Rabu, 02/07/2025 00:48 WIB

Tiga Hari Menembus Hutan Papua demi KIP Kuliah

Kali ini, perjalanan Teis tak seperti biasanya. Di benaknya sudah terpatri satu tujuan. Kota Jayapura. Namun, jauh sebelum mencapai ibu kota, Teis terlebih dahulu harus menempuh perjalanan berliku dan panjang.

Mahasiswa Universitas Cendrawasih penerima KIP Kuliah, Teis Tibul (Foto: Muti/Jurnas.com)

Jayapura, Jurnas.com - Hari belum beranjak siang. Namun, di sudut Desa Nahomas, seorang remaja 19 tahun sudah mulai sibuk berkemas. Tumpukan jerami membentuk rumah honai yang menyisakan temaram tak sekalipun membuatnya gugup menyusun satu per satu baju ke dalam tas ransel.

Teis Tibul. Banyak orang memanggilnya Teis. Di tengah pedalaman Yahukimo, Papua Pegunungan, Teis tengah bersiap menjemput mimpinya. Ditentengnya satu ikat ubi, seiring langkah kecilnya perlahan-lahan meninggalkan rumah honai yang menghangatkan mimpinya sejak kecil.

Kali ini, perjalanan Teis tak seperti biasanya. Di benaknya sudah terpatri satu tujuan. Kota Jayapura. Namun, jauh sebelum mencapai ibu kota, Teis terlebih dahulu harus menempuh perjalanan berliku dan panjang.

Seikat ubi itulah menemani Teis menembus rapat dan dinginnya hutan di pedalaman Papua untuk menuju ibu kota Kabupaten Yalemo selama tiga hari. Maklum, dari sini, Jayapura hanya bisa diakses melalui pesawat.

Alih-alih desingan kendaraan bermotor, langkah kaki Teis hanya akan bertemankan suara hewan dan angin yang saling bersahutan, membentuk alunan harmoni alam yang menyejukkan.

"Jalan kaki 250 kilometer. Nanti menginap di kampung-kampung kalau sudah ketemu malam. Karena sudah bawa ubi dari rumah, kita bakar saja untuk dimakan di perjalanan kalau lapar," kata Teis kepada Jurnas.com pada Selasa (1/7) di selasar Fakultas MIPA, Universitas Cendrawasih (Uncen).

Bagi Teis, ini bukan pengalaman baru. Saking seringnya bolak-balik menembus hutan, tak ada lagi rasa takut di hatinya ketika menjajal tanah setapak yang kadang becek dan berlumpur. Ancaman hewan buas pun bak hal biasa.

"Paling cuma ular," ucap dia singkat.

Sejak SMA, Teis memang sudah terbiasa merantau ke Kabupaten Yalemo. Sebab, di kampungnya hanya ada SD dan SMP. Itupun guru yang mengajar bisa dihitung jari. Katanya, terpencilnya Desa Nahomas membuat banyak tenaga pengajar berhitung lagi untuk datang ke sini.

Situasi ini menguatkan tekad Teis untuk menjadi seorang guru. Sayangnya, perekonomian kedua orang tuanya jauh dari kata cukup untuk membiayainya melanjutkan studi ke perguruan tinggi.

Orang tua Teis hanya berprofesi sebagai petani kebun. Hasil kebun yang mereka hasilkan biasanya dijual di pasar desa yang berlangsung satu kali dalam seminggu. Penghasilan dari menjual hasil kebun itupun hanya beberapa puluh ribu. Tak cukup untuk makan sehari-hari.

"Sekali berjualan Rp20 ribuan. Kadang sayur itu satu ikat kita jual Rp5 ribu. Tapi kadang juga dapat per hari Rp10 ribu atau Rp15 ribu," ujar anak keempat dari tujuh bersaudara ini.

"Makanya kalau buat makan tidak mengandalkan hasil di pasar. Pakai tanaman di kebun saja," dia menambahkan.

Sesekali, Teis mengutarakan keinginannya untuk berkuliah kepada sang ayah. Jawaban yang muncul selalu sama dan berulang. Tak ada cukup uang. Tapi, nada pesimistis itu selalu diiringi dengan doa dan dukungan agar Teis bisa berkuliah.

Keajaiban itu datang melalui beasiswa pendidikan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. 250 kilometer berjalan kaki hingga Yalemo dia lakoni demi terbang ke Universitas Cendrawasih Jayapura. Beberapa ekor babi ternak pun terjual demi selembar tiket pesawat dan beberapa ratusan ribu guna modal hidup di kota.

Semesta tampak mendukung Teis dengan mimpi besarnya. Sepucuk pengumuman menyuratkan namanya sebagai salah satu penerima KIP Kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Teis senang bukan main. Namun, dia tak ingin berbahagia seorang diri. Benaknya tertuju pada wajah kedua orang tuanya.

Sialnya, komunikasi dengan keluarga di kampung Teis tak bisa dilakukan sewaktu-watu. Hingga detik ini, kampungnya belum terjamah oleh sinyal ponsel dan listrik. Satu-satunya cara hanya komunikasi melalui radio satelit yang berada di kawasan Sentani, Jayapura.

"Mirip radio ATC di bandara. Biasa itu kita lari ke Sentani, karena radionya cuma bisa setiap jam enam sore. Hanya di jam itu," kata dia.

Kini, Teis bisa sedikit bernapas lega. Beasiswa KIP Kuliah dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) senilai Rp8.400.000 yang dia terima setiap semester dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhannya menuntut ilmu di Kota Jayapura. Tak jarang Teis menyisihkan sebagian uang tersebut untuk membeli perlengkapan kuliah.

Teis juga enggan mengulur waktu. Dia hanya ingin bergegas menuntaskan studi di FKIP Uncen dan kembali ke kampung halamannya. Di benaknya tergores wajah bocah-bocah Desa Nahomas yang setiap harinya menanti kepastian guru yang akan mengajarkan mereka cara mengeja dan berhitung di ruang-ruang kelas sederhana.

"Mungkin karena terlalu pedalaman, jadi guru kebanyakan adanya di kota. Itu jadi motivasi saya untuk kembali ke kampung untuk jadi guru," dia menambahkan.

Perjalanan Teis kini tak terlampau jauh dari mimpinya. Tekadnya menjadi guru masih kuat, sekuat keberaniannya menembus rapat dan dinginnya hutan di pelosok Papua Pegunungan demi sebuah kesempatan bernama KIP Kuliah.

KEYWORD :

KIP Kuliah Kemdiktisaintek Teis Tibul Universitas Cendrawasih




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :