
Ilustrasi bulan Muharram (Foto: YPSA)
Jakarta, Jurnas.com - Setiap kali Muharram datang, khususnya menjelang 10 Muharram atau Hari Asyura, kerap muncul kembali pertanyaan klasik di tengah umat Islam: apakah boleh merayakan, menikah, atau bersenang-senang di bulan ini?
Sebagian umat merasa ragu. Ada yang memilih tidak mengadakan pesta pernikahan, menunda liburan, hingga menghindari acara hiburan apapun. Semua itu berangkat dari anggapan bahwa Muharram adalah bulan duka, terutama karena tragedi memilukan yang terjadi di Padang Karbala.
Asyura dan Luka Sejarah di Karbala
Tanggal 10 Muharram bukanlah hari biasa dalam kalender Islam. Di sinilah peristiwa Karbala terjadi—salah satu episode paling menyayat dalam sejarah Islam. Cucu Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Husain bin Ali RA, syahid secara tragis bersama keluarga dan para sahabatnya, dibantai oleh pasukan Yazid bin Muawiyah. Kepalanya terpenggal, keluarganya ditawan, dan dunia Islam terguncang oleh peristiwa itu.
Tak heran, banyak komunitas Muslim menjadikan Asyura sebagai hari untuk introspeksi, memperbanyak amal kebaikan, dan mengenang perjuangan melawan kezaliman.
Namun, apakah ini berarti Muharram harus dipenuhi kesedihan dan larangan? Simak ulasan berikut yang dihumpun dari berbagai sumber.
Muharram, Bulan Suci yang Penuh Keutamaan
Muharram adalah salah satu dari empat bulan haram (suci) dalam Islam, yang dimuliakan sejak zaman Nabi Ibrahim AS. Dalam Islam, bulan ini justru penuh keutamaan dan peluang spiritual. Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, yaitu Muharram."
(HR. Muslim)
Hari Asyura sendiri juga memiliki sejarah spiritual lainnya: Nabi Adam AS diterima taubatnya; Nabi Musa AS selamat dari kejaran Firaun; Pasukan Firaun tenggelam; Dan dalam sebagian riwayat, wahyu diturunkan kepada Nabi Musa pada malam Asyura.
Bolehkan Menikah dan Bersuka Cita di Muharram?
Meski peristiwa Karbala menyayat hati, menyimpulkan bahwa bulan Muharram haram untuk menikah atau bersenang-senang tidak memiliki dasar syariat yang kuat. Para ulama menyepakati, tidak ada larangan dalam Islam yang mengharamkan: Mengadakan pernikahan; Liburan; Atau berkegiatan sosial di bulan ini.
Yang ditekankan adalah menghormati nilai spiritual Muharram, bukan menjadikan bulan ini seolah-olah tabu untuk bahagia.
Menurut Syekh Abu Bakar Syatha Ad-Dimyati dalam I’anah Thalibin, justru ada 12 amalan sunnah yang dianjurkan pada Hari Asyura, seperti: Puasa sunnah, bersedekah, menyantuni anak yatim, membaca Surah Al-Ikhlas atau memperbanyak membaca AlQuran, membaca shalawat, dan lainnya.
Bagaimana dengan Hubungan Suami Istri di Malam atau Hari Asyura?
Pertanyaan ini juga sering muncul: apakah boleh melakukan hubungan suami istri pada malam 10 Muharram? Secara fiqih, tidak ada larangan khusus mengenai hubungan intim antara pasangan sah pada malam atau hari Asyura, selama dilakukan sesuai dengan adab syariat. Dalam QS. Al-Baqarah: 223, Allah SWT menyatakan:
"Istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang baik..."
Adapun yang dilarang secara jelas adalah: Hubungan saat istri haid, hubungan dari jalur dubur, dan tanpa adab yang benar.
Namun, umat tetap dianjurkan untuk mengisi malam dan hari Asyura dengan amal saleh dan refleksi spiritual. Bukan soal hukum semata, tetapi tentang adab dan ketundukan hati terhadap momen besar dalam sejarah Islam.
Dengan demikian, Muharram bukan bulan larangan. Ia merupakan bulan yang penuh makna—spiritual, historis, dan simbolis.
Tragedi Karbala patut dikenang, bukan untuk melarang kebahagiaan, tapi untuk menumbuhkan empati dan memperkuat semangat keadilan dan kebenaran. Islam tidak mengajarkan untuk membekukan kebahagiaan, melainkan menyeimbangkannya dengan kesadaran sejarah dan nilai ibadah.
Maka, menyambut Muharram bukan soal larangan menikah atau bahagia, tapi tentang bagaimana kita mengisinya dengan nilai, bukan sekadar seremoni. (*)
Wallohu`alam
KEYWORD :Bulan Muharram Amalan muharram Asyura Rasulullah SAW