
Hari Parlemen Internasional atau International Day of Parliamentarism (Foto: RRI)
Jakarta, Jurnas.com - Setiap 30 Juni, dunia memperingati Hari Parlemen Internasional atau International Day of Parlliamentarism sebagai momentum untuk menegaskan kembali pentingnya peran parlemen dalam menjaga demokrasi tetap hidup dan relevan. Tanggal ini merujuk pada berdirinya Inter-Parliamentary Union (IPU) pada 30 Juni 1889.
Dikutip dari laman IPU dan United Nation, peringatan Hari Parlemen Internasional secara resmi ditetapkan pada tahun 2018 melalui resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di tengah meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga politik. Pada saat yang sama, demokrasi global menghadapi tekanan dari gelombang populisme dan nasionalisme yang kian menguat.
Di tengah tantangan tersebut, parlemen diharapkan tetap menjadi fondasi demokrasi yang transparan, akuntabel, dan representatif. Sebab kekuatan demokrasi bukan hanya diukur dari keberadaan lembaga, tetapi dari fungsinya yang berjalan efektif untuk rakyat.
Parlemen memegang tiga peran penting dalam sistem pemerintahan modern: mewakili suara publik, membentuk hukum, dan mengawasi jalannya pemerintahan. Fungsi ini menjadikan parlemen sebagai jembatan utama antara aspirasi rakyat dan kebijakan negara.
Namun dalam praktiknya, banyak parlemen masih menghadapi hambatan internal seperti rendahnya keterwakilan kelompok rentan, polarisasi politik, hingga lemahnya partisipasi publik. Hal ini menunjukkan perlunya pembaruan kelembagaan agar parlemen tidak tertinggal oleh dinamika masyarakat.
DPR RI Berperan Aktif di Kancah Internasional
Karena itu, Hari Parlemen Internasional bukan hanya ajang seremonial, tetapi juga saat yang tepat untuk refleksi dan reformasi. Evaluasi berkala, keterbukaan terhadap teknologi, serta pelibatan perempuan dan generasi muda menjadi kunci agar parlemen lebih inklusif dan adaptif.
Tahun 2025, IPU mengangkat tema “Kesetaraan Gender” sebagai sorotan utama dalam peringatan Hari Parlemen Internasional, demikian dikutip Detik. Ini menjadi pengingat bahwa tanpa keterwakilan setara antara perempuan dan laki-laki, parlemen tidak benar-benar mencerminkan masyarakat yang dilayaninya.
Fokus pada kesetaraan gender ini sejalan dengan komitmen global terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya dalam hal keadilan sosial dan pemerintahan inklusif. Parlemen dinilai perlu memberi ruang lebih besar bagi perempuan untuk terlibat dan memimpin proses legislasi.
Tema ini juga menjadi kelanjutan dari komitmen IPU di tahun-tahun sebelumnya yang menyoroti isu partisipasi warga, diplomasi parlemen, hingga aksi iklim. Semua tema ini memperlihatkan bahwa parlemen adalah aktor penting dalam menjawab tantangan global.
Partisipasi aktif parlemen dalam isu-isu internasional membuktikan bahwa fungsinya tidak hanya terbatas di dalam negeri. Parlemen juga menjadi bagian dari jaringan kerja sama global dalam merespons krisis seperti perubahan iklim, konflik, dan ketimpangan sosial.
Melalui peringatan ini, masyarakat diajak untuk memahami bahwa parlemen bukan sekadar ruang debat politik, tetapi tempat di mana masa depan bersama dibentuk. Untuk itu, keterlibatan publik bukan hanya hak, tapi juga tanggung jawab.
Ketika parlemen bekerja dengan baik dan didukung oleh warga yang aktif, demokrasi memiliki peluang untuk terus tumbuh dan bertahan. Sebaliknya, jika kepercayaan publik runtuh, maka demokrasi kehilangan pondasinya.
Hari Parlemen Internasional 2025 menjadi pengingat bahwa demokrasi yang kuat memerlukan parlemen yang inklusif, modern, dan berpihak pada kesetaraan. Karena tanpa kesetaraan, tak ada keadilan; dan tanpa keadilan, demokrasi hanya tinggal nama. (*)
KEYWORD :Hari Parlemen Internasional 30 Juni Peringatan Hari Parlemen