
Ilustrasi kain kafan (Foto: Islampos)
Jakarta, Jurnas.com - Di antara orang-orang terdekat Rasulullah ﷺ yang wafat dalam keimanan, sebagian mendapatkan kehormatan istimewa berupa kain kafan dari surga yang dibawa langsung oleh Malaikat Jibril. Namun, ada satu nama besar yang justru tidak menerima kain itu—Husein bin Ali, cucu tercinta Nabi Muhammad SAW.
Kisah ini tercatat dalam beberapa riwayat, serta beberapa tulisan sejarah dan buku seperti “Mulut yang Terkunci” karya Siti Nur Laila, yang menyebut bahwa kain kafan surgawi diberikan kepada Rasulullah ﷺ, istri pertamanya Khadijah binti Khuwailid, putrinya Fatimah Az-Zahrah, menantunya Ali bin Abi Thalib, dan cucunya Hasan bin Ali. Husein, yang juga putra Fatimah dan Ali, tidak termasuk dalam daftar penerima kain kafan tersebut.
Pertanyaannya bukan tentang cinta Nabi Muhammad SAW kepada Sayyidina Husein, karena kasih sayangnya kepada cucu ini amatlah besar. Namun jawabannya ada pada cara wafat Husein, yang berbeda dari mereka yang dikafani oleh kain surga.
Muharam, Bulan Duka atau Bahagia?
Husein tidak wafat dalam kondisi biasa, melainkan gugur secara tragis di medan Karbala pada tahun 61 Hijriah. Ia mati sebagai syuhada dalam perjuangan menegakkan keadilan dan melawan kekuasaan yang menyimpang dari nilai-nilai Islam.
Menurut ajaran Islam, seseorang yang gugur dalam jihad fi sabilillah tidak perlu dimandikan, dishalatkan, atau dikafani seperti orang yang wafat biasa. Jenazah syuhada dikuburkan dengan pakaian yang melekat saat ia gugur, sebagai bukti pengorbanannya di jalan Allah.
Itulah sebabnya, Malaikat Jibril tidak membawa kain kafan dari surga untuk Sayyidina Husein, karena Allah sendiri telah memuliakannya dengan derajat syahid. Penghormatan tertinggi itu tidak datang dalam bentuk kain, tapi dalam bentuk keabadian di sisi-Nya.
Husein bin Ali gugur bukan karena kebetulan sejarah, melainkan karena pilihan sadar untuk tidak tunduk pada kekuasaan zalim, dan ini telah diketahui Nabi Muhammad SAW jauh sebelum terjadinya tragedi tersebut. Ketika Yazid bin Muawiyah menjadi khalifah dengan warisan ayahnya, Husein menolak berbaiat karena menilai Yazid tak layak secara moral maupun spiritual.
Penolakan itu menjadi awal dari penderitaan panjang yang berujung pada tragedi Karbala. Husein menerima undangan dari rakyat Kufah yang semula menyatakan dukungan, namun kemudian mengkhianatinya dan menyerahkannya kepada musuh.
Ia tetap melanjutkan perjalanan, meski tahu sepupunya Muslim bin Aqil telah terbunuh. Dan di Karbala, ia bersama rombongan kecilnya yang hanya 72 orang harus menghadapi ribuan pasukan Ubaidillah bin Ziyad.
Husein akhirnya terbunuh secara kejam pada 10 Muharram, tepat di hari Asyura. Kepalanya dipenggal dan tubuhnya dibiarkan tanpa penghormatan layak di tanah Karbala.
Namun kematiannya bukan akhir, melainkan awal dari kebangkitan kesadaran umat tentang pentingnya berdiri di sisi kebenaran, meski harus kehilangan segalanya. Sebab itu, kain kafan surgawi tidak datang kepadanya—karena surga sendiri telah menantinya sebagai syuhada.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Sesungguhnya Husein adalah bagian dariku, dan aku bagian dari Husein.” Ia juga bersabda, “Hasan dan Husein adalah pemimpin para pemuda di surga.”
Dengan begitu, tidak adanya kain kafan dari surga bukanlah bentuk kekurangan, tetapi justru tanda kemuliaan yang berbeda. Allah telah menempatkan Husein pada kedudukan yang lebih tinggi, bukan karena kafannya, tapi karena darahnya yang tumpah demi tegaknya Islam. (*)
Wallohu`alam
KEYWORD :Sayyidina Husein Cucu Rasulullah Kain Kafan 10 Muharram Asyura