
Ilustrasi - Benarkah Tak Ada Nabi Perempuan? Ini Penafsiran Quraish Shihab (Foto: Islam Ramah)
Jakarta, Jurnas.com - Pertanyaan tentang kemungkinan adanya nabi perempuan dalam Islam bukanlah isu baru, tetapi sangat jarang dibahas secara terbuka. M. Quraish Shihab, seorang ulama dan cendekiawan muslim terkemuka di Indonesia, pernah mengulas topik ini secara mendalam dalam salah satu ceramahnya beberapa tahun lalu.
Ia membuka dengan penegasan bahwa umat Islam hanya mengetahui sebagian kecil dari jumlah nabi yang sebenarnya. Al-Qur’an menyebutkan 25 nabi, sementara menurut riwayat, jumlah keseluruhannya mencapai 124.000.
Dari angka yang begitu besar, menurutnya, kita tidak bisa memastikan bahwa tidak ada satupun di antaranya yang perempuan. Bisa jadi, di antara ribuan nabi itu, terdapat perempuan yang mendapat wahyu dan tugas kenabian, hanya saja tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.
Quraish Shihab lalu mengangkat dua sosok perempuan dalam Al-Qur’an yang secara eksplisit disebut menerima wahyu. Pertama adalah ibu Nabi Musa, yang mendapat petunjuk langsung dari Allah untuk menghanyutkan bayinya ke sungai demi menyelamatkannya.
Kedua adalah Maryam, ibu Nabi Isa, yang dalam Al-Qur’an juga disebut mendapatkan komunikasi dari malaikat dan petunjuk dari Tuhan. Jika definisi nabi adalah orang yang menerima wahyu, maka keduanya memenuhi syarat itu.
Ia menyadari bahwa sebagian orang mungkin mengutip ayat yang menyatakan, “Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan dari kalangan rijal (laki-laki)” (QS Yusuf: 109). Namun, menurutnya, makna kata rijal tidak harus selalu diartikan secara biologis sebagai laki-laki.
Dalam tafsir yang lebih luas, rijal bisa juga berarti tokoh, pemimpin, atau figur teladan. Maka bisa saja ayat tersebut sedang menekankan kualitas kepemimpinan, bukan jenis kelamin semata.
Meski begitu, Quraish Shihab memahami bahwa sebagian orang tetap memegang tafsir yang lebih sempit. Tetapi ia juga mengajak untuk membuka ruang diskusi, mengingat konteks sejarah dan budaya turut memengaruhi narasi yang dominan selama ini.
Salah satu persoalan, menurutnya, terletak pada minimnya penampilan tokoh-tokoh perempuan sebagai figur utama dalam pendidikan Islam. Dalam pelajaran sejarah atau cerita nabi, hampir semua tokoh yang ditampilkan adalah laki-laki.
Padahal, banyak tokoh perempuan yang luar biasa perannya dalam sejarah Islam. Khadijah, misalnya, bukan hanya istri Nabi Muhammad, tetapi juga pendukung pertama dakwah Islam dan perempuan pebisnis yang sangat mandiri.
Begitu pula dengan Aisyah, yang dikenal sebagai salah satu periwayat hadits terbesar dan tokoh intelektual perempuan di masa awal Islam. Namun sosok-sosok seperti ini sering kali hanya muncul sebagai pelengkap, bukan sebagai teladan utama.
Quraish Shihab menilai, inilah yang membuat banyak orang menganggap seolah-olah Islam adalah agama yang hanya menampilkan laki-laki dalam peran penting. Padahal, jika kita telusuri lebih dalam, peran perempuan sangat menentukan jalannya sejarah umat Islam.
Ia mengingatkan bahwa dalam banyak peradaban besar, ibu memiliki pengaruh luar biasa. Ia mencontohkan ibu dari Alexander the Great dan ibu dari Muawiyah bin Abi Sufyan yang berperan besar membentuk kepribadian anak-anak mereka hingga menjadi pemimpin besar.
Dengan demikian, meskipun secara eksplisit tidak disebut sebagai nabi, perempuan telah memainkan peran yang sangat sentral dalam sejarah kenabian, peradaban, dan bahkan kekuasaan. Karena itu, membatasi pandangan bahwa hanya laki-laki yang layak mendapat wahyu atau memimpin umat adalah cara berpikir yang sempit.
Quraish Shihab menutup penjelasannya dengan harapan agar umat Islam mulai membiasakan menyebut dan menampilkan tokoh-tokoh perempuan dalam pendidikan dan percakapan sehari-hari. Sebab, pemahaman tentang kesetaraan dan keadilan dalam Islam tidak akan tumbuh jika kita terus mengabaikan setengah dari sejarah umat. (*)
Wallohu`alam
KEYWORD :Nabi Perempuan Quraish Shihab nabi perempuan Islam