Sabtu, 05/07/2025 00:03 WIB

Alasan Mengapa 10 Muharram Disebut Lebaran Yatim

Mengapa Hari Asyura, 10 Muharram disebut sebagai Lebaran Yatim? Apakah ini bagian dari ajaran agama atau hanya tradisi? Berikut penjelasannya

Ilustrasi 10 Muharram atau Hari Asyura (Foto: Bicara Baik)

Jakarta, Jurnas.com - Tanggal 10 Muharram dalam kalender Islam dikenal sebagai Hari Asyura, hari yang sarat makna dan sejarah penting dalam tradisi keislaman. Namun di Indonesia, hari ini juga disebut sebagai “Lebaran Yatim” atau Idul Yatama, sebuah istilah yang kental dengan nilai kepedulian. 

Lantas, mengapa Hari Asyura, 10 Muharram disebut sebagai Lebaran Yatim? Apakah ini bagian dari ajaran agama atau hanya tradisi? Berikut penjelasannya yang dihimpun dari berbagai sumber.

Penyebutan “lebaran” di sini tentu bukan bermakna hari raya resmi sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha. Melainkan, ini merupakan ungkapan budaya untuk menandai hari bahagia bagi anak-anak yatim yang mendapatkan perhatian dan kasih sayang lebih dari masyarakat, demikian dikutip Tebuireng.

Hal ini sejalan dengan anjuran Rasulullah SAW untuk menyantuni anak yatim, terutama di bulan Muharram. Tradisi ini tidak sekadar warisan turun-temurun, tapi juga bagian dari amalan yang dianjurkan dalam syariat.

Bulan Muharram sendiri termasuk dalam empat bulan haram atau bulan suci yang dimuliakan Allah SWT, bersama Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Rajab. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda:

"Zaman berputar seperti hari Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu terdiri dari 12 bulan, di antaranya 4 bulan Haram, tiga bulan berurutan, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Adapun Rajab yang juga merupakan bulannya kaum Mudhar, berada di antara Jumadil Akhir dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Muharram bukan hanya mulia karena statusnya sebagai bulan haram, tapi juga karena sejumlah peristiwa besar yang terjadi pada bulan ini, terutama pada tanggal 10 Muharram. Salah satu peristiwa bersejarah yang dikenang adalah diselamatkannya Nabi Musa dan Bani Israil dari kejaran Firaun, serta gugurnya Sayyidina Husain bin Ali, cucu nabi Muhammad SAW di Karbala.

Oleh karena itu, sebagian umat Islam menganggap hari Asyura sebagai hari duka dan perenungan, serta menjadikannya hari untuk memperbanyak amal kebajikan. Salah satu bentuk amal tersebut adalah menyantuni anak yatim, seperti yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW.

Islam memberi perhatian luar biasa kepada anak yatim, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur`an. Allah SWT berfirman:

"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang anak-anak yatim. Katakanlah, memperbaiki keadaan mereka adalah baik! Dan jika kamu mempergauli mereka, maka mereka adalah saudara-saudaramu. Allah mengetahui orang yang berbuat kerusakan dan yang berbuat kebaikan." (QS. Al-Baqarah: 220)

Dikutip dari laman Nahdlatul Ulama dan Baznas, penekanan pada perlakuan yang baik terhadap anak yatim tidak hanya soal materi, tapi juga jaminan kasih sayang, perlindungan, dan kehormatan. Sebab itu, Rasulullah SAW dalam berbagai hadits menunjukkan betapa besar keutamaan menyayangi anak yatim.

Salah satunya adalah sabda beliau:

"Aku dan orang yang merawat anak yatim seperti ini dalam surga.” Kemudian Nabi memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah, seraya sedikit merenggangkannya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menjadi inspirasi utama mengapa banyak umat Islam menganggap 10 Muharram sebagai momentum istimewa bagi anak-anak yatim. Di hari ini, mereka diundang untuk makan bersama, menerima santunan, dan merasakan suasana gembira bersama masyarakat.

Tradisi ini bukan semata-mata tradisi lokal, tapi juga sudah dikenal sejak zaman para ulama klasik. Dalam kitab Faidul Qadir, dijelaskan bahwa Rasulullah SAW menjamu dan bersedekah kepada anak yatim dan keluarganya pada hari Asyura, dan hal itu menjadi pembuka berkah sepanjang tahun.

Lebih lanjut, dalam kitab Tanbihul Ghafilin disebutkan:

"Barangsiapa berpuasa pada hari Asyura, maka Allah akan memberikan pahala 10.000 malaikat, pahala 10.000 syuhada, dan pahala 10.000 haji dan umrah. Dan barangsiapa mengusap kepala anak yatim pada hari Asyura, niscaya Allah akan mengangkat derajatnya pada setiap helai rambut yang disentuhnya."

Meski hadis tersebut dinilai lemah oleh sebagian ulama, namun karena berkaitan dengan keutamaan amal, maka masih boleh diamalkan sebagai bentuk motivasi berbuat baik. Sebab inti ajaran Islam memang mengajarkan cinta dan kasih terhadap sesama, terutama mereka yang lemah dan rentan.

Makna dari “mengusap kepala anak yatim” sendiri bukan hanya sekadar gerakan fisik. Menurut Ibnu Hajar al-Haitami, ini adalah simbol penghormatan, cinta, dan empati mendalam yang menyentuh psikologis si anak.

Sedangkan menurut Abu Thayyib, tindakan itu adalah kinayah atau kiasan dari kasih sayang dan sikap lembut kepada anak yatim. Maka dari itu, kasih sayang yang sesungguhnya bukan berhenti pada belaian, melainkan juga dalam bentuk pemenuhan hak hidup, pendidikan, dan kesejahteraan mereka.

Di Indonesia, budaya menyantuni anak yatim pada 10 Muharram sudah mengakar dan dilestarikan di berbagai daerah. Masjid, pesantren, dan lembaga sosial rutin hingga lembaga pemerintahan menyelenggarakan acara berbagi untuk anak-anak yatim dan difabel pada hari Asyura.

Momentum 10 Muharram 1447 Hijriah yang jatuh pada 7 Juli 2025 Masehi, kembali mengingatkan umat Islam untuk menyalakan semangat kemanusiaan. Karena menyantuni anak yatim bukan hanya bentuk sedekah, tetapi jalan menuju kelembutan hati dan terkabulnya doa.

Sebagaimana Rasulullah SAW pernah bersabda:

"Pernah ada seorang laki-laki mengeluh kepada Nabi tentang kerasnya hatinya. Maka beliau bersabda, ‘Apakah kamu ingin hatimu menjadi lembut dan hajatmu terkabul? Sayangilah anak yatim, usaplah kepalanya, berilah makan dari makananmu, maka hatimu akan menjadi lembut dan hajatmu akan terkabul.’” (HR. Thabarani)

Maka dari itu, menyantuni anak yatim tidak dibatasi oleh waktu tertentu. Namun menjadikan tanggal 10 Muharram sebagai momen khusus adalah bentuk penghormatan terhadap sunnah Nabi dan ajaran Islam yang memuliakan mereka.

Walau tidak termasuk hari raya yang diwajibkan syariat, “Idul Yatama” tetap layak dijadikan perayaan kebahagiaan. Sebab kebahagiaan yang kita berikan kepada anak-anak yatim akan kembali kepada diri kita sebagai kebaikan yang berlipat di sisi Allah.

Semoga semangat 10 Muharram ini mengingatkan kita untuk terus peduli dan berbagi. Karena sejatinya, di tengah kebahagiaan yang kita miliki, ada hak mereka yang kehilangan tempat bersandar. (*)

Wallohu`alam

KEYWORD :

10 Muharram Lebaran Yatim Anak yatim Bulan Muharram Amalan Muharram




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :