Ilustrasi pemulung (foto:Google)
Jakarta, Jurnas.com – Sudah marak berita di media massa tentang para pekerja lepas harian yang terimbas wabah virus corona Covid-19. Sejumlah pekerja disebut terkena efek penerapan social distancing di tengah wabah virus corona, yakni sektor transportasi (sopir angkutan umum, driver online, sopir taksi), pedagang asongan dan pedagang kaki lima.
Namun tidak banyak yang tahu ada 3,7 juta pekerja sektor informal yang juga terdampak penerapan social distancing ini. Mereka adalah para pemulung yang sehari-hari mencari sampah dan mendapatkan penghasilan dari hasil menjual sampah kepada pelapak.
“Para pemulung seperti kami adalah kelompok yang rentan terhadap pembatasan gerak,” kata Pris Polly Lengkong, Ketua Ikatan Pemulung Indonesia (IPI). Sebab, dengan penghasilan harian mereka mau tidak mau harus memulung sampah setiap hari. “Kalau tidak memulung berarti tidak dapat uang. Setiap pemulung harus bekerja supaya bisa makan,” kata Pris Polly kepada media hari ini, Senin, (23/03/2020).
Sehingga, dengan adanya kebijakan pembatasan warga keluar rumah serta ditutupnya sejumlah tempat wisata, tempat hiburan dan mal, menjadikan para pemulung yang biasa beraktivitas di jalanan sulit mendapat sampah plastik, sehingga berdampak pada berkurangnya pendapatan mereka.
Namun Pris mengkonfirmasi kegiatan pemulung yang biasa memulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah masih berlangsung biasa. “Kalau para pemulung di TPA saya pastikan masih beraktivitas biasa,” ujarnya.
Selain rentan terhadap kebijakan pembatasan gerak, pemulung juga rentan terkena virus. Sehingga, seharusnya ada dukungan pemerintah kepada para pahlawan lingkungan ini, karena mereka sudah berjasa mengumpulkan sampah plastik dari tempat pembuangan sampah, agar sampah plastik tidak terbawa sampai ke sungai atau ke laut dan mencemari lingkungan.
Dukungan pemerintah sejatinya sangat ditunggu oleh para pemulung. Karena kondisi pemulung saat ini sangat terpukul akibat turunnya permintaan plastik dari industri daur ulang. Pris Polly menegaskan sejak beberapa bulan terakhir omset pemulung turun karena pabrik daur ulang mulai membatasi pembelian sampah plastik. Ia juga mengkonfirmasi satu pabrik daur ulang besar di wilayah Bandung, Jawa Barat sudah stop membeli plastik. Alasannya sebagai antisipasi karena sebentar lagi akan diterapkan cukai plastik. Situasi yang sulit ini makin diperburuk dengan wabah corona yang berimbas melambatnya kegiatan ekonomi.
Cantumkan Tanggal Perpisahannya dengan Ben Affleck, Jennifer Lopez Sendirian dan Patah Hati
Pris menjelaskan turunnya permintaan plastik dari pabrik daur ulang berawal dari resesi ekonomi global. Sebagai imbas dari perang dagang China-AS menjadikan China sebagai produsen polyethylene terephthalate (PET) virgin material dalam jumlah besar tidak bisa lagi mengakses pasar AS karena dikenai bea masuk hingga 30%. Akhirnya China mengalihkan penjualan plastik virgin ke sejumlah negara dengan harga yang sangat murah, termasuk ke Indonesia. Akibat banyaknya pasokan bahan baku plastik virgin yang sangat murah di dalam negeri, menyebabkan harga plastik daur ulang terseret turun. Sebab harga plastik daur ulang harus tetap berada di bawah harga plastik virgin agar bisa tetap kompetitif.
Akibat turunnya harga plastik daur ulang, para pemulung, sebagai ujung tombak pengumpulan sampah plastik, menjadi pihak yang paling dirugikan. Pemulung terpaksa melepas sampah plastik ke pabrik dengan harga murah agar sampah tetap terjual dan tidak menumpuk.
“Dampak turunnya harga plastik daur ulang sudah kami rasakan sejak Oktober-November 2019,” kata Pris Polly. “Omset turun mencapai 25 persen hingga 35%. Ini merupakan pukulan sangat berat bagi pemulung,” tambahnya. Awalnya, kata Pris, anggota IPI di seluruh Indonesia memahami kondisi turun harga ini. “Kalau di bahasa kami para pelapak-pemulung ini terjadi pindah harga. Dan kami berharap harga akan membaik di awal tahun 2020,” ujarnya.
Ternyata, di awal Februari 2020 mereka dikagetkan berita bahwa DPR menyetujui usulan penerapan cukai kantong plastik. Berita ini membuat pemulung ketar ketir, karena khawatir hal ini kembali berdampak pada turunnya harga jual sampah plastik.
Dan kenyataan yang mereka hadapi justru lebih pahit. Pris menyatakan, pabrik daur ulang terbesar di wilayah Bandung, Jawa Barat sekarang sudah menghentikan pembelian plastik dari pemulung. “Alasan mereka, kalau pemerintah jadi memberlakukan cukai plastik maka harga jual kantong plastik naik dari Rp30.000 perkilogram menjadi Rp46.000 perkilogram. Pabrik merasa keberatan karena konsumen mereka menengah ke bawah, jadi mereka memilih stop membeli plastik dari kami,” ujarnya.
Inilah yang membuat para pemulung makin terpukul. Pris menyatakan setiap hari ia menerima telepon dari para pemulung-pelapak yang mengeluhkan sampah plastik mereka bertumpuk karena tidak bisa dijual. “Kemarin saya keliling menemui pemulung di jabodetabek. Ada pemulung yang sedih, tidak bisa tidur, ada juga yang marah-marah. Semua khawatir bagaimana mereka bisa makan, bagaimana menyekolahkan anak-anaknya. Saya sampai merinding mendengar keluhan mereka, hanya bisa mengusap dada dan beristighfar,” ujar Pris.
Namun sebagai ketua IPI yang membawahi 3,7 juta pemulung di 25 propinsi ia tidak tinggal diam. Ia mencoba bernegosiasi dengan pabrik daur ulang di Bandung untuk tetap membeli sampah plastik. “Saya sampaikan kenapa sejak sekarang sudah tidak mau membeli plastik, kan pemerintah belum menetapkan cukai plastiknya. Pihak pabrik menjelaskan mereka tidak mau ambil resiko menampung banyak plastik sementara belum ada kepastian apakah konsumen bisa membeli plastik dengan harga Rp46.000 perkilogram,” paparnya.
Pris menyatakan, pabrik daur ulang di Bandung khusus mengolah plastik HDPE untuk dijadikan kantong kresek dan barang olahan lainnya seperti campuran perabotan rumah tangga, bangku dan botol plastik. Sampah plastik HDPE jenisnya seperti naso (warnanya putih bening, seperti sampah botol susu dan botol cuka) dan mainan (sampah kemasan minyak pelumas/oli, kosmetik dan house-hold cleaner seperti botol shampoo dan pemutih pakaian).
Dampak dari penghentian pembelian sampah plastik paling dirasakan oleh anggota IPI di wilayah DKI dan Jawa Barat. Pris tercatat membina 1.612 pemulung-pelapak di wilayah Bantar Gebang, DKI Jakarta, Tangerang, Depok, Bekasi, dan Bogor. “Hubungan saya dengan 1.612 manusia pemulung-pelapak tidak sekedar hubungan usaha jual beli plastik, tetapi saya juga memberikan kesejahteraan dan fasilitas seperti berobat gratis, menikah gratis, dan dana khusus bila ada pemulung yang tertangkap,” ujarnya.
Ia sangat khawatir, penghentian pembelian sampah plastik akan ditiru pabrik daur ulang lainnya. “Ini baru satu pabrik yang stop membeli. Kalau ada beberapa pabrik lain stop beli juga, saya tak bisa bayangkan tumpukan sampah plastik akan seperti apa. Bisa jadi akan banyak pelapak-pemulung gulung tikar karena sudah tidak bisa jual sampah plastik,” tambahnya.
Pris menegaskan, saat ini ia hanya bisa menampung plastik hingga satu atau 2 bulan ke depan, karena umumnya memberi down-payment (DP) lebih dulu kepada pelapak-pemulung. “Kalau di bulan ketiga nanti saya tetap harus bayar pemulung sementara plastik tidak bisa dijual bagaimana? Bisa jadi saya tidak ambil sampah lagi dari pemulung. Sangat sedih. Karena bisa menyebabkan tumpukan sampah di pemulung tambah menggunung,” kata Pris.
Karena itu Pris Polly sangat berharap dukungan pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan pelarangan plastik dan penerapan cukai plastik. “Pabrik daur ulang sudah membatasi beli sampah plastik karena menunggu kejelasan kebijakan cukai. Kalau ini terus dibiarkan maka sampah plastik khususnya HDPE makin bertumpuk di pemulung-pelapak,” ujarnya.
Pris juga mengusulkan agar pemerintah daerah bisa membentuk BUMD Daur Ulang Sampah di setiap propinsi, yang tidak hanya bisa mengendalikan sampah plastik, tapi juga memberikan peluang kerja bagi warga di setiap propinsi. “Hasil daur ulang plastik berupa cacahan, presan, sampai biji plastik nantinya bisa juga diekspor untuk mendapatkan devisa Negara,” pungkasnya.
KEYWORD :Virus Corona Nasib Pemulung