
Presiden Prabowo Subianto dalam KTT BRICS 2025, di Rio de Janeiro, Brasil (Foto: Setkab)
Jakarta, Jurnas.com - Pernyataan Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dalam KTT BRICS baru-baru ini menarik perhatian publik. Ia menyebut BRICS sebagai perwujudan, warisan dari semangat Konferensi Asia-Afrika yang digelar di Bandung pada 1955.
Menurut Lula, BRICS menolak dominasi kekuatan besar dunia dan memilih jalan non-blok dalam menghadapi krisis global saat ini. Ia mengatakan bahwa semangat BRICS merupakan kelanjutan dari prinsip-prinsip yang pernah disuarakan di Bandung.
Dalam pidatonya pada Senin, 7 Juli 2025, Lula menyebut BRICS sebagai "manifestasi gerakan non-blok Bandung", "BRICS menghidupi semangat Bandung" yang menghidupi nilai solidaritas dan keadilan global, demikian dikutip dari berbagai sumber.
Sebelumnya, hal senada disampaikan Presiden Prabowo Subianto yang hadir untuk pertama kalinya dalam forum BRICS sebagai kepala negara. Kehadiran Presiden Prabowo sekaligus menandai bergabungnya Indonesia secara resmi sebagai anggota penuh BRICS. Momen ini mengukuhkan posisi Indonesia sebagai negara yang terus konsisten memperjuangkan tatanan dunia yang lebih seimbang sejak era pascakolonial.
Saat menghadiri sesi pleno KTT BRICS 2025 yang digelar di Museum of Modern Art (MAM), Rio de Janeiro, Brasil, pada Minggu (6 Juli 2025), Presiden Prabowo menegaskan pentingnya menghidupkan kembali Semangat Bandung di forum-forum global. Dikutip dari laman Setkab, Prabowo menyebut semangat tersebut harus menjadi dasar dalam membela hak-hak negara berkembang serta menyuarakan kemerdekaan bagi Palestina.
Lantas, apa itu Semangat Bandung? Bagaimana sejarah dan dampaknya? Kenapa BRICS dikaitkan dengan Semangat Bandung? Berikut adalah ulasannya yang dihimpun dari berbagai sumber.
Tujuh puluh tahun lalu atau tujuh dekade lalu, dunia baru saja keluar dari reruntuhan Perang Dunia II dan masuk ke fase baru yang dipenuhi ketegangan ideologi antara Barat dan Timur, bergolak di bawah bayang-bayang Perang Dingin. Di tengah tarik-menarik antara Blok Barat dan Blok Timur, muncul suara-suara dari Asia dan Afrika yang ingin berdiri di jalur sendiri—tidak memihak siapa pun, tapi tetap bersuara lantang.
Pada 18–24 April 1955, Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung. Pertemuan ini menjadi forum internasional pertama yang menyatukan negara-negara dari dua benua yang sedang bangkit dari penjajahan dan ketidakadilan global.
Sebanyak 29 negara hadir, mewakili lebih dari separuh populasi dunia saat itu. Mereka datang membawa satu misi: membangun solidaritas, memperjuangkan kemerdekaan, dan menciptakan kerja sama yang tidak tunduk pada kekuatan besar mana pun.
Dari pertemuan inilah lahir apa yang kini dikenal sebagai Sprit Bandung atau Semangat Bandung. Bukan hanya jargon diplomatik, melainkan pijakan moral yang menolak dominasi asing dan mengutamakan kedaulatan, kesetaraan, serta ko-eksistensi damai.
Semangat Bandung dirumuskan dalam Dasasila Bandung, sepuluh prinsip yang menjadi panduan hubungan internasional. Isinya menegaskan penghormatan terhadap kedaulatan negara, penolakan intervensi, serta penyelesaian damai atas konflik.
Nilai-nilai ini langsung menggema di negara-negara berkembang yang tengah berjuang merebut atau mempertahankan kemerdekaannya. Di Afrika, KAA menjadi pemantik bagi gelombang dekolonisasi, yang mendorong lonjakan jumlah negara merdeka dalam dua dekade berikutnya.
Dampak konkret lainnya adalah lahirnya Gerakan Non-Blok (GNB) pada 1961, yang menjadi forum permanen bagi negara-negara yang tidak ingin terjebak dalam pertarungan ideologi global. Meski tidak langsung dibentuk di Bandung, semangatnya lahir dari sana.
KAA juga mengubah cara dunia memandang negara berkembang. Mereka bukan lagi objek dari kekuatan besar, tetapi subjek aktif dalam membentuk tatanan dunia baru yang lebih adil dan seimbang.
Namun Semangat Bandung bukan soal masa lalu semata. Ia tetap relevan hari ini, ketika dunia kembali dilanda ketimpangan global, krisis iklim, konflik geopolitik, dan melemahnya kerja sama internasional.
Dalam dunia yang makin terpolarisasi, nilai-nilai Bandung menawarkan arah: bahwa bangsa-bangsa bisa bekerja sama tanpa mendominasi, berbicara tanpa harus memihak, dan berdaulat tanpa harus dikekang.
Oleh karena itu, ketika Presiden Brasil Lula da Silva menyebut BRICS sebagai “manifestasi gerakan non-blok Bandung,” ia bukan sekadar mengutip sejarah atau pernyataan Presiden Prabowo. Ia sedang menghidupkan kembali semangat yang percaya bahwa negara-negara berkembang punya hak dan kekuatan untuk menentukan nasibnya sendiri, sebagaiman yang digaungkan dalam Semangat Bandung.
Dan Indonesia, seperti pada tahun 1955 dalam KTT di Bandung, tetap berada di tengah panggung sejarah itu. Melalui BRICS, semangat Bandung kembali mendapat ruang dalam geopolitik global kontemporer. Negara-negara Global South mencoba menata ulang arsitektur internasional yang lebih inklusif, setara, dan terbebas dari dominasi kekuatan tunggal.
Indonesia, yang menjadi tuan rumah KAA pada 1955, kini hadir di BRICS membawa warisan itu ke arena baru. Kehadiran Prabowo mempertegas kesinambungan antara diplomasi sejarah dan komitmen modern terhadap keadilan global.
Dengan demikian, Semangat Bandung bukanlah peninggalan masa lalu, melainkan panduan moral yang tetap menyala dalam dunia yang terus berubah. Dan selama ketidakadilan masih ada, Bandung akan terus menjadi suara dari Selatan, Indonesia yang menuntut keadilan bagi semua. (*)
KEYWORD :Prabowo BRICS Semangat Bandung -Subianto Spirit Bandung KAA