Sabtu, 26/07/2025 04:25 WIB

Studi Temukan Sebagian Orang Sulit Belajar dari Kesalahan yang Sama

Lewat sebuah eksperimen berbasis gim sederhana, para peneliti menemukan bahwa sebagian orang bukan hanya membuat keputusan buruk – mereka tidak mampu berhenti melakukannya, bahkan setelah diberi tahu secara langsung bahwa tindakan mereka merugikan.

Ilustrasi melakukan kesalahan yang sama (Foto: Pexels/Andrea Piacquadio)

Jakarta, Jurnas.com - Pernah merasa frustrasi karena terus mengulangi keputusan buruk, meski sudah tahu akibatnya? Sebuah studi baru dari University of New South Wales (UNSW) Sydney menunjukkan bahwa kebiasaan ini bukan sekadar soal niat atau kecerdasan – bisa jadi ini memang cara otak Anda bekerja.

Lewat sebuah eksperimen berbasis gim sederhana, para peneliti menemukan bahwa sebagian orang bukan hanya membuat keputusan buruk – mereka tidak mampu berhenti melakukannya, bahkan setelah diberi tahu secara langsung bahwa tindakan mereka merugikan.

Eksperimen Sederhana, Temuan Tak Terduga

Penelitian ini menggunakan sebuah gim online yang terlihat simpel: pemain diminta memilih antara dua planet. Satu membawa keuntungan, yang lain justru mencuri poin. Meskipun efek buruk tidak selalu muncul langsung, cukup banyak petunjuk agar pemain bisa memahami pola dan menghindari jebakan yang sama.

Namun hasilnya menunjukkan bahwa tidak semua orang bisa atau mau belajar dari pengalaman mereka. Beberapa peserta langsung menangkap pola, sebagian lagi butuh penjelasan untuk sadar, sementara sebagian lainnya terus mengulang keputusan buruk – bahkan setelah diberi tahu secara langsung.

Tiga Cara Otak Merespons Risiko

Dalam hasil pengamatan, peneliti mengidentifikasi tiga kelompok perilaku utama. Ada kelompok yang sangat peka terhadap kerugian dan segera mengubah strateginya begitu mengenali pola. Ada juga yang awalnya tidak menyadari hubungan antara pilihan dan akibat, tapi langsung berubah begitu dijelaskan.

Yang paling menarik adalah kelompok yang tetap bertahan pada pola keputusan buruk – meski mereka tahu apa yang sedang terjadi. Mereka menyaksikan sendiri akibat negatifnya, bahkan sudah dijelaskan secara eksplisit, namun tetap saja tidak bisa berhenti melakukan hal yang sama.

Kebiasaan yang Bertahan Lama

Yang mengejutkan, enam bulan setelah eksperimen, sebagian besar partisipan tetap menunjukkan pola perilaku yang sama. Ini mengindikasikan bahwa pola tersebut bukan sekadar kesalahan sesaat – tapi bisa mencerminkan karakteristik yang stabil, bahkan menyerupai tipe kepribadian.

Studi juga menemukan bahwa partisipan berusia di atas 50 tahun lebih cenderung masuk kelompok Compulsives. Hal ini mungkin berkaitan dengan penurunan cognitive flexibility – kemampuan untuk menyesuaikan pola pikir saat menghadapi perubahan.

Kesadaran Tidak Selalu Berarti Perubahan

Mungkin yang paling mengganggu: para Compulsives sebenarnya tahu apa yang mereka lakukan – dan tahu itu salah. Ketika ditanya mengapa mereka membuat pilihan tertentu, banyak dari mereka bisa menjelaskan strategi mereka dengan rinci, meski strategi itu terbukti keliru.

Dengan kata lain, masalahnya bukan kurang informasi – tapi kesulitan dalam mengubah perilaku.

Implikasi Nyata: Edukasi Saja Tidak Cukup

Temuan ini menantang pendekatan konvensional dalam kampanye kesehatan publik yang mengandalkan edukasi semata – seperti pada isu merokok, konsumsi alkohol, pola makan buruk, atau kebiasaan berjudi.

“Bagi sebagian besar orang, informasi memang cukup untuk mengubah perilaku. Tapi bagi kelompok compulsive, kita butuh pendekatan yang lebih dalam dan personal,” kata Dr. Jean-Richard-dit-Bressel.

Apa Selanjutnya?

Penelitian ini membuka peluang untuk intervensi baru – mungkin berbasis terapi perilaku atau pendekatan neuropsikologis – untuk membantu orang yang terjebak dalam pola keputusan merugikan.

Studi lengkap telah diterbitkan di jurnal Communications Psychology, dan memberikan wawasan penting: kadang, kesalahan berulang bukan soal kurang niat, tapi soal bagaimana otak kita merespons pengalaman. (*)

Sumber: Earth

KEYWORD :

Keputusan kompulsif perilaku manusia Kesalahan yang sama edukasi kesehatan mental




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :