Jum'at, 26/04/2024 00:24 WIB

Munas Dipaksakan Aklamasi, Golkar Berpotensi Pecah

Jika dalam Munas Golkar pada Desember mendatang ada pihak-pihak yang ingin meredam persaingan dengan memaksakan aklamasi, maka akan berbahaya bagi eksistensi Partai Golkar.

Ilustrasi Partai Golkar

Jakarta, Jurnas.com - Pasca reformasi, Partai Golkar dikenal selalu dinamis dalam setiap penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas) sebagai forum tertinggi partai untuk memilih ketua umum (Ketum).

Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia, Sulthan Muhammad Yus mengatakan, persaingan sengit antar calon Ketum merupakan ciri khas Golkar dalam setiap Munas.

Oleh karenanya, kata Sulthan, jika dalam Munas Golkar pada Desember mendatang ada pihak-pihak yang ingin meredam persaingan tersebut dengan memaksakan aklamasi, maka akan berbahaya bagi eksistensi Partai Golkar.

"Ancamannya adalah Golkar berpotensi terjerumus dalam lubang yang sama," kata Sulthan, kepada wartawan, Kamis (14/11).

Kata Sulthan, sejarah mencatat, pemilihan Ketum Partai Golkar lewat aklamasi selalu membawa permasalahan di kemudian hari. Misalnya saja, terpilihnya Aburizal Bakrie secara aklamasi di Munas Bali 2014, yang kemudian memicu Munas tandingan di Ancol yang juga memilih Agung Laksono secara aklamasi, dan akhirnya Golkar terbelah.

"Kemudian Munaslub Partai Golkar 2016 yang memilih Setya Novanto secara aklamasi. Suara-suara kader yang kritis melihat Setnov sebagai ‘sosok bermasalah’ menjadi terpinggirkan, sampai KPK sendiri yang mengungkapkannya. Akhirnya perjalanan ketum yang korup itu justru membawa citra buruk bagi partai," jelasnya.

Lantas bagaimana dengan terpilihnya Airlangga secara aklamasi dalam Munas tahun 2017? Menurut Sulthan, hal ini dapat dikecualikan. Mengingat, kondisi Golkar masa itu dalam keadaan darurat pasca terungkapnya kasus Setya Novanto.

"Sehingga seluruh kader bersepakat meredam persaingan dan gejolak demi menyelamatkan partai guna menghadapi kontestasi Pemilu 2019," terangnya.

Sedangkan saat ini, kata Sulthan, Golkar dalam keadaan normal. Sehingga, jika Munas Golkar hendak dipaksakan berlangsung secara aklamasi, sementara di sisi lain ada kandidat ketua umum lebih dari dua orang, maka tidak menutup kemungkinan masalah yang pernah menimpa Golkat dapat terulang kembali.

"Perpecahan partai di 2014 dan kasus yang menimpa Setya Novanto harusnya menjadi pengingat bagi seluruh kader yang tetap mengkehendaki eksistensi Partai Golkar terjaga dengan baik," kata Sulthan.

"Aklamasi jelas tidaklah salah. Justru itu menjadi ciri khas bangsa kita yang mengedepankan musyawarah mufakat. Tapi ketika aklamasi dipaksakan untuk membungkam suara-suara yang berbeda, disitulah sikap antidemokrasi pihak yang memaksakan tersebut justru sangat terlihat," demikian Sulthan.

KEYWORD :

Munas Partai Golkar Ketum Golkar Airlangga Hartarto




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :