
Gadung Mahkamah Konstitusi RI. (Foto: Dok. Ist)
Jakarta, Jurnas.com - Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI), Prof. Dr. H. Abdul Chair Ramadhan menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dengan lokal/daerah merupakan sebuah pembangkangan terhadap konstitusi.
Dia menegaskan, MK telah melampaui kewenangannya dalam menguji gugatan dari pemohon. Dia menegaskan jika pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji materiil tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy).
"Demikian itu merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang. Suatu norma dalam Undang-Undang yang merupakan kebijakan hukum terbuka tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi," kata Abdul Chair dalam keterangannya, Jakarta, Selasa (8/7).
Abdul Chair menekankan suatu norma Undang-Undang yang termasuk dalam kategori kebijakan hukum terbuka, maka norma tersebut berada di wilayah yang bernilai konstitusional. Dengan kata lain bersesuaian dengan UUD 1945.
"Penulis kutip Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, sebagai berikut: Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang," kata dia.
Abdul Chair menyesalkan MK telah berseberangan dengan pendapatnya sendiri dan terperangkap menjadi positive legislature. Di sisi lain, dalil pemohon ternyata bukanlah menyangkut konstitusionalitaa norma, melainkan implementasi norma.
"Tentu berbeda antara validitas norma dengan bekerjanya hukum. Demikian itu seharusnya bukan menjadi yurisdiksi Mahkamah. Menjadi pertanyaan, mengapa permohonan tersebut diterima oleh Mahkamah Konstitusi?" kata dia.
Dia justru mempertanyakan dalil pemohon, di mana dalam permohonannya disebutkan menyampaikan argumentasi empirik
berdasarkan dua kali penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak, yakni pada tahun 2019 dan tahun 2024, yang telah terbukti melemahkan derajat dan kualitas kedaulatan rakyat, melemahkan pelembagaan partai politik (parpol), serta merugikan pemilih untuk mendapatkan suatu penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil berdasarkan ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.
"Apakah dalil ini terkait langsung dengan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon. Kerugian itu apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) dengan dengan norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian?" ucapnya.
"Kemudian, apakah ada jaminan dengan dikabulkannya permohonan (in casu Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024), maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi?" timpalnya.
Terlepas dari final dan mengikatnya putusan MK, kata dia, jika seandainya nanti yang terjadi adalah justru lebih menimbulkan dampak kemudaratan yang lebih besar maka bagaimana negara penyelesaian konstitusionalnya.
Menurut dia, dalil pemohon yang dibenarkan oleh MK, yakni ketiadaan perbaikan atas jadwal keserentakkan pemilu sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang menyebabkan masih terjadinya kerugian hak konstitusional pemohon.
"Apakah itu sebanding dengan dampak buruk yang ditimbulkan akibat pemisahan pemilu nasional dan lokal? Upaya pemohon dalam uji materiil guna menghasilkan konsepsi agenda penyelenggaran pemilihan umum yang mengarah pada penguatan demokrasi, meningkatkan derajat dan kualitas kedaulatan rakyat, penguatan pelembagaan partai politik dan efektivitas sistem kepartaian, serta sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, apakah dengan semudah itu diamini oleh Mahkamah? Sungguh membingungkan dan memilukan!" kata dia.
Abdul Chair mengatakan sejatinya penyatuan Pemilu lokal dan nasional dalam satu waktu merupakan bagian dari `aturan hukum yang mengikuti`, dimana `hukum yang diikuti` adalah Pasal 22E (1) UUD 1945. Dia menyebut dalam ini yang paling menentukan adalah kemanfaatan umum yang menunjuk pada konstitusi, yakni terwujudnya pemilu setiap 5 tahun sekali.
"Demikian itu sudah jelas, dan oleh karenanya tidak lagi memerlukan penjelasan apalagi merubah maknanya menjadi lebih dari lima tahun," katanya.
Sejalan dengan hal ini, Abdul Chair lantas mengutip pernyataan Ronald Dworkin bahwa maksim hukum itu tidak bersandar pada aturan-aturan (rules) saja, tetapi juga prinsip-prinsip (principles). Prinsip-prinsip merupakan bagian dari hukum.
Prinsip-prinsip, menurutnya memiliki dimensi kadar. Dengan demikian, jika prinsip-prinsip bertentangan, maka metode yang tepat untuk memecahkan suatu masalah adalah dengan memilih prinsip yang memiliki kadar yang lebih kuat dan mengabaikan prinsip yang kadarnya lemah.
Terkait dengan perkara a quo, prinsip-prinsip yang memiliki kadar yang lebih kuat itu bukanlah tawaran pemohon tentang format keserentakkan Pemilu yang dipisah dan dikabulkan MK. Pemilu serentak setiap 5 tahun sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 22E (1) UUD 1945 adalah prinsip, bukan kadarnya lebih kuat dari dalil pemohon dan putusan MK, namun memang dari awalnya tidak ada yang dapat menandinginya.
Lebih lanjut, adanya usulan untuk dilakukan upaya rekayasa konstitusional atas putusan tersebut, adalah pendapat pembenaran dan demikian kering argumen yuridis-teoretis. Bagi dia, yang menjadi catatan ialah rekayasa konstitusional jika semata-mata hanya mengikuti putusan a quo, yang notabene adalah persoalan implementasi norma, maka hal itu sangat tidak tepat dan tidak pada tempatnya.
"(constitutional engineering) Keadilan adalah `menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya`. Di sini pembebanan sesuatu sesuai kemampuan dan memberikan sesuatu yang memang menjadi haknya sesuai dengan kadar yang seimbang (proporsional)," kata dia.
Dia menyatakan pembagian proporsi yang sama diberikan kepada orang-orang yang sama, sebaliknya orang yang tidak sama tentu akan mendapatkan pembagian yang berbeda, sehingga semua orang diberlakukan sama untuk hal yang sama dan diperlakukan berbeda untuk hal yang berbeda.
Dengan demikian, kata dia, yang menjadi tolok ukur keadilan adalah unsur proporsionalnya. Pemilu serentak dan tidak terpisah sudah proporsional dan memiliki validitas dari norma dasar.
"Pemisahan Pemilu itu adalah bentuk `membedakan dua hal yang sama` Pembedaan atas dua hal yang sama merupakan bentuk ketidakadilan dan sekaligus ketidakbenaran," tegasnya.
Abdul Chair menuturkan pemilu serentak dan tidak terpisah dalam masa 5 tahun itu merupakan penyempurna bagi terwujudnya kedaulatan rakyat dan aksiologi hukum konstitusi `kepastian hukum yang adil`.
"Bagaimana kita dapat melakukan rekayasa menambah masa jabatan yang melebihi batas sebagaimana ditentukan dalam konstitusi dalam rangka implementasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut," ucapnya.
Abdul Chair kembali menegaskan bahwa pemilu yang dilaksanakan/diselenggarakan secara serentak setiap 5 tahun sekali adalah dimaksudkan tidak melewati masa 5 tahun. Dengan demikian, penyelenggaraan Pemilu secara serentak untuk tingkat nasional dan lokal yang terpisah dan telah melewati masa 5 tahun justru bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menyebutkan `Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali`.
Di sisi lain, MK dalam pertimbangannya menyatakan `pemaknaan Mahkamah tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh pemohon`. Namun, dalam amar putusannya ternyata sebangun dengan dalil pemohon yang menginginkan pemisahan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah.
"Di sini terlihat Mahkamah tidak konsekuen dengan menerima dan kemudian memutus perkara a quo. Pasal 60 ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi telah menentukan bahwa, `Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda`," kata dia.
"Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dengan norma `lima tahun sekali` yang menjadi dasar konstitusional permohonan pemohon adalah juga menjadi dasar konstitusional pada Perkara Nomor 55/PUUXVII/2019 dan Perkara Nomor37/PUUXVII/2019. Adapun yang lainnya sebagai aksesoris belaka," timpal dia.
Abdul Chair mengingatkan bahwa hukum sejatinya harus mengedepankan kemanfaatan. Dia bahkan menyebut kemanfaatan selalu dikaitkan dengan teori utilitarianisme Jeremy Bentham yang mengemukakan `the greatest happiness of the greatest number`.
"Prinsip kegunaan ini menjadi norma untuk menilai pembentukan hukum. Dengan demikian, Undang-Undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai Undang-Undang yang baik. Karena itu tugas hukum (utilitas), adalah memelihara kegunaan," katanya.
Atas hal tersebut, Abdul Chair berpandangan bila tafsir MK terhadap konstitusionalitas pasal-pasal dalam Undang-Undang yang diuji benar-benar telah menjadikan tafsir tunggal, bukan terhadap Undang-Undang melainkan menunjuk pada UUD 1945. Dengan kata lain, MK telah merubah norma UUD 1945.
"Dengan demikian putusan a quo merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi yang semula diharapkan sebagai pelindung konstitusi (the guardian of the constitution), kini telah menjelma menjadi pembangkang konstitusi," tegasnya.
KEYWORD :
Mahkamah Konstitusi MK pemisahan pemilu Abdul Chair Ramadhan