
M. Hanif Dhakiri, Wakil Ketua Umum DPP PKB (Foto: Ist)
Jakarta, Jurnas.com - Ada yang menarik dalam peringatan Hari Lahir ke-27 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta Convention Center, 23 Juli 2025. Sebuah gagasan lama yang sempat terpinggirkan kembali mengemuka, bukan karena dikampanyekan, tetapi karena dirasakan sebagai kebutuhan sejarah. Dalam suasana hangat dan sarat muatan ideologis, publik menyaksikan titik temu yang langka: antara nilai, kekuasaan, dan kepercayaan. Di sana, Pasal 33 UUD 1945 tidak hanya disebut, tapi mulai berdenyut kembali sebagai arah pembangunan bangsa.
Pasal tersebut disodorkan secara eksplisit oleh PKB melalui Ketua Dewan Syura KH Ma’ruf Amin dan Ketua Umum DPP PKB Gus Muhaimin Iskandar kepada Presiden Prabowo Subianto sebagai pengingat akan amanat konstitusi yang tak boleh terabaikan. Presiden meresponsnya dengan semangat terbuka. Ia tidak hanya mendengar, tetapi merasakan bahwa yang datang bukan sekadar ide, melainkan suntikan keberanian untuk menata ulang sistem ekonomi nasional agar berpihak pada rakyat dalam arti sebenar-benarnya.
Respons itu tumbuh dari relasi yang bersandar pada nilai. Presiden menyebut dirinya merasa nyaman bersama PKB, sebuah kenyamanan yang mencerminkan keyakinan bahwa partai ini bukan sekadar rekan politik, tetapi mitra yang menawarkan arah. Dari titik ini, kolaborasi ideologis terasa lebih nyata ketimbang sekadar koalisi.
Prabowo: Minum Kopi Saya Jadi Pintar
Menopang, Bukan Menumpang
Di tengah arus besar politik praktis, Gus Muhaimin Iskandar menghadirkan pesan tajam namun jernih: bahwa membangun bangsa tak bisa terus bergantung pada siapa pun, kecuali pada ideologi negara dan bangsa sendiri. Keyakinan ini bukan ekspresi frustrasi, tapi bentuk kemandirian ideologis yang kian langka hari ini.
PKB hadir bukan sebagai penumpang kekuasaan, melainkan penopang arah. Ia membawa gagasan bukan untuk menekan, tapi menguatkan; bukan untuk menawarkan syarat, tetapi menyodorkan jalan. Maka ketika Pasal 33 dikedepankan sebagai strategi menata ulang fondasi ekonomi kebangsaan, dan Presiden menyambutnya sebagai suntikan keberanian, terlihat jelas bahwa yang bertemu adalah kekuasaan dan nilai, bukan sekadar kepentingan politik.
Kesalingpengertian itu menunjukkan hadirnya mitra politik yang tak hanya loyal secara posisi, tetapi kokoh secara prinsip. Sebuah mitra yang tak sekadar siap mengikuti, tetapi mampu menyokong negara saat menempuh jalan terjal. Dalam perjalanan berat itulah peran PKB sebagai partai nilai menjadi kian relevan: bukan untuk mendominasi, tetapi menopang agar arah besar bangsa tetap tegak di tengah tantangan.
Kepemimpinan Nilai
Di antara pidato-pidato malam itu, terselip satu gema penting: bahwa pemimpin bukan hanya pengelola pemerintahan, tetapi juga pengarah sejarah. Presiden Prabowo menyambut tawaran nilai bukan sebagai beban, melainkan sebagai penguatan. Ia menjawabnya dengan satu komitmen ideologis: bahwa negara tak boleh berpaling dari konstitusi yang menempatkan rakyat di pusat agenda pembangunan.
Dalam dunia yang makin liberal dan masyarakat yang makin kompleks, keberanian menyentuh kembali Pasal 33 adalah langkah besar, dan akan lebih berarti jika dilandasi kebersamaan dengan mereka yang setia pada cita-cita konstitusi. Di sinilah kehadiran PKB menjadi relevan: bukan semata partai pendukung, tetapi penjaga nalar rakyat agar tetap hadir dalam proses pengambilan keputusan.
KH Ma’ruf Amin memperkaya arah ini dengan menegaskan bahwa kekayaan negara adalah titipan yang harus digunakan sebesar-besarnya untuk rakyat, dalam semangat Islam rahmatan lil ‘alamin. Semangat ini pula yang terasa dalam refleksi Presiden, bahwa negara butuh keseimbangan antara kekuasaan dan hikmah, antara keberanian dan kebajikan.
Cahaya dari Pasal 33
Pasal 33 UUD 1945 adalah pernyataan politik paling jujur tentang arah ekonomi bangsa. Ia tidak hanya menegaskan tujuan kemakmuran rakyat, tetapi juga alat dan jalurnya, yakni: penguasaan negara atas sumber daya strategis dan keadilan dalam distribusi. Selama bertahun-tahun, pasal ini nyaris menjadi simbol yang dikutip tanpa benar-benar dijalankan. Kini, ia tampak kembali dihidupkan, bukan dengan gegap gempita, melainkan dengan keberanian yang ditopang keyakinan.
Dan mungkin di situlah letak momentum baru itu. Ketika Presiden menyambut gagasan yang disodorkan PKB dengan penuh kesadaran, dan ketika gagasan itu datang bukan sebagai tuntutan politik melainkan sebagai panggilan konstitusi, yang lahir bukan hanya kerja sama kekuasaan, melainkan konsolidasi arah sejarah. Presiden tidak sedang menjalankan rutinitas pemerintahan. Ia sedang membentuk sejarah. Dan sejarah, seperti yang kita tahu, hanya berpihak pada mereka yang berani berpijak pada nilai, dan setia pada jalan panjang rakyat.
[Oleh: M. Hanif Dhakiri, Wakil Ketua Umum DPP PKB]
KEYWORD :Pasal 33 UUD 1945 PKB Prabowo Subianto Hanif Dhakiri