Rabu, 15/05/2024 09:59 WIB

Menteri Yohana Dukung Proses Amnesti Presiden bagi Baiq Nuril

Yohana Yembise menghormati putusan MA sebagai Pengadilan Negeri Tertinggi yang memiliki fungsi peradilan serta mendukung proses amnesti dari Presiden.

Kasus Baiq Nuril menjadi perhatian masyarakat Indonesia

Jakarta, Jurnas.com - Menyikapi putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan peninjauan kembali terkait kasus pelanggaran informasi transaksi elektronik yang diajukan oleh Baiq Nuril Maknun.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise menghormati putusan MA tersebut sebagai Pengadilan Negeri Tertinggi yang memiliki fungsi peradilan serta mendukung proses pengampunan (amnesti) dari Presiden.

“Kami menghormati langkah Baiq Nuril dan tim hukum yang akan mengajukan amnesti kepada Presiden Joko Widodo. Hal ini karena sudah sesuai dengan Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 Ayat (2), yang menyatakan bahwa amnesti dan abolisi merupakan kewenangan presiden selaku kepala Negara,” ungkap Yohana.

Namun, Yohana menegaskan bahwa dalam memberikan amnesti, Presiden tetap harus melewati prosedur dengan meminta pertimbangan DPR dan harus mendapat persetujuan DPR, serta tidak boleh memutuskan secara sepihak.

Saat ini, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sedang mengkaji pemberian amnesti bagi Baiq Nuril dengan mengumpulkan para pakar hukum.

Pemerintah khususnya Kemen PPPA terus berupaya untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), agar dapat mendukung proses penegakan hukum terkait kasus ini maupun kasus pelecehan seksual lainnya ke depan.

Selain itu, dengan adanya UU PKS, kasus pelecehan yang dialami Nuril dapat diproses dengan hukum acara peradilan kekerasan seksual, untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan yang terpenting memberikan jaminan ganti rugi (restitusi) dan rehabilitasi terpadu untuk mengembalikan fungsi ekonomi, sosial dan budaya, agama, bagi korban, sehingga RUU PKS perlu segera disahkan.

Yohana menambahkan, saat ini Kemen PPPA telah membentuk tim kecil dengan melibatkan aparat penegak hukum. Untuk duduk bersama menyusun, mengharmonisasikan, dan membulatkan substansi Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pemerintah dengan justifikasi keterangan terkait materi muatan lex specialis atas RUU PKS.

Di antaranya mulai dari perubahan redaksional tentang judul, definisi, jenis atau bentuk kekerasan seksual, pencegahan, penanganan, pemulihan, dan hukum acara pidana.

Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri PPPA Nomor 171 Tahun 2019 tentang Pembentukan Tim Kecil Pembahasan RUU PKS. Selain itu, Kemen PPPA juga akan melakukan komunikasi dengan tim dari Panitia Kerja Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Panja DPR) untuk mengagendakan pembahasan RUU PKS sesegera mungkin.

“Kami juga telah berkoordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana Provinsi NTB, P2TP2A Kota Mataram dan LBH Universitas Mataram untuk melakukan pendampingan hukum dan pemantauan bagi Nuril. Dinas Pendidikan Kota Mataram juga telah memutasi Muslim ke Dinas Pendidikan sebagai bentuk sanksi atas perbuatannya,” ungkap Yohana.

Yohana menegaskan, apabila dapat dibuktikan bahwa Muslim telah melakukan tindak pidana perbuatan cabul kepada Baiq Nuril, maka Kemen PPPA dengan tegas akan mendorong pihak Kepolisian untuk segera menindaklanjuti laporan tersebut.

Jika terbukti bersalah melakukan perbuatan cabul, Muslim akan dijerat Pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman pidana penjara paling lama 9 (sembilan tahun).

Baiq Nuril merupakan mantan guru honorer salah satu SMA Negeri di Mataram, Nusa Tenggara Barat yang menjadi korban pelecehan seksual oleh Muslim, mantan kepala sekolah di SMA tersebut.

Namun, ia justru dianggap telah melanggar pasal 27 ayat (1) jo. pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena terbukti menyebarkan hasil rekaman telepon yang menjadi bukti pelecehan oleh Muslim.

Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Nuril karena dianggap tidak ada kekhilafan hakim dan alasan yang digunakan untuk mengajukan PK hanya mengulang fakta yang telah diputus oleh judex factie maupun judex juris. Nuril pun divonis bersalah dan dijatuhi sanksi pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan denda sebanyak Rp500.000.000,00,- (lima ratus juta rupiah).
 

KEYWORD :

Baiq Nuril Amnesti Presiden




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :