
Ilustrasi Asal Usul Lampu Lalu Lintas yang Disebut KDM Penyebab Macet di Bandung (Foto: Pexels/Darius Krause)
Jakarta, Jurnas.com - Lampu lalu lintas atau traffic light kini menjadi elemen krusial dalam sistem transportasi modern. Di hampir setiap persimpangan kota, keberadaannya mudah ditemukan. Keberadaanya pun tak bisa dilepaskan dari upaya menjaga ketertiban lalu lintas. Namun, siapa sangka, alat yang kini sangat umum itu berawal dari percobaan yang… meledak?
Belakangan ini, isu lampu lalu lintas kembali hangat diperbincangkan setelah Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyebut sistem traffic light atau lampu lalu lintas menjadi salah satu penyebab kemacetan di Bandung. Pernyataan ini muncul menyusul laporan TomTom Traffic Index 2024 yang menempatkan Bandung sebagai kota paling macet di Indonesia, mengalahkan Jakarta dan Surabaya.
Laporan itu sebagaimana disinggung dan disoroti Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung dalam acara Rapat Koordinasi Pemberantasan Korupsi usai pelantikan kepala daerah. Ia menggunakan nada jenaka menyoroti bahwa gelar kota termacet di Indonesia kini disandang Bandung.
Merespons kemacetan yang terjadi di Kota Bandung, Dedi Mulyadi menyoroti salah satu penyebab yang kerap luput dari perhatian, yakni sistem traffic light atau lampu lalu lintas.
"Kita lagi membuat analisis tentang traffic light. Karena traffic light itu justru bikin macet. Bisa nggak ke depan sih traffic light itu membuat menjadi lancar," kata Dedi dikutip Nettizen Bandung, dan Detik, Jumat (11/7/2025).
Lampu lalu lintas selama ini dianggap sebagai perangkat vital untuk mengatur arus kendaraan, terutama di persimpangan dan area penyeberangan pejalan kaki. Dengan kombinasi tiga warna—merah (berhenti), kuning (hati-hati), dan hijau (jalan)—lampu ini berfungsi memberi aba-aba yang seragam dan universal bagi pengendara.
Namun, Dedi menilai penempatan dan durasi waktu lampu di sejumlah titik di Bandung kurang akurat. Akibatnya, kendaraan justru menumpuk dari arah yang seharusnya bisa mengalir lancar. Evaluasi ini menjadi bagian dari langkah serius Pemprov Jawa Barat dalam membenahi kemacetan, terutama di akhir pekan saat Bandung diserbu wisatawan dari Jakarta.
Meski kini menjadi bagian tak terpisahkan dari lalu lintas modern, lampu lalu lintas memiliki sejarah panjang dan penuh eksperimen.
Perjalanan Panjang Lampu Lalu Lintas, dari Semafor, Gas hingga Listrik
Dikutip dari laman Dinas Perhubungan Buleleng, lampu lalu lintas pertama di dunia dipasang di London pada 1868, di depan Gedung Parlemen Inggris. Dirancang oleh John Peake Knight, seorang insinyur sinyal kereta api, lampu ini menggunakan semafor di siang hari dan lampu gas di malam hari. Sayangnya, sistem awal ini gagal setelah ledakan gas mengakhiri operasinya hanya tiga bulan setelah dipasang.
Perbaikan signifikan datang dari Garrett A. Morgan, penemu asal Amerika Serikat. Usai menyaksikan kecelakaan lalu lintas, Morgan merancang sistem tiga warna yang memberikan jeda aman antara “stop” dan “go”. Inovasinya menciptakan dasar lampu lalu lintas modern, yang kemudian disempurnakan oleh William Potts di Detroit, Michigan pada tahun 1920.
Potts memperkenalkan lampu lalu lintas tiga warna otomatis pertama yang secara permanen mengatur lalu lintas tanpa intervensi manusia. Solusi ini menjadi jawaban atas kebutuhan sistem yang lebih efisien, sekaligus mengurangi beban kerja polisi lalu lintas.
Sejarah Lampu Lalu Lintas di Indonesia
Di Indonesia, lampu lalu lintas pertama mulai terlihat pada 1950-an. Dikutip dari laman Historia, Firman Lubis dalam bukunya Jakarta 1950-an menyebut saat itu hanya ada satu atau dua lampu di persimpangan penting seperti Jalan Sabang dan Kebon Sirih, sementara titik lainnya masih bergantung pada polisi yang mengatur dengan peluit dan isyarat tangan.
Pada 1960-an, lampu lalu lintas masih dianggap barang mewah. Horst H. Geerken, warga Jerman yang tinggal di Indonesia, menyebut bahwa lampu lalu lintas pertama di Jakarta ada di kawasan Harmoni. Namun, seiring pertumbuhan kota dan kendaraan, pemerintah mulai memasang lampu lalu lintas secara lebih masif—terutama di masa Gubernur Ali Sadikin. Pemasangan ini juga mencakup halte bus dan jembatan penyeberangan demi keselamatan pejalan kaki.
Menurut Wardiman Djojonegoro, proyek lampu lalu lintas kala itu dimenangkan oleh perusahaan teknologi Siemens.
Tak hanya Jakarta, kota lain seperti Bengkulu juga mulai menerapkan sistem lampu lalu lintas. Lampu pertama di Bengkulu tercatat mulai digunakan pada tahun 1979. Lantas, kapan lampu lalu lintas pertama dipasang di Bandung?
Nanum, terdapat anggapan atau teori lain terkait pemasangan lampu lalu lintas pertama di Indonesia. Dikutip dari laman Koran Mandala dan Komunitasaleut, pada 30 Januari 1934, Bandung resmi memasang lampu merah otomatis bernama Stop-Vrij Otomatis di simpang Lembangweg – Tjitjendo – Merdikalio – Nieuwe Kerkhofweg (kini Pajajaran – Cicendo – Wastukencana, dekat pabrik kina).
Bentuknya dibuat seperti salib, lampu merah menyala horizontal, sedangkan lampu hijau menyala vertikal. Desain ini dibuat agar sekaligus bisa dipahami oleh orang dengan buta warna.
Menurut Kepala Polisi Bandung kala itu, sebelum lampu dipasang, kecelakaan hampir terjadi setiap hari di simpang tersebut. Tapi dalam beberapa minggu pertama setelah pemasangan, tidak ada lagi kecelakaan yang dilaporkan, demikian dikutip Koran Mandala dan Komunitasaleut.
"Lampu Merah Terlama" di Indonesia?
Di masa kini, Bandung kembali viral terkait lampu lalu lintas—kali ini bukan karena sejarah, tapi karena lamanya durasi menunggu. Lampu merah di simpang Kiaracondong – Soekarno Hatta disebut-sebut sebagai lampu merah paling lama di Indonesia.
Menurut data Dishub Kota Bandung via sistem ATCS, durasi maksimal lampu merah di titik ini adalah 395,5 detik (sekitar 6–7 menit).
Namun, pengendara mengeluhkan bisa menunggu hingga 12 menit, terutama saat lalu lintas padat. Dishub menyebut durasi tersebut sudah dihitung berdasarkan kepadatan lalu lintas, tetapi warga menilai pengaturan waktunya tetap tidak ideal karena dampaknya menjalar ke kemacetan di jalan-jalan sekitarnya.
Dengan demikian, sejarah panjang lampu lalu lintas menunjukkan bahwa inovasi dan adaptasi adalah kunci agar keberadaan lampu itu terus relevan, bukan sekadar pajangan di persimpangan. (*)
KEYWORD :Lampu lalu lintas Dedi Mulyadi Bandung Sejarah Lampu Lalu Lintas