
Pakar hukum dan Anggota Komisi III DPR RI DR. I Wayan Sudirta, SH., MH. Foto: Ist
JAKARTA, Jurnas.com - Pada hari Bhayangkara ke-79 tanggal 1 Juli 2025 lalu, di hadapan Polri dan seluruh rakyat Indonesia, Presiden Prabowo menyampaikan pesan besar kepada Polri untuk menjadi Polisi yang bersih, tangguh, dan mampu melindungi rakyat yang lemah dan tertindas.
Pesan ini menggugah banyak pihak yang saat ini mungkin sedang merasa kecewa dengan sistem penegakan hukum dan keadilan yang tidak memihak pada rakyat yang tertindas, terutama teraniaya atau terinjak oleh penguasa atau para pelanggar hukum.
“Kita masih seringkali melihat dan harus mengakui bahwa penegakan hukum dan keamanan itu justru menjadi penindas rakyat atau melanggar hukum dan hak asasi manusia. Oknum aparat penegak hukum dan peradilan menyalahgunakan kewenangannya atau semena-mena dan tidak jarang diasosiasikan dengan tindakan pemerasan atau korupsi,” demikian disampaikan Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan Dr. I Wayan Sudirta, S.H., M.H., Kamis (10/7/2025).
Asal-usul Iran Menjadi Negara Syiah
Di tengah upaya reformasi aparat penegak hukum oleh Pemerintah yang seolah berjalan stagnan, pernyataan atau pesan Prabowo tersebut membawa angin segar dan harapan baru bagi masyarakat, terutama dalam memperbaiki sistem penegakan hukum dan peradilan secara serius dan menjadi penjaga keadilan dan mendukung perwujudan kemakmuran rakyat.
Momen ini sangat bertepatan dengan dimulainya pembahasan Rancagan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) oleh DPR dan Pemerintah. Komisi 3 DPR yang ditugasi untuk membahas RUU ini bersama wakil Pemerintah (Menteri Hukum dan Menteri Sekretaris Negara) akan memulai babak baru yakni dalam pembahasan setelah penyerahan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) oleh Pemerintah pada 8 Juli 2025 serta keterangan Presiden.
RUU KUHAP akan menjadi momen berharga bagi seluruh pihak, terutama insan hukum untuk kembali meninjau beberapa ketentuan dalam KUHAP 1981 yang dinilai kurang menjamin dan melindungi Hak Asasi Manusia. Seperti pernyataan Ketua Komisi 3, bahwa kedudukan Pemerintah dan aparat penegak hukum (State) dan rakyat (citizens) pada KUHAP masih kurang berimbang. Oleh sebab itu diperlukan pembaruan dan penyesuaian KUHAP terhadap segala perkembangan hukum yang modern.
Bolehkah Melanjutkan Puasa Setelah 10 Muharram?
Mencermati Pembahasan RUU KUHAP
Sebagaimana kajian dan pendapat pribadi I Wayan Sudirta tentang RUU KUHAP seperti pada tulisan-tulisan sebelumnya untuk mencermati RUU KUHAP, penekanan ada pada bagaimana pelindungan hak asasi manusia atau hak warga negara dapat dilakukan. Tentang bagaimana pesan Presiden Prabowo tersebut dapat termanifestasikan dalam pembentukan RUU KUHAP.
DPR dan Pemerintah akan membahas berbagai hal krusial dakam KUHAP seperti mekanisme keadilan restoratif, hak-hak seseorang yang berhadapan dengan hukum; peran advokat, upaya paksa dan kewenangan aparat penegak hukum, modernisasi acara pidana, dan beragam ketentuan lainnya seperti hubungan antar-institusi dan upaya hukum.
"Saya ingin menyampaikan kembali penekanan terhadap penguatan terhadap peran advokat, hak-hak seorang warga negara (tersangka, terdakwa, saksi, dan korban), serta kewenangan institusi. Pertama, terkait dengan kewenangan institusi penegak hukum dan peradilan, saya sependapat dengan Ketua Komisi 3 DPR bahwa RUU KUHAP tidak perlu berkutat pada kewenangan institusional, karena RUU KUHAP tidak akan menggeser, mengurangi, maupun mengalihkan kewenangan Polri, Kejaksaan, Peradilan, maupun insititusi terkait lainnya," ujarnya.
Yang terpenting adalah bagaimana mewujudkan arah penegakan hukum yang lebih adversarial atau seimbang antara kepentingan penegakan hukum (crime control) dan hak asasi manusia (legalitas/due process of law).
Oleh sebab itu, RUU KUHAP pentingnya keseimbangan antara kewenangan institusi dan peran atau kewenangan advokat. Pengawasan baik internal maupun eksternal, yang kini telah dihadirkan dalam bentuk check and balance antar institusi dan pengawasan secara langsung perlu untuk diperkuat.
Penguatan terhadap hak-hak tersangka, terdakwa, saksi, dan korban dalam RUU KUHAP perlu dikawal secara ketat, baik dalam implementasi haknya maupun implementasi kewenangan penegak hukum. Secara natural kewenangan penegak hukum akan berhadapan dengan hak warga negara dan advokatnya. Oleh sebab itu, penguatan terhadap keduanya penting untuk bagaimana cara mencari formula yang tepat untuk pencapaian keadilan yang substantif.
Oleh sebab itu, implementasi maupun pembatasan hak dan kewajiban keduanya harus dilakukan secara terbuka, seimbang, dan transparan. Sebagai contoh, kewenangan penegak hukum untuk melakukan pembuktian dengan menghadirkan barang bukti dan saksi, juga diimbangi dengan hak untuk menghadirkan saksi yang meringankan. Maka penyidik atau penuntut umum harus juga menghormati dengan menghadirkan saksi tersebut. Hal ini sebagai penghormatan terhadap asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
Hal yang menjadi salah satu concern utama disini adalah mengenai jaminan tentang peran advokat dalam konsep pelindungan hak warga negara dimuka hukum yang telah dijamin dalam konsititusi.
Peran advokat dalam RUU KUHAP ini diperluas untuk mendampingi tersangka/terdakwa, saksi, dan korban. Advokat dapat hadir di seluruh tahap pemeriksaan dan persidangan dalam sistem peradilan pidana. Hal yang masih menjadi catatan dan sekaligus tantangan disini adalah bagaimana memaksimalkan peran advokat baik selama dalam sistem peradilan pidana maupun di luar persidangan formal. Akan tetapi tetap mampu menjaga etika dan profesionalismenya atau jangan sampai justru menjadi kontra-produktif bagi kepentingan kliennya maupun sistem peradilan pidana yang obyektif dan berkeadilan.
Advokat harus dapat berperan aktif dan diberi kesempatan untuk membela kliennya dalam semua tahap maupun terhadap tindakan hukum.
RUU KUHAP juga telah secara khusus mengatur mengenai penggunaan kamera pengawas (CCTV) dalam setiap tindakan aparat penegak hukum sebagai cara untuk menghadirkan transparansi dan keterbukaan yang mendorong profesionalisme dan akuntabilitas.
Demikian juga akses terhadap penggunaan CCTV harus aktif dan dibuka untuk hak tersangka dan advokatnya dalam pengajuan keberatan hingga kesesuaian dengan berita acara. Seringkali hal ini menjadi celah besar penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran-pelanggaran seperti intimidasi dan kekerasan. Oleh sebab itu penggunaan, pemanfaatan, dan pengawasannya harus diatur secara komprehensif dan menyeluruh.
Implementasi selanjutnya adalam mengenai Upaya Paksa dan mekanisme pengawasannya. Hal inilah yang paling menjadi kekhawatiran banyak pihak terutama lembaga swadaya masyarakat. Para peneliti melihat fenomena gunung es pada upaya paksa seperti penahanan yang justru menimbulkan banyak pelanggaran hukum.
Untuk itu, upaya paksa telah diatur secara lebih obyektif daripada sebelumnya. Hal ini merupakan cara untuk melindungi tindakan yang semena-mena dari oknum aparat. Namun tentu dalam pengaturannya nanti tetap membutuhkan mekanisme yang mampu mencegah kesewenangan dan mengawasi pelaksanaan upaya paksa secara prosedural.
Pengaturan upaya paksa menjadi salah satu roh utama dari modernisasi KUHAP. Maka perlu untuk dicermati dalam pembahasan mengenai kriteria upaya paksa, pembatasan dan implementasinya, hingga mekanisme praperadilan untuk pengajuan keberatan (challenge), terutama dalam melindungi hak warga negara dan pihak ketiga yang beritikad baik; namun selaras dengan kepentingan penegak hukum.
Penguatan juga diperlukan terhadap mekanisme Praperadilan yang perlu untuk dijadikan simbol due process of law dan legalitas dalam setiap tindakan aparat penegak hukum.
Terdapat opini bahwa penahanan harus dapat dilakukan dengan izin hakim pengadilan negeri, sebagaimana dalam penyitaan, penggeledahan, ataupun upaya paksa lainnya. Akan tetapi hal ini masih menimbulkan perdebatan dalam publik, karena seolah memberikan makna bahwa penahanan harus dari dua tahap birokrasi, maka pengajuan penangguhannya pun akan berbanding lurus sebagai konsekuensinya. Hal inilah yang dalam praktek akan menimbulkan kekhawatiran. Maka saya setuju bahwa setiap hal dalam pembahasan RUU KUHAP harus melihat pula sisi implementasi (enforcement) karena pasti memiliki banyak faktor.
Selain itu, hal penahanan juga disarankan untuk diperpendek jangka waktunya, karena dalam KUHAP saat ini seseorang bisa ditahan sampai 310 hari (dari penyidikan-penuntutan-pemeriksaan di persidangan-banding-kasasi). Hal ini sebenarnya menimbulkan banyak permasalahan seperti over-populasi di Rutan hingga penyalahgunaan kewenangan untuk memberikan penangguhan atau pembantaran.
Maka sebaiknya penahanan perlu dipertimbangkan jangka waktu yang lebih rasional dan kriterianya. Permasalahan penahanan ini menjadi salah satu hal yang sangat penting bagi saya karena sangat menyentuh hak asasi manusia.
Demikian pula dengan upaya paksa yang lainnya. Maka saya melihat bahwa nanti akan memerlukan data pendukung untuk membatasi pelaksanaan upaya paksa dan urgensi penggunaannya.
Yang tak kalah penting dalam RUU KUHAP adalah bagaimana mengoptimalkan implementasi mekanisme keadilan restoratif. RUU KUHAP telah mengatur lebih rinci mengenai mekanisme RJ ini. Mekanisme disini lebih diarahkan pada metode penyelesaian di luar pengadilan seperti mediasi penal atau proses mediasi umum yang ada pada alternatif penyelesaian sengketa.
Dalam prakteknya, hal ini memang masih membutuhkan pengawasan karena tentu mengandung berbagai celah. Salah satu hal penting adalah bagaimana menghadirkan keadlan, bukan hanya restoratif, namun juga rehabilitatif (seperti misalnya perkara Tindak Pidana Narkotika), dan restitutif. Saya memberi catatan disini tentang pelaksanaan pemberian pertimbangan hakim mengenai pemidanaan, seperti pengaturan pedoman pemidanaan dalam KUHP, yang perlu dijabarkan atau diatur lebih luas dan menyeluruh.
Selanjutnya mengenai perlindungan saksi dan korban, Komisi III DPR telah mendengar masukan terkait dengan hak-hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana. Saya melihat bahwa RUU KUHAP telah memgatur mengenai saksi mahkota. Namun ketentuan mengenai saksi pelaku (justice collaborator) dan whistleblower perlu untuk ditegaskan dalam RUU KUHAP sebagai bagian dari bentuk perlindungan terhadap saksi dan korban sebagai bagian dari sistem peradilan pidana terpadu.
Hal-hal tersebut menjadi perhatian kita bersama untuk dapat mengoptimalkan upaya pelindungan hak asasi manusia atau hak seorang warga negara yang berhadapan dengan hukum berdasarkan asas praduga tak bersalah dan legalitas. Hal ini menyangkut penghormatan terhadap hak konstitusional warga yang perlu dijamin dalam KUHAP.
“Dengan demikian pernyataan Presiden dapat terwujud yakni meminimalisir ‘penindasan’ kepada rakyat baik secara hukum maupun fisik. Dengan demikian tidak hanya Polisi, tetapi seluruh aparat dan sistem akan mampu menjamin dan menghormati hak-hak asasi manusia dan menghindari kesewenangan,” pungkas I Wayan Sudirta.
KEYWORD :RUU KUHAP Pidato Prabowo Rakyat tertindas