Jum'at, 11/07/2025 16:15 WIB

Studi: Gelombang Panas Ekstrem Makin Panjang, Dunia Harus Bertindak Cepat

Sebuah studi baru yang dipublikasikan di Nature Geoscience memperingatkan bahwa krisis iklim akan mempercepat perubahan ekstrem cuaca lebih cepat dari yang diperkirakan

Seorang wanita membawa payung di dekat Las Setas selama gelombang panas di Seville, Spanyol, 2 Juli 2025. REUTERS

Jakarta, Jurnas.com - Gelombang panas ekstrem tidak hanya semakin sering dan panas—tapi juga diprediksi makin lama. Dan setiap derajat kenaikan suhu global mempercepat durasinya.

Sebuah studi baru yang dipublikasikan di Nature Geoscience memperingatkan bahwa krisis iklim akan mempercepat perubahan ekstrem cuaca lebih cepat dari yang diperkirakan. Penelitian yang dipimpin oleh ilmuwan dari UCLA dan Universidad Adolfo Ibáñez, Chile, ini mengungkapkan bahwa hanya sedikit kenaikan suhu rata-rata global dapat membuat gelombang panas berlangsung jauh lebih lama dari sebelumnya.

“Memori Panas”: Faktor yang Terlupakan dalam Prediksi Iklim

Alih-alih hanya menganalisis suhu rata-rata, para peneliti memperkenalkan konsep baru dalam model iklim: “memori panas”—hubungan statistik yang mengaitkan suhu hari ini dengan hari sebelumnya. Dengan memasukkan elemen ini ke dalam simulasi iklim, para ilmuwan menemukan pola global yang konsisten: semakin hangat suhu rata-rata, semakin cepat durasi gelombang panas memanjang.

“Setiap pecahan kecil derajat pemanasan memiliki dampak yang lebih besar dari sebelumnya,” kata David Neelin, profesor ilmu atmosfer dan kelautan di UCLA. “Artinya, jika pemanasan terus seperti sekarang, maka kecepatan adaptasi kita juga harus lebih cepat lagi—terutama dalam menghadapi gelombang panas ekstrem.”

Cristian Martinez-Villalobos, penulis utama studi ini, menambahkan bahwa gelombang panas terpanjang—yang sebelumnya sangat jarang terjadi—adalah yang paling cepat bertambah frekuensinya.

Fakta Lapangan: Dunia Sudah Merasakannya

Temuan ini bukan sekadar teori. Pada akhir Juni lalu, “heat dome” menyelimuti sebagian besar Amerika Serikat, melumpuhkan infrastruktur dan memaksa darurat publik. Di Eropa, suhu ekstrem menutup destinasi wisata dan membuat Wimbledon menjalankan “Operasi Handuk Es”.

Wilayah tropis menjadi yang paling rentan. Di kawasan seperti Afrika khatulistiwa, Asia Tenggara, dan utara Amerika Selatan, gelombang panas yang berlangsung lebih dari 35 hari diprediksi akan menjadi 60 kali lebih sering pada periode 2020–2044 dibandingkan 1990–2014.

“Di daerah yang suhu hariannya cenderung stabil, tambahan kecil suhu akan punya efek jauh lebih besar,” jelas Neelin.

Imbas Langsung pada Ketahanan Pangan, Kesehatan, dan Energi

Gelombang panas yang lebih panjang meningkatkan risiko kesehatan, memperburuk kekeringan, menurunkan hasil panen, dan memicu kebakaran hutan lebih sering. Model baru ini bisa langsung diaplikasikan dalam proyeksi risiko: dari indeks kekeringan dan bahaya kebakaran, hingga prediksi permintaan listrik dan beban rumah sakit.

Namun, realisasi manfaat dari riset ini terganjal hambatan besar: pemotongan anggaran riset iklim di Amerika Serikat.

“Tanpa dukungan untuk model iklim presisi tinggi, kita akan kehilangan kemampuan untuk membuat prediksi lokal yang akurat. Padahal, itulah yang paling kita butuhkan saat ini,” tegas Neelin.

Adaptasi Tak Lagi Bisa Ditunda

Studi ini menyampaikan pesan tegas: laju adaptasi harus menyesuaikan percepatan dampak. Rencana penanggulangan panas di kota-kota besar perlu dievaluasi lebih cepat dari siklus normal. Operator listrik tak bisa lagi merencanakan berdasarkan tren permintaan yang linier. Dan sistem kesehatan harus siap menghadapi kondisi darurat yang berlangsung lebih lama.

Semua ini berpulang pada satu hal: kesiapan politik dan pendanaan untuk ilmu pengetahuan. Tanpa itu, upaya adaptasi bisa tertinggal jauh di belakang ritme perubahan iklim yang semakin cepat. (*)

Sumber: Earth

KEYWORD :

Gelombang panas ekstrem perubahan iklim pemanasan global krisis iklim tropis




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :