Rabu, 11/12/2024 14:20 WIB

LPSK Dorong Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Berat

LPSK mengusulkan 3 rekomendasi yang bisa pemerintah tempuh. Yakni Reparasi, Mememorialisasi, dan Rehabilitasi Psikologi Sosial.

Diskusi Pelanggaran HAM Berat di LPSK

LPSK Dorong Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Berat

Jakarta, Jurnas.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendorong pemerintah agar segera menuntaskan mangkraknya sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.

Wakil Ketua LPSK, Manager Nasution mengatakan, tercatat sejak tahun 1965 hingga 2019 setidaknya masih ada 14 kasus pelanggaran HAM berat yang tak kunjung selesai.

Diantaranya Talangsari, Timor- timor, Wasior Wamena, ada Tanjung Priok, ada Petrus, penghilangan orang secara paksa, ada Semanggi I dan II, Mei 1998, Trisakti dan beberapa lainnya.

Kemudian sampai 2017, lanjut Manager, ada 3 kasus yang sudah selesai Timor-timor, Tanjung Priok sama Wasior di Papua.

"Tapi di 2017 nambah lagi 4 kasus. 3 di Aceh, Simpang KKA kemudian Rumah Geudong dan Jambo Keupok, tambah 1 lagi dukun santet di Banyuwagi, jadi ada 14 pelanggaran," tutur Manager dalam diskusi peringatan hari HAM sedunia di LPSK, Jalan Raya Bogor, Cijantung, Jakarta Timur, Selasa (10/11/2019).

Manager mengatakan, LPSK mengusulkan 3 rekomendasi yang bisa pemerintah tempuh. Yakni Reparasi, Mememorialisasi, dan Rehabilitasi Psikologi Sosial.

Reparasi, jelas Manager, artinya Pemerintah bisa menyampaikan permohonan maaf secara terbuka atas peristiwa pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi.

"Setiap pelanggaran HAM berat menimbulkan hak atas reparasi (pemulihan) bagi korbannya. Salah satu bentuk reparasi yaitu permintaan maaf," jelasnya.

Permintaan maaf ini, jelas Manager, setidaknya merupakan bentuk keinsyafan negara pernah memperlakukan warganya secara tidak manusiawi, yang bertentangan dengan kewajiban negara untuk menghormati dan menjamin HAM.

Usulan kedua, pemerintah bisa membuat semacam memorialisasi berbentuk monumen kenangan sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk memberikan hak satisfasi kepada korban. 

"Langkah ini dapat dijadikan momentum bersama sebagai bangsa untuk mempertahankan ingatan dan peringatan agar peristiwa yang sama tidak terulang," tuturnya.

Usulan terakhir, kata Manager, pemerintah bisa memberikan bantuan kepada para korban dengan pendekatan rehabilitasi psikososial. 

"Apa itu rehabilitasi psikososial? Rehabilitasi psikososial  merupakan salah satu hak bagi korban pelanggaran HAM yang berat selain bantuan medis dan psikologis yang diberikan negara kepada korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).  Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan terhadap UU No. 13/2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban," tambahnya.

Pada kesempatan sama, Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi menjelaskan Rehabilitasi Sosial dilakukan untuk membantu meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual korban sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali. 

"Seperti pemenuhan sandang, pangan, papan, bantuan memperoleh pekerjaan, atau bantuan kelangsungan pendidikan. Pemenuhan rehabilitasi psikososial hanya mungkin bila terjadi kerjasama antara LPSK dan Kementerian/Lembaga terkait," ungkapnya.

Selain itu, menurutnya affirmative action juga tak kalah penting. Dia mendorong agar pemerintah turut memfasilitasi para korban pelanggaran HAM berat ini dengan kebutuhan mendasar berupa jaminan kesehatan (BPJS) kelas satu. 

"Mengingat usia sebagian besar korban yang makin senja. Pemerintah daerah juga bisa membuat kebijakan pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai salah satu keistimewaan hak yang diperoleh para korban pelanggaran HAM berat," ucapnya.

KEYWORD :

Pelanggaran HAM Berat Reparasi LPSK




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :