Jum'at, 11/07/2025 20:48 WIB

Bacakan Pleidoi Hasto Kutip Surat Al-Maidah Ayat 8, Apa Maknanya?

Bacakan Pleidoi Hasto Kutip Surat Al-Maidah Ayat 8, Apa Maknanya?

Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (Foto: Istimewa).

Jakarta, Jurnas.com - Dalam momen yang tak biasa di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengakhiri pleidoinya dengan mengutip ayat-ayat suci dari Al-Qur`an dan Alkitab. Salah satu ayat yang dikutip Hasto dalam kesempatan itu salah satunya ialah Surat Al-Ma’idah ayat 8, sebuah ayat yang sarat nilai keadilan dan keteguhan moral, bahkan terhadap pihak yang dibenci.

"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa," demikian, bunyi arti Surat Al-Ma’idah: 8, yang dikutip Hasto di Pengadilan Tipikor, Kamis, 10 Juli 2025.

Diketahui, pernyataan ini muncul dalam nota pembelaan Hasto terkait kasus Harun Masiku—buronan yang telah lama menjadi polemik hukum dan politik nasional. Dalam pleidoinya, Hasto tidak hanya membela diri, tapi juga menyisipkan pesan moral dan spiritual melalui kutipan dari tiga ayat: Al-Ma’idah ayat 8 dan 51, serta Ghafir ayat 18, demikian dikutip dari berbagai sumber.

Kutipan beberapa ayat di atas, seperti Surat Al-Ma’idah ayat 8 oleh Hasto Kristiyanto dalam sidang pembelaannya memang menarik perhatian. Namun lebih dari sekadar kutipan, ayat ini menyimpan prinsip penting dalam ajaran Islam tentang keadilan yang bersumber dari keimanan.

Surat Al-Ma’idah ayat 8 merupakan salah satu ayat penting dalam Islam yang mengajarkan tentang keadilan yang universal, bahkan dalam situasi penuh kebencian atau konflik.

يَا أَيُّهَا ٱلَّذِينَ آمَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu orang-orang yang selalu menegakkan keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Makna dan Tafsir Surah Al-Maidah Ayat 8

Bebebrpa sumber meyakini bahwa ayat ini turun dalam konteks sosial yang sarat ketegangan antara umat Islam dan kaum musyrik pasca perjanjian Hudaibiyah. Dalam situasi tersebut, muncul risiko besar untuk membalas dendam secara emosional, namun Allah menegaskan larangan berlaku zalim meskipun terhadap musuh.

Perintah berlaku adil dalam ayat ini tidak bersyarat dan tidak melihat siapa yang dihadapi. Bahkan ketika rasa benci muncul, umat Islam tetap diperintahkan untuk menegakkan keadilan karena Allah, bukan karena emosi.

Menurut Tafsir Kementerian Agama RI, ayat ini menekankan pentingnya keadilan yang tak berpihak, bahkan kepada musuh sekalipun. Ini bukan hanya standar etika personal, tapi fondasi dari masyarakat yang bertakwa, demikian dikutip Tafsirweb.

Ulama M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menyandingkan ayat ini dengan QS. An-Nisa ayat 135. Jika dalam QS. An-Nisa umat diperintahkan untuk adil terhadap diri sendiri dan keluarga, maka dalam QS. Al-Ma’idah ayat 8, ujian keadilan justru datang saat berhadapan dengan pihak yang dibenci. Shihab menyebutkan, keadilan adalah substansi dari ajaran Islam yang tidak boleh dikalahkan oleh perasaan, termasuk kasih sayang.

Menurut Quraish Shihab, ini adalah ujian moral yang lebih berat karena menahan diri dari ketidakadilan terhadap musuh memerlukan integritas spiritual yang tinggi. Dalam Islam, keadilan bukan sekadar nilai sosial, melainkan inti dari ketakwaan itu sendiri, demikian dikutip Tafsir Aquran.

Lebih jauh, ia menambahkan bahwa kasih sayang sekalipun tidak boleh mengalahkan keadilan. Sebab kasih sayang bersifat subjektif dan cenderung memihak, sedangkan keadilan menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya.

Penafsiran serupa juga ditemukan dalam Fathul Karim al-Mukhtashar, ringkasan tafsir Ibnu Katsir karya Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin, pengajar Universitas Islam Madinah, seperti dikutip Tafsirweb. Dalam penjelasan beliau, konteks ayat ini diperkuat oleh sebuah hadits sahih tentang keadilan dalam keluarga.

Diriwayatkan dalam Bukhari dan Muslim, Nu’man bin Basyir berkata, “Ayahku memberikan sebuah pemberian kepadaku, lalu ibuku berkata: Tidak sah kecuali disaksikan oleh Rasulullah SAW.” Ketika dimintai kesaksian, Rasulullah SAW bertanya, “Apakah setiap anakmu telah kamu beri juga?” Ayahnya menjawab, “Tidak.” Maka Rasulullah bersabda, “Bertakwalah kepada Allah, dan berlakulah adil kepada setiap anakmu.” Beliau menolak menjadi saksi atas pemberian yang tidak adil dan akhirnya sang ayah membatalkan pemberian tersebut.

Melalui hadits ini, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa keadilan tidak hanya wajib diterapkan dalam hubungan antar kelompok atau bangsa, tetapi juga dalam ruang terkecil seperti keluarga. Allah kemudian menegaskan, “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil,” yang berarti bahwa keadilan wajib ditegakkan tanpa memandang siapa yang dihadapi.

Ibnu Katsir juga menyebut bahwa perintah “berlaku adillah” diungkap dalam bentuk kata kerja imperatif yang dhamir-nya kembali pada substansi keadilan itu sendiri. Ini menunjukkan bahwa perintah tersebut tidak hanya bersifat teknis, tapi sarat muatan nilai dan spiritualitas.

Selanjutnya, firman “karena adil itu lebih dekat kepada takwa” mengandung bentuk af‘āl at-tafdhīl atau superlatif, meskipun tidak menyebut lawan katanya. Ini mengisyaratkan bahwa takwa tidak akan pernah sempurna tanpa keadilan sebagai pondasinya.

Contoh gaya bahasa serupa juga digunakan Allah dalam ayat lain, seperti dalam Surah Al-Furqan ayat 24: “Penghuni-penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya.” Penggunaan bentuk semacam ini memberikan tekanan makna yang mendalam.

Penutup ayat ini kembali memperkuat pesan spiritual dengan peringatan: “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Ini menjadi pengingat bahwa setiap tindakan, adil atau tidak, akan dibalas oleh Allah sesuai kadar keikhlasannya.

Dengan demikian, Surat Al-Ma’idah ayat 8 bukan hanya seruan etika, tetapi juga pondasi teologis dan spiritual. Ia menuntut umat Islam untuk menjaga objektivitas, bahkan dalam situasi yang penuh emosi dan tekanan sosial.

Keadilan menurut ayat ini bukanlah hasil dari simpati, afiliasi, atau keberpihakan, melainkan lahir dari rasa takut dan cinta kepada Allah. Itulah sebabnya ia disebut “lebih dekat kepada takwa”. (*)

Wallohu`alam

KEYWORD :

Hasto Kristiyanto Al-Quran Al-Maidah ayat 8 Keadilan Peledoi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :