Sabtu, 26/07/2025 15:08 WIB

Mengenal Kuil Preah Vihear, Situs Suci Pemantik Bara Thailand-Kamboja

Kuil Preah Vihear, sebuah mahakarya arsitektur Hindu di puncak tebing perbatasan Kamboja–Thailand, kembali menjadi saksi bisu pertumpahan darah.

Gambar Kuil Preah Vihear (Foto: UNESCO)

Jakarta, Jurnas.com - Kuil Preah Vihear, sebuah mahakarya arsitektur Hindu di puncak tebing perbatasan KambojaThailand, kembali menjadi saksi bisu pertumpahan darah. Untuk hari kedua berturut-turut, Jumat (25/7/2025) kawasan di sekitar kuil ini dihujani tembakan artileri berat dalam bentrokan bersenjata mematikan antara kedua negara sejak lebih dari satu dekade terakhir.

Sedikitnya 16 orang tewas dan puluhan ribu warga sipil mengungsi dari desa-desa sekitar kuil. Dentuman senjata menggema dari tebing Dângrêk, bukan untuk menghormati dewa, tapi karena duel geopolitik dua negara yang belum usai.

Konflik terbaru menyebar ke wilayah-wilayah baru yang sebelumnya tidak tersentuh, memicu kekhawatiran akan eskalasi lebih luas di kawasan Asia Tenggara. Pertempuran yang menyebar ke area baru ini juga memicu kekhawatiran internasional akan ancaman serius terhadap situs budaya yang diakui UNESCO sebagai warisan dunia.

Dikutip dari berbagai sumber, kuil yang berdiri megah di puncak pegunungan Dângrêk itu sejatinya adalah peninggalan spiritual dari abad ke-9, dibangun oleh Kekaisaran Khmer untuk memuliakan dewa Siwa. Namun dalam sejarah modern, Preah Vihear lebih sering dikenang bukan karena kemegahannya, melainkan sebagai simbol ketegangan yang tak kunjung usai antara dua negara bertetangga.

Ketegangan bermula dari sengketa tapal batas yang tak selesai meski Mahkamah Internasional pada 1962 telah memutuskan kuil berada di wilayah Kamboja. Putusan itu hanya menetapkan posisi bangunan, bukan batas geografis di sekitarnya, yang justru menjadi pemicu konflik baru dari waktu ke waktu.

Situasi semakin rumit setelah UNESCO mengakui kuil ini sebagai Situs Warisan Dunia pada 2008, atas permintaan Kamboja. Thailand memprotes langkah tersebut dan menuding Kamboja mencaplok wilayah perbatasan yang belum disepakati secara resmi.

Bentrokan bersenjata pecah, menewaskan tentara dari kedua pihak dan memaksa ribuan warga sipil mengungsi. Sejak itu, konflik ini dikenal sebagai salah satu sengketa perbatasan paling panas di Asia Tenggara.

Sumber utama sengketa berasal dari interpretasi peta kolonial Prancis yang digunakan Mahkamah Internasional (ICJ) pada 1962 saat memutuskan bahwa kuil berada di wilayah Kamboja. Namun, wilayah di sekitar kuil tidak diatur secara tegas — menyisakan area abu-abu yang menjadi titik konflik militer hingga dekade 2010-an.

Pada 2013, ICJ memperjelas putusan lamanya: seluruh area di sekitar kuil juga berada di bawah kedaulatan Kamboja. Meski keputusan ini bersifat final, tensi politik dan nasionalisme di akar rumput tetap menyisakan bara yang belum sepenuhnya padam.

Bagi Kamboja, Preah Vihear adalah simbol kemenangan diplomatik dan warisan budaya yang tak ternilai. Bagi sebagian warga Thailand, kuil ini justru menjadi simbol kehilangan wilayah dan campur tangan asing. Kuil ini akhirnya bukan hanya ruang ibadah atau objek wisata sejarah, tetapi alat politik domestik di kedua negara — sering dimobilisasi menjelang pemilu atau saat isu nasional melemahkan dukungan rakyat.

Meski telah berulang kali dimediasi oleh ASEAN dan Mahkamah Internasional, Preah Vihear terus menjadi alat mobilisasi politik nasionalis di Bangkok dan Phnom Penh. Konflik ini kerap mencuat menjelang masa-masa politik sensitif di kedua negara.

Preah Vihear bukan hanya bangunan kuno dari masa lalu, tapi simbol identitas yang hidup di masa kini. Perebutan terhadapnya mencerminkan bagaimana warisan budaya bisa berubah menjadi senjata diplomasi dan legitimasi kekuasaan.

Kisah Preah Vihear merupakan potret rumit bagaimana sejarah, budaya, dan politik saling bertaut — kadang membentuk kebanggaan, kadang menyulut konflik. Ia mengajarkan bahwa situs warisan dunia tidak selalu menghadirkan perdamaian, dan bahwa batas negara tak hanya ditentukan oleh peta, tapi juga oleh ingatan, identitas, dan narasi yang hidup di masyarakat.

Jika ketegangan ini terus dibiarkan, dunia bisa kehilangan lebih dari sekadar situs arkeologi. Yang terancam adalah riuan nyawa serta gagasan bahwa sejarah bisa menjadi jembatan peradaban, bukan medan pertempuran yang tak pernah selesai. (*)

KEYWORD :

Kuil Preah Vihear Kamboja Thailand




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :