Muhaimin Iskandar berpidato usai memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Selasa (3/10)
Oleh: Hersubeno Arief
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar (Cak Imin) tengah serius mempersiapkan diri maju dalam Pilpres 2019. Sejumlah Baliho Cak Imin dalam ukuran besar tersebar di berbagai kota di Indonesia tertulis dengan jelas “H. Muhaimin Iskandar Cawapres 2019.”
Ada juga yang ditulis nama lengkap plus titelnya DR (HC) H. A Muhaimin Iskandar, diembel-embeli berbagai istilah lokal, seperti kata Horas di Sumut, Dang Lopou (jangan lupa) di Lampung atau Tong Hilap (jangan lupa) pilih di Jabar. Baliho-baliho tersebut juga diperkuat dengan kampanye yang cukup massif di media sosial (medsos), dengan pesan yang kurang lebih sama.
Melihat massifnya sebaran baliho dan kampanye di medsos, Cak Imin boleh disebut sebagai kandidat yang paling siap menyongsong gelaran Pilpres 2019.
Sebelumnya Cak Imin juga sudah dinobatkan sebagai “Panglima Santri Indonesia,” karena dinilai telah berhasil memperjuangkan hari santri sebagai hari nasional.
“Panglima Santri” tampaknya akan dijadikan sebagai brand, merek dagang yang melekat pada diri Cak Imin.
Dari sisi pemasaran politik, apa yang dilakukan oleh Cak Imin dan timnya, sangat menarik. Mereka menerapkan strategi hard selling dengan menyasar segmen pasar tertentu. Dan yang paling menarik adalah keputusannya untuk mengadopsi branding yang diterapkan oleh produsen minuman teh dalam botol, “Apapun makannya, minumnya teh botol,” menjadi “Siapapun capresnya, Cak Imin cawapresnya.” Sungguh cerdas bukan?
Mengapa Cak Imin menerapkan strategi tersebut?
Pertama, bagi siapapun yang ingin maju sebagai kandidat dalam gelaran pilpres, utamanya bukan incumbent atau pejabat publik, mau tidak mau harus menempuh strategi hard selling. Waktu pendaftaran pasangan capres/cawapres tinggal delapan bulan lagi, tepatnya pada bulan Agustus 2018. Jadi tidak lagi pada tempatnya untuk mau tapi malu, atau malu-malu kucing, menjual diri. Waktu menjadi sangat berharga.
Mereka harus mengejar popularitas sebagai modal awal untuk memperoleh elektabilitas. Pemanfaatan media luar ruang seperti baliho merupakan salah satu alat peraga yang efektif untuk mengenalkan diri ke publik. Di luar itu kampanye melalui media sosial (medsos) juga cukup efektif dan murah.
Beda dengan incumbent seperti Presiden Jokowi atau gubernur DKI Anies Baswedan yang setiap hari bisa menggunakan media massa (media appearance) untuk menyapa publik. Cak Imin sejak pemerintahan Jokowi, harus tersingkir dari kabinet.
Dia terganjal sikap Jokowi yang tidak menginginkan para menterinya merangkap jabatan di partai. Dalam tiga tahun terakhir, Cak Imin jauh dari sorotan publik. Posisinya harus dibuat mengambang lagi. Ingatan publik harus dikembalikan.
Kedua, dengan brand sebagai panglima santri, sudah jelas segmen mana yang dibidik, dan apa targetnya. Strategi ini tak jauh beda dengan yang diterapkannya di PKB, yakni membidik segmen Nahdlatul Ulama (NU). Fokus pada ceruk pasar (niche market) yang sangat segmented. Hasilnya lumayan. PKB berada di lima besar Pemilu 2014 dengan perolehan suara sebanyak 9.04 persen.
Di segmen santri tradisional, Cak Imin dan PKB tidak ada saingan. Apalagi PPP yang juga mempunyai irisan segmen pasar yang sama, kini tengah dilanda konflik. Jadi untuk market kalangan santri, Cak Imin bisa disebut sebagai market leader.
Sudah menjadi rumusan baku dalam perilaku pemilih Indonesia, pasangan calon nasionalis dan agamis, adalah perpaduan yang ideal. Dengan embel-embel sebagai “Panglima Santri,” tampaknya Cak Imin ingin menyampaikan pesan, siapapun yang mau menjangkau pasar pemilih santri, harus berurusan dengannya.
Ketiga, poin ini paling menarik. Biasanya seorang kandidat pada awalnya akan memasang target (call) tinggi, menjadi capres. Bahwa kemudian ternyata cuma layak menjadi seorang cawapres, atau bahkan menteri, why not. Tidak terlalu buruk.
Cak Imin sejak awal sudah mematok target sebagai cawapres, bukan capres. Keputusan tersebut sangat rasional. Cak Imin punya kemampuan mengukur diri, sekaligus tau diri. Dengan posisi PKB sebagai partai papan tengah (medioker), dan juga elektabilitas pribadinya yang tidak terlalu tinggi, maka cawapres adalah posisi yang paling tepat.
Soal lain yang nampaknya sangat disadari oleh Cak Imin bila memasang target capres, maka dia akan berhadapan dengan Jokowi. Sebagai partai pengusung Jokowi dan beberapa orang fungsionaris PKB menjadi menteri, tidak pada tempatnya Cak Imin berkompetisi dengan Jokowi. Situasi ini akan membuat kikuk para menterinya, dan hubungannya dengan Jokowi bisa terganggu.
Keputusan “hanya” menjadi capres juga sangat tepat, bila dikaitkan dengan konstelasi politik nasional saat ini yang banyak diwarnai oleh *“politik sandera.” Sebagai mantan pejabat pemerintahan, sangat mudah bagi lawan-lawan politiknya untuk mencari-cari kesalahannya di masa lalu. Tinggal bongkar-bongkar gudang, pasti akan ditemukan banyak stok amunisi. Jadi kalau terbang terlalu tinggi, dia akan diincar, dan ditembak jatuh.
Politik sandera ini tampaknya banyak menimpa sejumlah pimpinan parpol yang pernah menjadi pejabat tinggi di pemerintahan, maupun para kandidat yang masih menjabat. Contoh paling nyata adalah pengakuan Walikota Bandung Ridwan Kamil (RK) yang mengaku mau menerima pinangan Partai Nasdem menjadi kandidat Cagub Jabar, karena takut menjadi TSK (tersangka), sebab Nasdem punya Jaksa Agung.
Situasi seperti itu setidaknya bisa menjelaskan, mengapa banyak pimpinan parpol mengambil keputusan yang membingungkan dalam koalisi, maupun penunjukan kandidat dalam pilkada. Kalkulasi politiknya sering tidak bisa dicerna akal sehat. Silakan cek latar belakangnya, pasti kebanyakan mereka pernah menjadi pejabat di pemerintahan sebelumnya. Meminjam judul sebuah film komedi, “lawanlah daku, kau kutangkap.”
Cara yang paling aman adalah mengikuti apa saja kemauan kelompok yang tengah berkuasa, tawar menawar, mengulur waktu, atau memilih langkah membungkuk dalam-dalam seperti bunyi iklan rokok “how low can you go?” Sementara Cak Imin mencoba melakukan terobosan dengan strategi “how high you allowed to go?” Dia sangat tahu sampai dimana batasnya.
Siapa capres pasangannya?
Dengan siapa Cak Imin akan berpasangan? Sejumlah anak muda yang menamakan diri Pro-1 mendeklarasikan Cak Imin berpasangan dengan Agus Yudhoyono Harimurti.
Secara chemistry pasangan ini pasti bisa nyambung. Saat SBY menjadi presiden selama dua periode, PKB menjadi partai pendukung, dan Cak Imin berada dalam kabinet. Begitu juga ketika Agus maju dalam Pilkada DKI 2017, PKB menjadi partai pendukungnya. Barulah ketika langkah Agus terhenti di putaran pertama, PKB mengalihkan dukungannya kepada Ahok.
Tapi melihat kampanye Cak Imin yang membidik posisi cawapres, maka deklarasi ini menjadi kurang tepat. Kecuali bila dibalik Agus sebagai capres, dan Cak Imin sebagai cawapres. Jadi deklarasi Cak Imin-AHY bisa disimpulkan hanya sekedar cek sound. Menjajaki reaksi pasar.
Yang paling masuk akal dan aman secara politik, Cak Imin menjadi pasangan Jokowi. Sebagai ketua partai pendukung pemeritahan Jokowi, Cak Imin tentu punya hubungan yang cukup harmonis dengan Jokowi.
Sebagai tokoh nasionalis, Jokowi membutuhkan pasangan dari kalangan relijius seperti halnya Jusuf Kalla. Hubungan Jokowi dengan nahdliyin selama ini juga sangat akrab dan hangat. Hanya saja Cak Imin mungkin akan sedikit mengalami kesulitan bila diminta merangkul kelompok Islam perkotaan yang selama ini menjadi penentang kuat pemerintah.
Jokowi memerlukan figur pendamping yang bisa merangkul para tokoh GNPF Ulama dan alumni 212. Kelompok ini belakangan kian menguat dan solid. Hal itu bisa terlihat dari keberhasilan mereka hanya dalam dua pekan bisa menggelar reuni dan menggalang Aksi Bela Palestina sebagai aksi terbesar di dunia.
Figur lain yang mungkin bisa didekati dan akan cocok dengan Cak Imin adalah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan (BG). Secara mengejutkan sebagai kepala badan intelijen yang seharusnya berada di balik layar, nama BG justru muncul di dalam berbagai survei sebagai salah satu kandidat capres maupun capres.
Munculnya nama BG mengingatkan kita kepada sosok mantan Presiden AS George W Bush Sr. Sebelum menjadi wapres dan kemudian presiden, Bush pernah menjabat sebagai Direktur CIA, lembaga intelijen AS.
Elektabilitas BG harus diakui memang tidak terlalu tinggi, hal itu bisa dipahami karena dia belum “menjual diri” secara terbuka. Namun dengan sumber daya yang dimiliki, asal dia mau, elektabilitasnya bisa didongkrak tinggi.
Kedekatannya dengan PDIP sebagai pemilik suara terbesar di parlemen, juga membuat BG menjadi figur yang harus diperhitungkan oleh siapapun yang ingin berkompetisi pada Pilpres 2019. Tanpa susah payah, dia dipastikan sudah punya tiket. BG bisa menjadi kuda hitam.
Koalisi PDIP dengan PKB akan menjadi perpaduan mesin politik yang sangat kuat. Kedua partai dikenal memiliki pendukung loyal dan cenderung fanatik. Koalisi mereka juga sudah mulai terjalin di beberapa pilkada, antara lain di Pilkada Jawa Timur (Jatim) 2018 dengan mengusung Syaifullah Yusuf-Abdullah Azwar Anas sebagai cagub-cawagub.
Koalisi PDIP-PKB di Jatim bila berhasil, maka akan menjadi modal kuat bagi Cak Imin untuk berpasangan dengan BG atau siapapun yang akan diusung PDIP.
KEYWORD :Opini Cak Imin Cawapres