Sabtu, 20/04/2024 22:48 WIB

Pers Rilis

Transmigrasi Membangkitkan Industrialisasi Pertanian dari Pinggiran

Program transmigrasi terbukti nyata mampu mewujudkan peningkatan pemenuhan pangan dan distribusi aset lahan yang berkedaulatan.

Yogyakarta - Jika dihitung dari masa Kolonisasi 1905, transmigrasi mempunyai sejarah panjang dalam memberikan kontribusi membangun Indonesia dari pinggiran. Setelah Kemerdekaan, pada tanggal 12 Desember 1950 diselenggarakan kembali pemindahan penduduk dari Kedu Jawa Tengah ke Gedong Tataan Lampung. Pemindahan kembali penduduk setelah kemerdekaan itu kemudian diperingati menjadi Hari Bakti Transmigrasi (HBT), melalui Keputusan Menteri Transmigrasi Nomor: KEP.264/MEN/184 tanggal 23 November 1984.

Sebelumnya, pada tanggal 23 Februari 1947 di Yogyakarta, didepan peserta Rapat Panitia Pemikir Siasat Ekonomi (sekarang BAPPENAS), Wakil Presiden Bung Hatta menyatakan bahwa Transmigrasi dimaksudkan untuk mendukung industrialisasi di luar Jawa, karena pada umumnya penduduk yang dipindahkan tersebut mempunyai kemampuan dan ketrampilan lebih baik.

Selanjutnya, pada 28 Desember 1964 di Gelora Senayan Jakarta, pada acara Musyawarah Gerakan Transmigrasi Presiden RI Bung Karno mengatakan, transmigrasi menyangkut mati hidup Bangsa Indonesia. Pada pidato tanpa teks tersebut Bung Karno menjelaskan arti strategis pentingnya transmigrasi bagi Indonesia. Transmigrasi mempunyai peran penting dalam mempertahankan kedaulatan negara, khususnya pada aspek ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan negara.

Sebagai implementasinya, dibeberapa lokasi diselenggarakan transmigrasi berbagai pola. Misalnya, di Sumber Jaya Lampung Barat (1953) ada transmigrasi Biro Rekonstruksi Nasional (BRN), CTN (Corp Tjadangan Nasional), dan PS (Partisan Siliwangi). Tahun 1964 di Poncowati Lampung Tengah ada Transmigrasi dari TNI Angkatan Darat (TransAD). Kemudian berturut-turut ada Transmigrasi Kepolisian RI (Trans Polri) di Bandarsakti dan Gunung Sugih, ProkimAL, PropAU, Transmigrasi Pramuka (TransPram) di Rajabasa Lama Lampung Timur, dan lainnya.

Pada masa Orde Baru antara 1970-1998, dengan program REPELITA dan Trilogi Pembangunannya, penyelenggaraan transmigrasi mengalami masa puncaknya. Sebagai hasil karya yang masih dapat dilihat diantaranya dibangunnya Bandar Udara untuk mengangkut transmigran di Pasir Pangarayan Rokan Hulu Riau. Untuk mengakselerasi pemerataan pembangunan daerah dan membangun Indonesia dari pinggiran itu, maka sebaran transmigrasi menjangkau seluruh provinsi di luar Jawa, Madura, dan Bali.

Kontribusi pembangunan transmigrasi selama kurun waktu 66 tahun pelaksanaan program transmigrasi di Indonesia, setidaknya sekitar 2,2 juta kepala keluarga atau sekitar 8,8 juta orang miskin dan pengangguran telah merasakan manfaat transmigrasi. Kini mereka memperoleh secara langsung peluang kerja di daerah baru dan akhirnya berhasil meningkatkan kesejahteraannya ketingkat yang lebih baik. Melalui transmigrasi terbukti telah mewujudkan embrio pusat pertumbuhan baru dengan dibangunnya 3.608 lokasi permukiman transmigrasi telah berkembang menjadi 1.183 Desa definitif/Desa baru, 385 desa berkembang menjadi Ibukota Kecamatan, 104 desa telah berkembang menjadi Ibukota Kabupaten baru dan 2 diantaranya menjadi Ibukota Provinsi (Provinsi Sulawesi Barat dan Provinsi Kalimantan Utara).

Program transmigrasi terbukti nyata mampu mewujudkan peningkatan pemenuhan pangan dan distribusi aset lahan yang berkedaulatan dengan memberikan kontribusi sekitar 8,4 juta ton gabah kering giling dari areal persawahan serta 50 kawasan sebagai Sentra CPO komoditas perkebunan di kawasan transmigrasi. Kontribusi pangan di kawasan transmigrasi dikembangkan dengan integrasi hulu-hilir melalui industrialisasi. Selain itu tersedia 3.383.000 Ha lahan yang berpotensi untuk pengembangan pangan dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional.

Keberhasilan-keberhasilan tersebut dicapai dalam kurun waktu yang cukup panjang, selama ini diperingati melalui Hari Bhakti Transmigrasi (HBT) setiap tanggal 12 Desember. Untuk menjaring pemikiran dan gagasan sejarah panjang transmigrasi di Indonesia (Tahun 1905 – sekarang) dan kontribusinya dalam pembangunan Indonesia dari pinggiran, khususnya dalam mewujudkan pusat pertumbuhan melalui industrialisasi di bidang pertanian dilakukan FGD. Melalui FGD ini diharapkan diperoleh masukan untuk mengangkat kembali peran strategis transmigrasi dan menghidupkan ruh transmigrasi, sekaligus mendorong ditetapkannya Hari Bhakti Transmigrasi (HBT) sebagai Hari Transmigrasi Nasional (HTN), dengan pertimbangan :

 1. Penggunaan istilah Nasional pada peringatan Hari Transmigrasi Nasional sejalan dengan semangat Nawa Cita dan paradigma baru  transmigrasi, untuk memastikan bahwa negara hadir diseluruh ruang publik warga bangsanya.

2.  Dengan perubahan istilah Nasional, maka transmigrasi merupakan program bersifat nasional, milik dan menjadi bagian dari publik. Hal ini untuk menjawab tuduhan bahwa transmigrasi selama ini terkesan milik suku, agama, dan budaya tertentu

3.  Meneguhkan kembali semangat Nasionalisme transmigrasi sebagaimana diuraikan dalam pidato Bung Karno pada tanggal 28 Desember 1964, bahwa transmigrasi adalah soal mati hidup Bangsa Indonesia.

Acara FGD yang digelar 30 September 2016 di Yogyakarta itu dihadiri oleh Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sanjoyo, BSEE, MBA. sekaligus bertindak sebagai keynote Speech bersama Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwana X yang diwakili oleh Sekda DIY. Ir. Rani Syamsinarsi, MT.

Dalam keynote speechnya menteri desa menyebutkan, di Indonesia terdapat 74 ribu lebih desa. Kehadiran kementerian desa PDTT mengemban tanggungjawab mempercepat pembangunan desa-desa, daerah tertinggal dan pulau-pulau terdepan, sejalan dengan visi Nawacita butir KE 3.
Ada pun Prof. Dr. Sri Edi Swasono memberikan orasi ilmiah berjudul Ekonomi Kerakyatan dan Transmigrasi.

Dalam orasinya Prof. Dr. Sri Edi Swasono menyebutkan bahwa krisis pangan yang terjadi di Indonesia saat ini akibat dari kelalaian pemerintah terhadap eksistensi program transmigrasi sejak tahun 1998.

Lebih lanjut Prof. Dr. Sri Edi Swasono menyatakan revitalisasi program transmigrasi akan dapat membantu mengatasi krisis pangan.
Sementara itu Prof. Dr. Suratman, MSc wakil rector UGM Bidang penelitian dan pengabdian masyarakat menyampaikan transmigrasi merupakan bagian dari proses pembangunan Indonesia masa depan.

Menanggapi kajian Wakil Rektor UGM tersebut, mantan menteri transmigrasi Dr.(Hc) Ir. Siswono Yudohusodo menyatakan, saat ini Indonesia merupakan salah satu Negara importir pangan terbesar. Sebuah ironi bagi sebuah Negara yang memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia melimpah.

Mantan menteri transmigrasi itu mendukung dikukuhkannya Hari Tranmigrasi Nasional, sebagai penanda dimulainya revitalisasi program transmigrasi dalam rangka menjawab tantangan kebutuhan pangan bagi bangsa Indonesia dimasa mendatang.

Dalam diskusi lanjutan dihadirkan pula sejumlah nara sumber dari kalangan akademisi, seperti Prof. Drs. Purwo Santoso, MA, Ph.D, Prof. Dr. M. Baiquni, M.A. dan Prof. Dr. Susetiawan, SU Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan serta sejumlah pakar dibidang sejarah maupun ahli dibidang ekonomi kerakyatan.

KEYWORD :

Menteri Desa Eko Putro Sandjojo Transmigrasi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :