Senin, 28/07/2025 16:46 WIB

Apa yang Terjadi Jika Bayi Lahir di Luar Angkasa? Ilmuwan Ungkap Risikonya

Salah satu skenario yang kini masuk akal untuk dipertimbangkan adalah kemungkinan seseorang hamil dan melahirkan selama perjalanan antariksa.

Ilustrasi bayi baru dilahirkan (Foto: Pexels/Rene Terp)

Jakarta, Jurnas.com - Seiring rencana misi berawak ke Mars semakin dekat, pertanyaan besar mulai muncul: bagaimana tubuh manusia bisa bertahan di luar angkasa dalam jangka panjang? Salah satu skenario yang kini masuk akal untuk dipertimbangkan adalah kemungkinan seseorang hamil dan melahirkan selama perjalanan antariksa.

Tapi, apakah kehamilan bisa terjadi dan bertahan dengan aman di luar angkasa? Dan apa yang akan terjadi jika bayi benar-benar lahir jauh dari Bumi? Arun Vivian Holden, Profesor Emeritus Biologi Komputasi, Universitas Leeds mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam tulisannya yang dipublikasikan di The Conversation. Berikut ini adalah ulasannya.

Tahapan Rawan Sejak Sebelum Lahir

Sebagian besar dari kita jarang memikirkan betapa banyak risiko yang telah kita lewati sebelum dilahirkan. Di Bumi saja, sekitar dua pertiga embrio manusia tidak bertahan hingga tahap kelahiran. Sebagian besar keguguran ini terjadi pada minggu-minggu awal setelah pembuahan, bahkan sebelum seseorang menyadari bahwa dirinya hamil.

Penyebabnya bisa karena embrio gagal berkembang dengan benar, atau tidak berhasil menempel di dinding rahim. Kehamilan sendiri adalah rangkaian proses biologis yang sangat kompleks, dan setiap tahap punya tingkat keberhasilannya masing-masing.

Di Bumi, peluang keberhasilan kehamilan bisa diperkirakan lewat riset klinis dan model biologis. Namun, bagaimana proses ini akan berlangsung di luar angkasa, dalam kondisi ekstrem, adalah pertanyaan besar yang masih dijelajahi ilmuwan.

Mikrogravitasi: Tidak Menghalangi Kehamilan, Tapi Menyulitkan Persalinan

Kondisi mikrogravitasi—atau hampir tanpa bobot—yang dialami selama penerbangan luar angkasa mungkin akan menyulitkan pembuahan secara fisik. Namun, jika embrio berhasil menempel di rahim, kehamilan kemungkinan besar bisa tetap berlangsung.

Yang lebih menantang adalah proses melahirkan dan merawat bayi dalam kondisi tanpa gravitasi. Di luar angkasa, tidak ada “atas” atau “bawah”; semua benda dan cairan melayang, termasuk tubuh manusia. Ini menjadikan proses persalinan jauh lebih rumit dan berantakan daripada di Bumi, tempat gravitasi membantu banyak aspek penting—dari posisi tubuh hingga menyusui.

Menariknya, janin manusia tumbuh dalam cairan ketuban dan melayang dalam rahim—mirip kondisi tanpa gravitasi. Bahkan, pelatihan spacewalk bagi astronot dilakukan dalam kolam air untuk meniru lingkungan mikrogravitasi. Dalam hal ini, rahim bisa dianggap sebagai simulator alami untuk ruang angkasa.

Tapi gravitasi hanyalah sebagian dari persoalan.

Ancaman Sebenarnya: Radiasi Kosmik

Di luar pelindung atmosfer dan medan magnet Bumi, ancaman terbesar justru datang dari radiasi luar angkasa—terutama cosmic rays, partikel berenergi tinggi yang melaju hampir secepat cahaya. Ini adalah inti atom tanpa elektron yang bisa menghantam sel tubuh manusia dan menyebabkan kerusakan serius.

Di Bumi, kita mendapat perlindungan dari atmosfer tebal dan medan magnet yang sangat luas. Tapi di luar angkasa, semua perlindungan itu hilang.

Jika sinar kosmik menghantam tubuh, ia bisa merusak DNA, memicu mutasi, atau menyebabkan respon imun berlebihan yang bisa mengganggu organ-organ penting. Dalam minggu-minggu pertama kehamilan—saat sel-sel embrio sedang berkembang cepat dan membentuk struktur awal tubuh—satu serangan radiasi bisa berakibat fatal. Meski peluangnya kecil, jika terjadi, bisa menyebabkan keguguran yang tidak disadari.

Risiko yang Bertambah Seiring Perkembangan Janin

Memasuki trimester kedua, sirkulasi darah antara ibu dan janin mulai terbentuk. Janin dan rahim pun tumbuh lebih besar. Ukuran ini menjadikannya target yang lebih besar bagi sinar kosmik.

Jika radiasi menghantam otot rahim, itu bisa memicu kontraksi dini dan menyebabkan kelahiran prematur. Meskipun teknologi neonatal terus berkembang, risiko komplikasi tetap tinggi bagi bayi yang lahir terlalu dini—terutama dalam lingkungan antariksa yang belum memiliki sistem medis layaknya di Bumi.

Setelah Lahir: Tantangan Baru

Pertumbuhan bayi tidak berhenti saat lahir. Dalam lingkungan tanpa gravitasi, bayi mungkin akan kesulitan mengembangkan refleks postural dan koordinasi tubuh—kemampuan untuk mengangkat kepala, duduk, merangkak, hingga berjalan. Semua kemampuan dasar itu bergantung pada pemahaman arah dan gravitasi.

Di luar angkasa, tanpa rasa “atas” atau “bawah”, perkembangan motorik bayi bisa berbeda jauh dari pola normal.

Paparan radiasi juga tidak berhenti setelah lahir. Otak bayi yang masih berkembang sangat rentan terhadap kerusakan jangka panjang, yang bisa berdampak pada kemampuan kognitif, perilaku, dan kesehatan mental di kemudian hari.

Jadi, Bisakah Bayi Lahir di Luar Angkasa?

Secara teori, ya—kemungkinan itu ada. Tapi sampai manusia bisa melindungi embrio dari radiasi, mencegah kelahiran prematur, dan memastikan tumbuh kembang bayi tetap sehat dalam mikrogravitasi, kehamilan dan persalinan di luar angkasa tetap menjadi eksperimen berisiko tinggi.

Bagi manusia yang bermimpi tinggal di Mars atau menjelajah tata surya, pertanyaan ini bukan lagi fiksi ilmiah. Suatu hari nanti, untuk menjadi spesies antarplanet, kita bukan hanya harus bisa hidup di planet lain—tapi juga bisa dilahirkan di sana. (*)

Sumber: ScienceAlert

KEYWORD :

Lahiran di luar angkasa Risiko melahirkan Luar angkasa radiasi kosmik kehamilan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :