
Pacu Jalur Kuantan Singingi, Riau (Foto: Media Center Riau)
Jakarta, Jurnas.com - Fenomena “Aura Farming” mendadak menjadi sorotan dan pembicaraan hangat di media sosial, terutama di kalangan Gen Z dan Alpha. Tren ini mencuat setelah video bocah penari di ujung perahu Pacu Jalur viral di media sosial TikTok dengan latar lagu “Young Black & Rich” dari Melly Mike.
DIkutip dari berbagai sumber, istilah "aura farming" sendiri merujuk pada aksi membangun pesona atau karisma secara konsisten dan alami. Dalam konteks budaya populer, ini menggambarkan bagaimana seseorang bisa memancarkan energi positif yang berulang dan memikat.
Kombinasi antara ekspresi tubuh sang penari, irama lagu, dan visual perahu yang unik menghasilkan daya tarik yang sulit diabaikan. Tren ini pun ditiru oleh content creator internasional hingga selebriti olahraga dunia.
Fenomena Pendaki Tektok, Apa Daya Tariknya?
Namun di balik viralnya tren ini, ada cerita panjang dan kaya akan sejarah dari tempat asalnya: Kuantan Singingi, Riau. Di sanalah Pacu Jalur, sebuah tradisi mendayung perahu panjang, tumbuh dan diwariskan lintas generasi sejak abad ke-17.
Dikutip dari laman Kota Jalur, dahulu, jalur digunakan sebagai transportasi utama warga di sepanjang Sungai Kuantan untuk mengangkut hasil bumi. Seiring waktu, perahu-perahu itu mulai dihias dengan ukiran dan simbol kebesaran, berubah dari alat transportasi menjadi representasi status sosial.
Transformasi itu mengarah pada munculnya perlombaan antar jalur yang kini dikenal sebagai Festival Pacu Jalur. Ajang ini menjadi pesta rakyat tahunan yang digelar setiap bulan Agustus untuk memperingati Hari Kemerdekaan RI.
Festival ini bukan hanya tentang kecepatan mendayung, tapi juga tentang semangat kolektif dan identitas budaya masyarakat Kuansing. Warna-warni kostum, teriakan penyemangat, dan dentuman meriam karbit menjadi ciri khas yang membedakannya dari festival lain.
Dengan semakin dikenalnya festival ini, pemerintah telah menetapkannya sebagai bagian dari Warisan Budaya Takbenda Indonesia dan agenda nasional Kharisma Event Nusantara. Kehadiran ratusan jalur, ribuan pendayung, serta puluhan ribu penonton menjadikannya magnet wisata utama di Riau, demikian dikutip Media Center Riau.
Menariknya, kebangkitan Pacu Jalur di dunia maya justru dimulai dari satu gerakan kecil di ujung perahu. Bocah penari itu, tanpa disadari, menjembatani budaya lokal dengan budaya digital global.
Efek viral itu bahkan memunculkan interpretasi baru terhadap festival tradisional ini. Dari semula hanya dikenal di lingkup lokal, kini Pacu Jalur telah menjadi bagian dari bahasa visual global yang dipahami lintas budaya.
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau, Roni Rakhmat, dalam keterangannya, menyebut fenomena ini sebagai momen kebanggaan sekaligus peluang strategis. Ia meyakini viralitas tersebut mampu mendongkrak angka kunjungan wisata ke Kuansing secara signifikan.
Ia juga menanggapi klaim yang menyebut Pacu Jalur berasal dari Malaysia sebagai tidak berdasar. Menurutnya, meski ada kedekatan budaya, sejarah mencatat Pacu Jalur lahir dan berkembang di Kuantan Singingi, Indonesia, demikian dikutip Media Center Riau.
Dengan daya tarik yang terus tumbuh, Riau kini memiliki alasan kuat untuk memposisikan Pacu Jalur sebagai ikon budaya sekaligus produk wisata unggulan. Momentum ini juga memperlihatkan bagaimana konten otentik bisa bersaing dalam ekosistem digital global.
Aura farming yang muncul dari Pacu Jalur bukan sekadar tren sesaat, tapi refleksi bagaimana budaya lokal bisa hidup dan relevan dalam konteks masa kini. Gerakan kecil itu telah menjadi cermin besar yang memantulkan `jati diri bangsa` ke mata dunia. (*)
KEYWORD :Viral Aura Farming Pacu Jalur Tarian Bocah Kuansing Riau