
Ilustrasi - seorang pasien diabetes tipe 2 menyuntikkan insulin (Foto: REUTERS)
Jakarta, Jurnas.com - Penelitian besar di Afrika sub-Sahara mengungkap jenis diabetes baru yang tak sesuai dengan kategori klasik tipe 1. Temuan ini bisa mengubah arah diagnosis dan pengobatan secara global.
Selama hampir satu abad, diabetes tipe 1 dikenal sebagai penyakit autoimun yang muncul di usia muda, dengan gejala khas dan kebutuhan insulin seumur hidup. Namun, sebagian besar data yang membentuk pemahaman ini berasal dari Eropa dan Amerika Utara. Di wilayah lain, cerita berbeda ternyata telah lama berlangsung – hanya saja, belum terdokumentasi secara ilmiah.
Fenomena Aneh yang Kini Terbukti Nyata
Di berbagai klinik di sub-Sahara Afrika, tenaga medis telah lama mengamati kasus anak-anak yang didiagnosis sebagai tipe 1, tapi bisa bertahan hidup tanpa insulin lebih lama dari yang dianggap mungkin. Kini, bukti ilmiah mulai menguatkan pengamatan tersebut.
Studi Young-Onset Diabetes in Sub-Saharan Africa (YODA) melibatkan hampir 900 anak, remaja, dan dewasa muda dari Kamerun, Uganda, dan Afrika Selatan. Mereka menjalani tes darah, pemindaian genetik, dan pencatatan riwayat klinis. Hasilnya, yang dipublikasikan di The Lancet Diabetes & Endocrinology, mengejutkan banyak pihak.
Sekitar 65% partisipan tidak memiliki penanda autoimun khas tipe 1, dan gen-gen risiko tinggi yang biasanya ditemukan pada pasien tipe 1 juga tidak hadir. Hanya 8,5% yang memiliki lebih dari satu autoantibodi terkait diabetes, dibandingkan sekitar 90% pada pasien baru di negara-negara Barat.
Subtipe Baru yang Tidak Masuk Kategori Lama
Temuan ini mengarah pada kemungkinan adanya jenis diabetes baru – suatu kondisi kekurangan insulin yang bukan disebabkan oleh autoimunitas, bukan pula akibat resistensi insulin seperti pada tipe 2, dan tidak sesuai dengan diabetes terkait malnutrisi.
“Kami selalu bertanya-tanya, bagaimana mungkin banyak anak yang disebut tipe 1 bisa bertahan tanpa insulin untuk sementara waktu? Sekarang kami punya datanya,” kata Dr Jean-Claude Katte dari University of Exeter.
Perbandingan dengan Studi di AS Ungkap Pola Rasial dan Lingkungan
Tim YODA membandingkan data ini dengan lebih dari 3.000 anak dari studi SEARCH for Diabetes in Youth di Amerika Serikat. Pola serupa terlihat pada sebagian kecil anak kulit hitam Amerika, tapi tidak muncul pada anak kulit putih – mengindikasikan faktor genetik dan lingkungan yang berbeda, serta mengesampingkan kemungkinan kesalahan laboratorium.
Semua sampel diuji menggunakan metode yang dikalibrasi khusus untuk populasi Afrika. Fakta bahwa pola ini muncul di tiga negara berbeda – dengan iklim, pola makan, dan infeksi yang beragam – menambah bobot temuan ini.
Implikasi Global, Perlu Ubah Cara Diagnosis dan Terapi
“Ini adalah peringatan bagi dunia medis,” ujar Profesor Moffat Nyirenda dari Uganda Research Unit. “Kita harus menyesuaikan pendekatan diagnosis dan pengobatan agar relevan dengan konteks lokal.”
Jika dua dari tiga pasien muda di Afrika ternyata mengalami jenis diabetes berbeda, maka angka global dan prioritas penelitian harus dievaluasi ulang. Pasien tipe 1 klasik memerlukan insulin seumur hidup. Namun, mereka yang termasuk dalam subtipe baru ini mungkin akan lebih diuntungkan dengan terapi yang mendukung sel beta pankreas yang masih berfungsi.
Kesalahan diagnosis bukan hanya soal angka – tapi juga menyangkut biaya, risiko pengobatan berlebihan, dan peluang yang hilang untuk mencegah penyakit.
Langkah Selanjutnya: Cari Pemicu, Perbaiki Strategi Pencegahan
Studi ini membuka banyak pertanyaan. Misalnya, apakah autoantibodi bisa hilang dari waktu ke waktu, dan apakah pemeriksaan yang lebih cepat setelah diagnosis akan menunjukkan hasil berbeda?
Peneliti kini fokus mengidentifikasi faktor penyebab, mulai dari infeksi, pola makan, hingga paparan racun lingkungan. Menurut Dr Katte, menemukan pemicunya bisa menjadi kunci untuk mencegah kasus baru dan membuka jalur pengobatan baru.
Profesor Eugene Sobngwi dari Kementerian Kesehatan Kamerun menegaskan pentingnya riset berbasis konteks lokal. “Jika kita tidak berinvestasi di sini, kita akan terus salah diagnosis dan salah perlakuan terhadap jutaan orang.”
Penemuan ini bukan hanya soal jenis baru diabetes. Ini juga tentang keadilan dalam ilmu pengetahuan. Fokus penelitian yang terlalu sempit selama puluhan tahun bisa membuat kita melewatkan hal-hal penting dalam biologi manusia.
Memperluas cakupan riset tidak hanya membantu Afrika, tapi memperbaiki pemahaman global tentang kesehatan. Buku teks medis mungkin perlu direvisi, namun yang lebih penting adalah memastikan semua pasien – dari mana pun asalnya – mendapatkan diagnosis dan perawatan yang benar.
Studi lengkap tersedia di The Lancet Diabetes & Endocrinology. (*0
Sumber: Earth
KEYWORD :Subtipe baru diabetes jenis baru diabetes pengobatan diabetes terbaru