
Hari Keadilan Pidana Internasional 17 Juli (Foto: ICC)
Jakarta, Jurnas.com - Setiap 17 Juli, masyarakat global memperingati Hari Keadilan Internasional. Tanggal ini bukan sekadar simbol, melainkan momen bersejarah dalam perjuangan melawan kejahatan paling serius di dunia.
Dikutip dari berbagai sumber, peringatan Hari Keadilan Internasional merujuk pada pengesahan Statuta Roma pada 17 Juli 1998. Statuta ini menjadi dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC).
Proses lahirnya Statuta Roma tidak berlangsung singkat. Sejak 15 Juni hingga 17 Juli 1998, sebanyak 160 negara berkumpul di Roma dalam Konferensi PBB untuk membahas pembentukan ICC.
Setelah negosiasi intensif selama lima minggu, 120 negara menyepakati adopsi Statuta Roma. Tujuh negara menolak, termasuk Amerika Serikat dan Tiongkok, sementara 21 negara memilih abstain.
Dikutip dari laman coalitionfortheicc-org, dan International Criminal Court, Statuta Roma menetapkan empat jenis kejahatan yang menjadi yurisdiksi ICC: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Selain itu, dokumen ini juga menjamin proses hukum yang adil, termasuk perlindungan hak korban dan terdakwa.
Untuk bisa diberlakukan, Statuta membutuhkan ratifikasi dari setidaknya 60 negara. Ambang itu tercapai pada 11 April 2002, dan Statuta resmi berlaku pada 1 Juli 2002.
Dalam waktu bersamaan, Majelis Negara Pihak (Assembly of States Parties/ASP) mulai bekerja membentuk struktur hukum dan administratif pengadilan. ICC kemudian resmi berkedudukan di Den Haag, Belanda.
Namun penetapan 17 Juli sebagai Hari Keadilan Internasional baru terjadi delapan tahun kemudian. Pada 2010, Konferensi Peninjauan Statuta Roma di Kampala, Uganda, secara resmi menetapkan tanggal ini sebagai perin
Momentum ini bukan sekadar bentuk penghormatan terhadap hukum internasional. Ia juga menegaskan pentingnya dukungan global terhadap korban kejahatan berat dan upaya memerangi impunitas.
Peringatan ini juga mengingatkan bagaimana sejarah panjang pembentukan ICC berakar dari kegagalan dunia mencegah kekejaman perang. Dari Perang Dunia II, dunia belajar bahwa kekuasaan tanpa hukum hanya melahirkan bencana kemanusiaan.
Pengadilan Nuremberg dan Tokyo menjadi pengadilan pertama yang mengadili individu atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Meski sempat menuai kontroversi, keduanya meletakkan fondasi moral dan hukum bagi pembentukan pengadilan internasional yang permanen.
ICC hadir untuk menjawab kebutuhan itu, dengan mandat mengadili individu pelaku kejahatan berat lintas negara. Namun, pengadilan ini hanya berlaku bila pengadilan nasional tidak sanggup atau tidak mau menindak secara adil.
Hingga kini, kehadiran ICC tetap menjadi tonggak penting dalam sistem keadilan global. Ia menegaskan bahwa hukum tidak tunduk pada kekuasaan, dan bahwa keadilan tak mengenal batas negara.
Namun, jalannya tak selalu mulus. Beberapa negara besar masih enggan bergabung atau bahkan menarik diri dari Statuta Roma.
Meski begitu, dukungan dari masyarakat sipil dan negara anggota tetap menguatkan peran ICC. Koalisi untuk ICC setiap tahun menggelar kampanye dan peringatan untuk memastikan suara korban tetap terdengar.
Seperti diungkapkan William R. Pace, arsitek Koalisi ICC, pembentukan sistem hukum pidana internasional adalah langkah revolusioner bagi perdamaian dan supremasi hukum. Pernyataannya menegaskan bahwa sistem ini harus dijaga agar terus memberi keadilan bagi yang selama ini dibungkam, demikian dikutip Coalitionfortheicc.
Hari Keadilan Internasional bukan hanya tentang sejarah hukum. Ia adalah pengingat bahwa keadilan adalah hak semua manusia, bukan hak istimewa bagi segelintir negara atau penguasa.
Dengan memperingati 17 Juli, dunia menegaskan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan tidak akan dibiarkan tanpa konsekuensi. Sebab tanpa keadilan, tak akan pernah ada perdamaian yang sejati. (*)
KEYWORD :Hari Keadilan Inernasional 17 Juli Peringatan Hari Keadilan Sejarah ICC