
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump (Foto: Anadolu)
Jakarta, Jurnas.com - Ketegangan seputar program nuklir Iran kembali memanas, memunculkan pertanyaan besar, siapa sebenarnya yang memegang kendali dalam krisis yang telah berlangsung bertahun-tahun ini, antara Iran dan kekuatan-kekuatan Eropa?
Situasi ini bagaikan permainan catur diplomatik yang rumit, di mana setiap langkah memiliki konsekuensi global.
Sejak Amerika Serikat di bawah pemerintahan sebelumnya menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran (JCPOA) pada 2018 dan memberlakukan kembali sanksi, hubungan antara Teheran dan Eropa kian merenggang.
Negara-negara Eropa, seperti Inggris, Prancis, dan Jerman (kelompok E3), berupaya keras menyelamatkan kesepakatan itu dan menjaga jalur diplomasi tetap terbuka. Namun, di sisi lain, Iran terus mempercepat program pengayaan uraniumnya, yang memicu kekhawatiran serius di Barat.
Pertemuan antara pejabat Iran dan Eropa terus berlanjut, kadang tertutup, kadang terbuka. Misalnya, pada Mei 2025 lalu, pejabat Iran dan Eropa sempat mengadakan pembahasan di Istanbul, Turki, untuk mencari solusi dan mencegah eskalasi.
Iran sendiri telah berulang kali menyatakan kesediaannya untuk berdiplomasi, namun dengan syarat yang tegas: sanksi harus dicabut dan agresi, terutama dari AS dan Israel, harus dihentikan.
Di sisi lain, Eropa berada dalam posisi yang sulit. Mereka ingin mempertahankan prinsip multilateralisme dan menjaga kesepakatan nuklir, namun juga harus menyeimbangkan hubungan strategis dengan Amerika Serikat, yang memiliki pandangan lebih keras terhadap Iran.
Perpecahan di antara negara-negara Eropa sendiri kadang terlihat dalam merespons situasi, yang berisiko mengurangi efektivitas diplomasi mereka.
Iran telah menunjukkan tekadnya untuk tidak gentar. Mereka menolak negosiasi jika AS tetap mendesak penghentian pengayaan uranium.
Bahkan, Iran mengancam akan memberikan respons proporsional jika Eropa mengaktifkan kembali sanksi PBB terhadap mereka.
Ini menunjukkan bahwa Teheran merasa memiliki posisi tawar, terutama dengan dukungan dari negara-negara seperti Tiongkok dan Rusia yang menjadi pembeli minyak mereka, melemahkan efektivitas sanksi Barat.
Namun, eskalasi militer, seperti serangan yang baru-baru ini terjadi terhadap fasilitas nuklir Iran dan balasan dari Teheran, semakin memperumit situasi.
Krisis ini menunjukkan bahwa kekuatan tidak hanya diukur dari militer atau ekonomi semata, tetapi juga dari ketahanan diplomatik, solidaritas internal, dan kemampuan untuk memproyeksikan pengaruh.
Dalam permainan catur diplomatik ini, baik Iran maupun Eropa sedang menguji batas-batas kekuatan masing-masing, dengan nasib stabilitas regional dan global menjadi taruhannya.
KEYWORD :Iran Eropa nuklir krisis global hubungan diplomatik