik melakukan rehabilitasi sosial anak korban penyalahgunaan NAPZA. Sampai saat ini sudah lebih dari 600 anak, hampir semuanya anak2 dari keluarga dhuafa. Lebih dari 90% berawal dari perokok aktif

Karena itu Agusman menegaskan lebih baik melakukan pencegahan secara dini dengan memastikan anak tidak merokok. “Karena itu memang sangat dibutuhkan peraturan yang kuat yang melarang iklan rokok dan penjualan rokok batangan untuk melindungi anak dari mudahnya mengakses rokok,” tegas Agusman.

Lisda Sundari, Ketua Lentera Anak, menegaskan revisi PP 109/2012 sangat penting untuk mengatur pelarangan iklan rokok secara total dan menaikkan harga rokok setinggi-tingginya agar tidak terjangkau anak. “Sangat mustahil untuk menurunkan prevalensi Perokok Anak bila tidak ada komitmen Pemerintah untuk membuat Regulasi tembakau yang kuat dan tegas. Disinilah urgensi mengapa revisi PP 109/2012 sangat penting untuk melindungi anak,” tambah Lisda.

Lisda menjelaskan proses revisi PP 109/2012 seharusnya dilakukan pada 2018 lalu atau sesuai Keppres No. 9 tahun 2018. Namun hingga saat ini proses revisi tidak jelas dan terindikasi melambat. “Terus tertundanya pembahasan revisi PP mengindikasikan Menteri Kesehatan tidak serius melakukan upaya pencapaian target penurunan perokok anak. Padahal Bappenas memproyeksikan pravelensi perokok anak  usia 10-18 tahun akan meningkat menjadi 16% pada 2030 bila tidak ada upaya dan komitmen yang kuat dari seluruh sektor,” pungkas Lisda

KEYWORD :

Darurat Perokok Anak PP 109/2012 Menteri Kesehatan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :