
Gambar ular (FOTO: GETTY IMAGE)
Jakarta, Jurnas.com - Di antara kisah paling dramatis dalam Al-Qur’an adalah pertarungan antara Nabi Musa dan Firaun—sebuah konflik abadi antara kebenaran dan kebatilan. Salah satu elemen paling mencolok dari kisah ini ialah transformasi tongkat Nabi Musa menjadi ular. Namun, lebih dari sekadar mukjizat visual, kisah ini menyimpan makna simbolik, linguistik, dan spiritual yang luar biasa dalam narasi Qur’ani.
Kisah Nabi Musa dan tongkat yang berubah menjadi ular diabadikan Alquran dalam berbagai surat, termasuk al-A’raf, Toha, al-Qasas, dan asy-Syu‘ara’. Dalam beberapa ayat, mukjizat ini dijelaskan dengan sangat visual dan simbolik. Saat Nabi Musa diperintahkan menyampaikan risalah kepada Firaun, ia datang membawa bukti nyata yang tak terbantahkan—tongkatnya berubah menjadi ular besar yang menakutkan.
“Lalu (Musa) melemparkan tongkatnya, tiba-tiba tongkat itu menjadi ular besar yang sebenarnya.” (QS. al-A’raf: 107)
Al-Qur’an tidak menyebut bentuk ular itu dengan satu istilah saja. Dalam beberapa ayat, digunakan kata su‘ban, hayyah, dan jan, yang masing-masing menggambarkan penampakan ular dengan nuansa makna yang berbeda.
Perbedaan istilah ini bukan tanpa makna. Beberapa mufasir menafsirkannya sebagai proses bertahap: mula-mula tongkat itu berubah menjadi ular kecil yang gesit, lalu menjadi ular panjang yang lincah, dan akhirnya menjadi ular besar yang benar-benar nyata dan menakutkan.
Sementara itu, ada pula yang memandang bahwa variasi istilah ini menyesuaikan dengan tempat dan situasi terjadinya mukjizat. Di hadapan Firaun, misalnya, mukjizat itu ditampilkan dalam bentuk paling menakutkan untuk menghancurkan keangkuhannya secara simbolis.
Simbolisme ini menjadi semakin kuat mengingat dalam budaya Mesir Kuno, ular merupakan lambang kekuasaan dan perlindungan raja, demikian dikutip Republika. Firaun bahkan mengenakan mahkota dengan simbol ular kobra yang dipercaya memberi kekuatan ilahi.
Dengan menampilkan ular sebagai bentuk mukjizat, Al-Qur’an sebenarnya sedang mendobrak simbol kekuasaan itu secara terang-terangan. Tongkat Musa bukan hanya berubah menjadi ular, tetapi ular tersebut juga memakan semua ular ilusi hasil sihir para penyihir Firaun.
Dalam Surah Toha dan asy-Syu‘ara’, Al-Qur’an menyebut bahwa para penyihir melemparkan tali dan tongkat mereka yang kemudian tampak seperti ular-ular yang menjalar. Namun Musa, dengan izin Allah, melemparkan tongkatnya yang langsung menelan ilusi mereka.
Sihir itu akhirnya runtuh di hadapan mukjizat yang hakiki. Para penyihir yang awalnya menjadi bagian dari rencana Firaun justru sujud dan menyatakan keimanan mereka, karena menyadari bahwa mereka tidak sedang berhadapan dengan kekuatan manusia, melainkan kebenaran dari Tuhan.
Peristiwa ini tak hanya menjadi momen perubahan besar bagi para penyihir, tetapi juga mengandung pesan universal yang relevan sepanjang masa. Bahwa kebenaran, meski datang dengan cara yang tak biasa, akan selalu menang atas kepalsuan, sekuat apa pun ia dipertontonkan.
Namun sebelum momen besar ini terjadi, Musa sempat mengalami ketakutan. Ia merasa belum siap menghadapi Firaun, terlebih karena ia adalah buronan akibat insiden pembunuhan di masa lalunya.
Rasa takut itu sangat manusiawi, dan Al-Qur’an menggambarkannya secara jujur tanpa mengurangi kehormatan Nabi Musa. Ia bahkan memohon kepada Allah agar saudaranya, Harun, diizinkan mendampingi dalam menjalankan misi dakwah ini.
Allah pun mengabulkan permintaan itu. Bersama Harun, Musa kembali ke Mesir untuk menghadapi Firaun dengan membawa risalah tauhid dan mukjizat yang akan membungkam segala bentuk sihir dan kedustaan.
Mukjizat tongkat yang berubah menjadi ular menjadi momen penentu dalam konfrontasi ini. Bukan hanya karena visualnya yang dahsyat, tetapi karena makna simbolik dan spiritualnya yang menghancurkan pilar-pilar kekuasaan berbasis ilusi.
Al-Qur’an dengan kecermatan bahasanya memilih kata-kata yang tidak hanya tepat secara linguistik, tetapi juga selaras dengan konteks, audiens, dan pesan yang ingin disampaikan. Kata su‘ban, hayyah, dan jan menjadi bukti keindahan dan kedalaman makna dalam wahyu Tuhan.
Lebih dari sekadar cerita mukjizat, kisah ini menyuarakan pertarungan abadi antara kebenaran dan kebatilan. Dan seperti yang terjadi pada Musa dan Firaun, kemenangan selalu berpihak pada yang benar—meski harus menghadapi kekuasaan yang paling angkuh sekalipun.
Jika mukjizat itu diabadikan dalam berbagai ayat, bukan karena pengulangannya semata, tapi karena pesan universalnya yang selalu relevan. Pada akhirnya, tongkat yang berubah menjadi ular bukan hanya mukjizat visual, tapi juga simbol penegak kebenaran yang datang dari langit. (*)
Wallohu`alam
KEYWORD :Kisah Ular Al-Quran Mukjizat Nabi Musa