Sabtu, 05/07/2025 02:43 WIB

Benarkah Anak Jalanan Termasuk Yatim? Ini Penjelasan Quraish Shihab

M Quraish Shihab dalam sebuah ceramahnya menjelaskan bahwa kata “yatim” secara bahasa berarti sendiri, terputus, atau unik

Aktivitas sosial bersama anak-anak Yatim di Hotel Ambhara. (Foto ; Jurnas/Ira).

Jakarta, Jurnas.com - Setiap tanggal 10 Muharram, sebagian umat Islam di berbagai daerah menyebutnya sebagai “Lebaran Anak Yatim.” Istilah ini bukan berasal dari teks agama secara langsung, tetapi muncul dari semangat memuliakan dan menyantuni anak-anak yang kehilangan ayah di hari-hari penuh pahala tersebut.

Namun, apa sebenarnya makna anak yatim dalam Islam? Apakah hanya terbatas pada anak yang kehilangan ayah? Bagaimana dengan anak jalanan atau mereka yang hidup sendiri tanpa bimbingan?

Cendikiawan Muslim Indonesia sekaligus mufasir, M Quraish Shihab dalam sebuah ceramahnya menjelaskan bahwa kata “yatim” secara bahasa berarti sendiri, terputus, atau unik. Dalam Al-Qur’an, istilah ini merujuk pada seorang anak yang ditinggal wafat ayahnya sebelum ia dewasa, yakni belum mencapai usia baligh.

Namun, karena makna asalnya adalah ketersendirian, sebagian ulama memperluas pemahamannya menjadi anak-anak yang hidup tanpa perlindungan, bimbingan, atau perhatian dari keluarga maupun masyarakat. Dalam konteks ini, anak jalanan pun dapat termasuk dalam kelompok yang memiliki hak atas perhatian lebih dari umat Islam.

Pandangan ini tidak bertentangan dengan spirit ajaran Islam. Bahkan, sejalan dengan misi sosial Al-Qur’an yang sejak awal turun sudah menekankan perhatian terhadap anak-anak yang rentan. Ayat-ayat Makkiyah seperti “Tahukah kamu siapa orang yang mendustakan agama? Yaitu yang menghardik anak yatim” menempatkan urusan anak yatim sebagai indikator keimanan seseorang terhadap agama.

Karena itu, perhatian terhadap anak yatim tidak boleh semata-mata bersifat material. Dalam fase awal dakwah, Al-Qur’an lebih dulu menyoroti sisi psikologis dan mental anak yatim—melarang menghardik, menyakiti, atau mengabaikan mereka.

Setelah itu barulah perintah memberi makan, memberi bantuan, dan menjamin kebutuhan lahiriah mereka diturunkan. Urutannya bukan kebetulan, karena Islam menekankan bahwa membangun kepercayaan diri anak yatim lebih penting daripada sekadar bantuan sesaat.

Quraish Shihab menegaskan bahwa jika hanya memberi uang, namun membiarkan anak itu tumbuh tanpa bimbingan, maka kita belum benar-benar memelihara mereka. Sebaliknya, jika kita membina mental dan memberikan pendidikan yang membangun, maka meski mereka tidak memiliki banyak materi, mereka tetap bisa bertahan dan menolong dirinya sendiri.

Inilah pemahaman yang lebih utuh tentang pemeliharaan anak yatim dalam Islam. Bukan hanya berbagi sedekah di hari tertentu, tetapi juga memberikan ruang tumbuh bagi anak-anak yatim agar mandiri, percaya diri, dan tidak kehilangan arah.

Momentum seperti 10 Muharram tentu baik digunakan untuk meningkatkan perhatian terhadap anak-anak yatim. Namun yang lebih penting dari sekadar merayakannya, adalah menjadikan hari itu sebagai pengingat akan tanggung jawab sosial kita sepanjang waktu.

Pemeliharaan yang sejati tidak cukup dengan memberikan santunan. Ia harus hadir dalam bentuk kasih sayang, pendidikan, perhatian, dan pembinaan jangka panjang yang membentuk masa depan anak-anak yatim secara utuh.

Karena itu, jika kita ingin menjadikan “Lebaran Anak Yatim” lebih bermakna, maka mulai dari sekarang kita perlu mengubah cara pandang. Dari yang sekadar memberi, menjadi yang benar-benar membersamai. (*)

Wallohu`alam

KEYWORD :

10 Muharram Yatim Lebaran Yatim Quraish Shihab




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :