
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. (Foto: Dok. Parlementaria)
Jakarta, Jurnas.com - Komisi III DPR RI menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait pemisahan pemilu antara pemilu lokal dan pemilu Nasional di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (4/7). Ada tiga ahli, praktisi, akademisi yang diminta pandangannya mengenai putusan tersebut
Menurut Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman, putusan MK tersebut menimbulkan polemik di masyarakat, terkait indikasi MK telah melampaui kewenangannya soal open legal policy yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang.
"Adanya anggapan bahwa MK telah mengubah konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 terkait kewenangannya dan pelaksanaan pemilu/pilkada, serta adanya indikasi inkonsistensi putusan tersebut terhadap dua putusan MK sebelumnya," kata Habiburokhman.
Politikus Gerindra ini menerangkan, pihaknya membutuhkan pandangan dan masukan dari para ahli demi menjalankan fungsi pengawasan. Terlebih, MK merupakan mitra kerja dari Komisi III DPR.
Adapun tiga ahli tersebut di antaranya Patrialis Akbar selaku advokat dan mantan hakim MK, Taufik Basari selaku Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI, dan Valina Singka Subekti selaku akademisi dari Universitas Indonesia.
Dia menjelaskan bahwa Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 tersebut memutuskan agar mulai 2029, penyelenggaraan pemilu dipisah antara pemilu DPR RI, DPD RI, Presiden dan Wakil Presiden sebagai pemilu nasional, dengan Pemilu DPRD Provinsi, DPRD Kota, DPRD Kabupaten, wali kota, dan bupati, sebagai pemilu lokal/daerah.
Dengan demikian, menurut dia, model pemilu lima kotak atau serentak yang juga merupakan hasil putusan MK sebelumnya, kini sudah tidak berlaku lagi.
"Jadi putusan MK lima kotak itu bersifat final, putusan kemarin juga bersifat final, nggak tahu yang final yang mana lagi," demikian Habiburokhman.
KEYWORD :
Warta DPR Komisi III Habiburokhman putusan MK pemilu