Kamis, 25/04/2024 05:47 WIB

Banyak Tersangka Jadi Buron, KPK Diminta Hentikan Pakai Gaya Lama

Kurang optimalnya kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani para tersangka kasus korupsi dinilai karena lembaga anti rasuah

Jakarta, Jurnas.com - Kurang optimalnya kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani para tersangka kasus korupsi dinilai karena lembaga anti rasua tersebut masih menggunakan gaya lama cenderung kuno.

Hal itu disampaikan Ketua SA Institute, Supardji dalam acara diskusi bertajuk `Memburu Buron KPK`, di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta Pusat, Jumat (6/3/2020).

Menurut Supardji, gaya lama tersebut membuat banyak tersangka KPK yang notabennya terlibat kasus besar masih jadi buron hingga saat ini.

"Masih banyak buron, karena faktor internal KPK yang masih menggunakan gaya KPK lama yang dalam hal mengatur tersangka," kata Supardji.

Ia juga menilai KPK tidak tegas dan ragu-ragu dalam mencari tersangka buron, bahkan tak ada langkah yang terukur dan sistematis dari KPK dalam mengejar buronannya.

"Tidak ada bukti secara empiris kemudian seseorang ditetapkan menjadi tersangka. Padahal harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu sebelum dijadikan tersangka. Bagaimana seseorang bisa ditetapkan sebagai tersangka kalau belum diperiksa," ujarnya.

Ia meminya KPK tidak lagi memakai gaya lama dalam memproses seorang tersangka. Pasalnya itu akan menjadi polemik dan akan mengundang keberatan dari para pihak yang dirugikan.

"Kalau gaya-gaya seperti itu masih dilakukan maka sebetulnya akan menimbulkan keberatan dari para tersangka," pesannya.

Sebelumnya, terdapat tujuh orang yang telah ditetapkan masuk DPO oleh KPK, yaitu mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono, serta Direktur PT Multicon Terminal Indrajaya (PT MIT) Hiendra Soenjoto. Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka yang diduga suap dan gratifikasi pengurusan perkara di MA.

Adapula dua tersangka korupsi atas penerbitan Surat Keterangan Lunas BLBI, Sjamjul Nursalim dan Istrinya, ltjih Nursalim. KPK menyatakan keduanya tinggal di Singapura.

Nama mantan caleg PDIP Harun Masiku juga masuk dalam DPO. Harun adalah tersangka kasus suap pengurusan PAW juga masuk dalam DPO.

Senada dengan Supardji, penasihat hukum mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, Maqdir Ismail menceritakan bagaimana klaimnya juga ditetapkan sebagai daftar pencarian orang oleh KPK tanpa ada mekanisme yang jelas.

Ia mengaku bertemu dengan Nurhadi dan kawan-kawan itu akhir Januari usai kalah dalam perkara prapeladilan dan kemudian melakukan permohonan prapeladilan yang didaftarkan pada tanggal 5 Februari.

"Setelah itu kita menunggu kabar kapan kita sidang tapi tidak ada kabar juga, nah tiba-tiba pada tanggal 10 atau 12 persisnya dikeluarkan pengumuman oleh pihak KPK bahwa pak Nurhadi ini termasuk dalam DPO dan saya tidak tau bagaimana alasannya sehingga masuk dalam DPO itu," katanya.

Dengan contoh itu, Maqdir meminta kritikan harus mulai dilayangkan kepada KPK karena tak becus dalam penanganan tersangka, yang malah membuat lembaga anti rasuah tersebut terlihat lemah.

"Karena tindakan-tindakan tertentu dari oknum-oknum di KPK, dan saya kira ini saatnya kita semua melakukan kritik terhadap KPK. Yang kita butuhkan adalah KPK yang kuat karena kita tidak butuh KPK yang lemah," ujarnya.

Ia menilai, langkah-langkah keliru yang dilakukan KPK tak boleh lagi dibiarkan karena hal itu akan merusak citra KPK sebagai lembaga yang selama ini dipercaya masyarakat untuk memberantas korupsi.

"Tidak perlu unjuk kekuatan tetapi perlakuan seseorang sesuai dengan haknya secara baik. Jika kami sampaikan permohonan tolong tunda dulu, justru dijadikan buron, nah inikan yang membuat orang tidak percaya lagi proses hukum tersebut," pungkasnya.

KEYWORD :

Buron KPK Lembaga Anti Rasuah




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :