
Ilustrasi Hari Asyura atau 10 Muharram 2025 (Foto: Bicara Baik)
Jakarta, Jurnas.com - Bulan Muharram termasuk salah satu dari empat bulan yang dimuliakan dalam Islam. Di antara hari-hari di bulan ini, tanggal 9 dan 10 Muharram menempati posisi istimewa karena menyimpan banyak menyimpan peristiwa sejarah dalam Islam dan menyimpan banyak makna spritual, serta dianjurkan untuk berpuasa sunnah.
Dua hari ini dikenal sebagai puasa Tasu’a (9 Muharram) dan puasa Asyura (10 Muharram). Keduanya memiliki dasar kuat dari hadis-hadis shahih, dan diamalkan langsung oleh Rasulullah SAW.
Tahun ini, berdasarkan kalender Hijriah Kementerian Agama RI, 1 Muharram 1447 H jatuh pada Jumat, 27 Juni 2025. Maka, 10 Muharram 1447 H atau Hari Asyura jatuh besok, tepat pada Minggu, 6 Juli 2025.
Keutamaan utama dari puasa Asyura adalah penghapusan dosa-dosa kecil selama satu tahun sebelumnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW ketika ditanya tentang puasa pada hari Asyura:
"يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ"
“Ia dapat menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim No. 1162)
Dikutip dari laman Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Baznas, puasa Asyura menjadi salah satu amalan sunnah paling utama setelah puasa Ramadhan. Keutamaannya tidak hanya karena pahala besar, tetapi juga karena kaitannya dengan sejarah para nabi.
Hari Asyura juga menjadi hari penuh makna karena di tanggal inilah Allah SWT menyelamatkan Nabi Musa AS dan Bani Israil dari kejaran Firaun. Atas rasa syukur itu, Nabi Musa berpuasa, dan Rasulullah SAW pun mengikuti puasa tersebut saat tiba di Madinah.
Namun Nabi SAW ingin membedakan umat Islam dari tradisi puasa Yahudi yang hanya dilakukan pada tanggal 10. Karenanya, beliau menyatakan niat untuk juga berpuasa sehari sebelumnya, yaitu pada 9 Muharram.
Dalam hadis riwayat Muslim, Ibnu Abbas menyebutkan sabda Nabi SAW:
"لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ، لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ"
"Jika aku masih hidup hingga tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan." (HR. Muslim No. 1134)
Meski Rasulullah SAW wafat sebelum sempat menjalankan puasa Tasu’a pada tahun berikutnya, hadis tersebut menjadi dasar bagi ulama untuk menyatakan bahwa puasa Tasu’a termasuk sunnah yang ditekankan.
Selain sebagai bentuk pembeda dari kebiasaan kaum terdahulu, puasa pada 9 Muharram juga berfungsi sebagai bentuk kehati-hatian dalam penetapan tanggal Hijriah. Bila terjadi kekeliruan dalam penanggalan, maka puasa sejak tanggal 9 akan memastikan seseorang tetap mencakup hari Asyura.
Melaksanakan puasa Tasu’a dan Asyura tidak hanya meneladani sunnah Nabi SAW, tetapi juga menyempurnakan amal dan memperluas peluang mendapat pahala. Sejumlah ulama juga menganjurkan menambah puasa pada tanggal 11 sebagai bentuk kesempurnaan amalan.
Meski demikian, menurut mazhab Syafi’i, tidak menjadi masalah jika seseorang hanya berpuasa pada 10 Muharram saja. Hal ini ditegaskan dalam kitab Fathul Mu’in bahwa agama tidak mempermasalahkan orang yang berpuasa hanya pada hari Asyura.
Syekh Zainuddin Al-Malibari menjelaskan, "Tidak apa-apa mengamalkan puasa Asyura saja." Pernyataan ini sekaligus menjawab kekhawatiran sebagian orang yang hanya mampu melaksanakan satu hari puasa.
Mereka yang hanya berpuasa pada hari Asyura tetap mendapatkan pahala besar, dan tidak boleh dibanding-bandingkan dengan praktik kaum Yahudi. Sebab, anjuran untuk melengkapi puasa dengan hari sebelum dan sesudahnya bersifat penyempurna, bukan syarat sah.
Keistimewaan puasa Asyura menunjukkan bahwa Islam memberikan ruang besar bagi ibadah yang ringan namun berdampak besar secara spiritual. Tidak hanya menghapus dosa, puasa ini juga menghidupkan kembali semangat meneladani para nabi dan memperkuat identitas keislaman.
Dengan niat yang ikhlas dan pemahaman yang benar, puasa Asyura menjadi kesempatan berharga untuk memperbaiki diri di awal tahun hijriah. Momentum 10 Muharram bukan hanya tradisi, melainkan jalan menuju ampunan dan ketakwaan. (*)
Wallohu`alam
KEYWORD :Puasa Asyura 10 Muharram Bulan Muharram Amalan Muharram