Sabtu, 20/04/2024 18:31 WIB

Sekolah Zona Kuning Dibuka, Nadiem Sudah Menyerah PJJ?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim beralasan, kebijakan terbaru ini dilandasi sejumlah pertimbangan, antara lain ancaman siswa putus sekolah, hingga berbagai kendala yang terjadi dalam pelaksanan pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim (Foto: Jurnas)

Jakarta, Jurnas.com - Pemerintah merevisi Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri, yang isinya membolehkan satuan pendidikan di zona kuning untuk menggelar pembelajaran tatap muka. Padahal sebelumnya hanya sekolah di zona hijau yang diizinkan belajar tatap muka.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim beralasan, kebijakan terbaru ini dilandasi sejumlah pertimbangan, antara lain ancaman siswa putus sekolah, hingga berbagai kendala yang terjadi dalam pelaksanan pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Sementara menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) per 3 Agustus 2020, terdapat sekitar 43 persen peserta didik yang berada di zona kuning dan hijau.

"SKB untuk membolehkan, membolehkan bukan memaksa, pembelajaran tatap muka dengan tetap mempertimbangkan risiko kesehatan," terang Nadiem dalam konferensi pers yang digelar Jumat pekan lalu.

Keputusan ini mendapatkan respon negatif dari sejumlah pihak. Praktisi pendidikan dari Center Education for Regulations and Development Analysis (Cerdas) Indra Charismiadji menilai Nadiem memberi sinyal menyerah dengan polemik yang muncul selama PJJ.

Sebab seperti diketahui, selama PJJ banyak orang tua yang mengeluh karena belajar daring menyedot banyak kuota internet, yang berimbas pada tingginya pengeluaran di tengah lesunya ekonomi akibat pandemi Covid-19. Juga, belum seluruh satuan pendidikan mampu mengadaptasi sistem PJJ.

"Mendikbud menyerah PJJ. Harusnya gurunya dibina, diajarin caranya mengajar PJJ. Kalau didiamkan saja ya chaos kayak sekarang," kata Indra saat dihubungi Jurnas.com pada Minggu (15/8).

Indra juga menyayangkan di tengah kebingungan PJJ, Mendikbud malah meluncurkan Program Organisasi Penggerak (POP) yang belakangan menuai polemik, pasca mundurnya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).

"Yang dibikin malah POP, enggak nyambung kan pelatihannya. Akses juga enggak diperbaiki dari Maret," ujar Indra.

Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim juga melontarkan kritik pedas. Dalam siaran persnya pada Jumat (14/8) lalu, dia menyebut pembukaan satuan pendidikan di zona kuning berpotensi mengancam kesehatan warga sekolah.

"Terbukti sampai hari ini bermunculan klaster-klaster baru penyebaran Covid-19 di sekolah, terbaru di Balikpapan, Pontianak, dan Rembang, yang mengorbankan guru termasuk siswa," ungkap Satriwan.

Efektivitas kegiatan tatap muka di zona kuning, menurut Satriwan, juga tidak akan optimal. Pasalnya, bagaimana mungkin kegiatan sekolah dilakukan di tengah larangan melaksanakan ekstrakurikuler, OSIS, dan olahraga.

"Siswa ingin segera bersekolah, karena rindu dengan aktivitas kesiswaan yang sangat beragam di tiap-tiap sekolah. Rindu berkumpul ramai-ramai bersama kawan-kawan," sebut dia.

Selain soal interaksi, Satriwan juga mengkhawatirkan siswa dan guru yang harus menumpang transportasi publik untuk pulang dan pergi ke sekolah. Kondisi demikian malah memancing penularan Covid-19.

"Tak ada jaminan kesehatan yang steril dari covid-19 selama menumpangi kendaraan umum," kata Satriwan.

Kemdikbud sendiri telah menyangkal adanya penularan Covid-19 di lingkungan sekolah, pasca pemerintah merevisi SKB Empat Menteri.

Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Dasar dan Menengah (PAUD Dasmen) Kemdikbud, Jumeri mengatakan peserta didik yang dinyatakan positif Covid-19 di berbagai daerah justru terpapar dari lingkungan dan orang tuanya.

Kasus di Papua di antaranya, lanjut Jumeri, 289 peserta didik yang dinyatakan positif Covid-19 bukan terjadi pada Agustus ini, melainkan akumulasi dari Maret hingga Agustus.

"Itu peserta didik atau anak usia 0-18 tahun yang terpapar Covid-19 dalam kehidupan sehari-hari nya tidak di sekolahnya, bukan di satuan pendidikannya," tegas Jumeri dalam kegiatan `Bincang Sore Kemdikbud` bersama awak media pada Kamis (13/8).

"Untuk anak (Papua) yang tertular Covid-19 pada satuan pendidikan hanya satu anak. Dan itu pun terjadi sebelum proses pembukaan ini. Jadi itu terjadi dalam kehidupannya di masyarakat karena tertular orang tuanya dan lingkungannya," sambung dia.

Sementara peristiwa serupa yang terjadi di Balikpapan, Pontianak, Tulungagung, dan Rembang seluruhnya menurut Jumeri bukan tertular di sekolah.

"Kejadian Covid-19 pada siswa SD di Tulungagung sudah diklarifikasi bahwa siswa tersebut tidak sedang dalam belajar di sekolah. Karena kesulitan pembelajaran daring, maka siswa dikelompokkan menjadi kelompok kecil kira-kira lima peserta didik tiap kelompok. Dan gurunya datang mendatangi peserta didik itu untuk memberikan pelajaran," tegas Jumeri.

Menurut data Kemdikbud, satuan pendidikan jenjang PAUD, SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB yang sudah melapor dan melaksanakan pembelajaran tatap muka sebanyak 23.150 sekolah.

Dari angka tersebut yang berada di zona kuning dan melakukan belajar dari rumah (BDR) sebanyak 6.238 sekolah, sedangkan yang melakukan pembelajaran tatap muka sebanyak 1.063 sekolah.

"Sekolah yang berada di zona hijau dan melakukan BDR sebanyak 7.002 dan yang melakukan pembelajaran tatap muka sebanyak 1.410 sekolah," tandas Jumeri.

KEYWORD :

Mendikbud Nadiem Anwar Makarim Zona Kuning Belajar Tatap Muka




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :