Minggu, 29/06/2025 19:56 WIB

Mengapa Pernikahan Disebut Mitsaqan Ghalizha, Disejajarkan dengan Perjanjian Tuhan-Nabi?

Mengapa Pernikahan Disebut Mitsaqan Ghalizha, Disejajarkan dengan Perjanjian Tuhan dan Nabi?

Ilustrasi - menikah (Foto: detik)

Jakarta, Jurnas.com - Dalam Islam, pernikahan bukan hanya peristiwa sosial atau sekadar akad formal antara dua insan. Lebih dari itu, Al-Qur’an menggambarkannya dengan istilah yang sangat agung: mitsaqan ghalizha, yaitu perjanjian yang kuat, berat, dan kokoh.

Menariknya, istilah ini tidak digunakan untuk jenis hubungan lain, bahkan tidak dipakai saat Allah membahas akad-akad muamalah. Hanya dalam tiga konteks dalam Al-Qur’an, kata mitsaqan ghalizha digunakan, dan salah satunya adalah untuk menggambarkan pernikahan.

Hal ini tercantum dalam QS. An-Nisa’ ayat 21, di mana Allah menyebut bahwa istri telah mengambil dari suami “perjanjian yang kuat”. Istilah tersebut menunjukkan betapa serius dan dalamnya konsekuensi dari sebuah ikatan pernikahan.

Tidak hanya sekadar ikrar, tetapi juga mengandung tanggung jawab spiritual yang besar. Maka tak mengherankan jika ulama sepakat bahwa pernikahan bukan sekadar akad (‘aqdan), melainkan komitmen yang dipertegas langsung oleh wahyu, dan dikategorikan sebagai bentuk janji kepada Allah.

Penggunaan istilah mitsaq sendiri oleh para mufasir seperti Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi ditafsirkan sebagai bentuk penegasan janji, bukan janji biasa, melainkan komitmen yang dilandasi kesungguhan. Sedangkan kata ghalizha berasal dari akar kata yang berarti keras, berat, dan kokoh. Makna ini mengisyaratkan bahwa pernikahan tidak bisa dijalani dengan sembarangan.

Bahkan, dalam tafsir Ibnu Katsir, disebutkan bahwa ketika seorang lelaki mengambil seorang perempuan dari keluarganya dengan tujuan menikahinya, maka dia telah berjanji atas nama Allah—karena dalam proses itu ia menghalalkan sesuatu yang sebelumnya haram melalui kalimat Allah, demikian dikutip Madinanews.

Dengan demikian, lafaz akad nikah yang sering kita dengar saat prosesi ijab kabul bukan hanya pengucapan seremonial, tetapi sebenarnya adalah bagian dari mitsaqan ghalizha yang mengandung konsekuensi dunia dan akhirat. Maka, tidak berlebihan jika Allah menyamakan perjanjian ini dengan dua perjanjian agung lainnya dalam sejarah umat manusia: perjanjian dengan para nabi ulul azmi dan perjanjian dengan Bani Israil.

Perjanjian Allah dengan para nabi termaktub dalam QS. Al-Ahzab ayat 7, di mana disebut bahwa Allah mengambil mitsaqan ghalizha dari Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad. Kelima nabi ini dikenal sebagai rasul ulul azmi, yang dipilih untuk memikul tugas kenabian dalam konteks umat yang sangat kompleks. Ujian yang mereka hadapi luar biasa, dari penolakan kaum, intimidasi penguasa, hingga cobaan keluarga.

Perjalanan hidup mereka sarat dengan pengorbanan dan keteguhan hati, namun mereka tetap memegang teguh janji dengan Tuhan mereka. Jika pernikahan disetarakan dengan perjanjian seperti itu, maka tentu saja rumah tangga bukan sekadar hubungan suami-istri, melainkan medan jihad yang penuh nilai ilahiah.

Selanjutnya, dalam QS. An-Nisa ayat 154, Allah kembali menggunakan istilah mitsaqan ghalizha ketika menceritakan tentang Bani Israil. Dalam perjanjian itu, Allah mengangkat gunung di atas kepala mereka sebagai bentuk penegasan agar mereka benar-benar tunduk pada perintah Ilahi. Namun sejarah mencatat bagaimana mereka kemudian melanggarnya. Bahkan ucapan mereka yang terkenal, “Kami dengar dan kami ingkari,” menjadi simbol dari pengkhianatan terhadap janji suci. Akibatnya, mereka dikutuk menjadi kera yang hina sebagai bentuk hukuman atas pengingkaran terhadap perjanjian kuat tersebut.

Lalu, konteks ketiga dari penggunaan istilah mitsaqan ghalizha adalah dalam pernikahan itu sendiri. QS. An-Nisa ayat 21 menjelaskan bahwa ikatan suami-istri telah melibatkan pergaulan yang sangat dalam, digambarkan dengan kata afdhaa, yang berarti meluas atau melampaui batas. Kata ini menunjukkan keterbukaan total antara dua insan: fisik, emosional, dan spiritual. Karenanya, mahar yang telah diberikan tidak bisa ditarik kembali, karena ikatan yang telah terjalin bukan lagi soal materi, tetapi menyangkut kehormatan, jiwa, dan martabat.

Penafsiran lebih lanjut dari Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah mengaitkan mitsaqan ghalizha dalam konteks pernikahan dengan konsep penghargaan terhadap perempuan. Ia menjelaskan bahwa mahar bukanlah alat tukar, tetapi bentuk penghormatan karena seorang perempuan telah memberikan kepercayaannya, membagikan rahasia terdalamnya, dan mengizinkan kedekatan yang hanya halal dalam ikatan suci. Ini menegaskan bahwa hubungan suami-istri bukan relasi transaksional, melainkan relasi sakral yang dibangun atas dasar amanah dan cinta.

Makna mendalam dari pernikahan sebagai mitsaqan ghalizha juga dijelaskan dalam buku Spiritualitas Pernikahan karya Moh. Sulthon Amien dikutip PWMU. Di sana ditegaskan bahwa pernikahan adalah bentuk ibadah yang memiliki orientasi ke langit. Pernikahan bukan hanya untuk saling mencintai dan menemani, tapi juga untuk mengabdi kepada Allah melalui ikatan yang diridhai-Nya. Ketika dua insan mengikat janji di bawah nama-Nya, sejatinya mereka sedang membangun pondasi peradaban yang bertujuan menghasilkan generasi beriman dan bertakwa.

Sejalan dengan itu, pernikahan menjadi akad untuk saling mengasihi, menguatkan iman, saling menerima kekurangan, serta menjadi pakaian satu sama lain yang menutupi aib dan melindungi dari godaan. Pernikahan adalah proyek besar membangun rumah tangga sebagai surga kecil yang penuh kasih sayang, tempat lahirnya ketenangan dan cinta yang diberkahi. Maka, wajar jika Rasulullah menyunnahkan menghadiri undangan pernikahan, karena dalam momen itu, Allah dan para malaikat menjadi saksi akan lahirnya sebuah misi spiritual.

Melalui pemahaman ini, kita bisa melihat bahwa lafaz ijab kabul bukan sekadar janji duniawi, melainkan pintu masuk menuju pengabdian hakiki. Maka, siapa pun yang mengikrarkan pernikahan seharusnya menyadari bahwa ia sedang memulai perjalanan panjang yang menuntut komitmen, kesabaran, dan tanggung jawab. Sebab pada akhirnya, mitsaqan ghalizha bukan hanya ikatan antar dua insan, tetapi janji yang dihadapkan langsung kepada Tuhan semesta alam. (*)

Wallohu`alam

KEYWORD :

Penikahan Mitsaqan ghalizha Perjanjian Nabi Al-Quran Islam




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :