Minggu, 29/06/2025 01:40 WIB

Konflik Iran–Israel dan Riak Mazhab di Indonesia

Konflik Iran–Israel dan Riak Mazhab di Indonesia

Orang-orang berunjuk rasa mendukung Angkatan Bersenjata Iran di Teheran, Iran, 24 Juni 2025. WANA via REUTERS

Jakarta, Jurnas.com - Di tengah memanasnya konflik IranIsrael pada Juni 2025, dunia kembali diliputi kecemasan akan meluasnya perang di Timur Tengah, bahkan dikhwatikrkakn memicu pecahnya perang dunia ke-III. Serangan udara saling balas, seruan balas serangan, hingga intervensi diam-diam Amerika Serikat menambah lapisan kegelapan dalam upaya perdamaian global.

Namun di balik hiruk-pikuk geopolitik dan letupan senjata, Iran justru menyimpan satu sisi menarik yang kerap luput dari pandangan: kehidupan bersama Sunni dan Syiah yang berjalan dalam ruang ketegangan, tapi tetap bertahan. Ini bukan potret sempurna, namun cukup untuk menyadarkan bahwa harmoni mazhab bukanlah mitos di negeri yang kerap disederhanakan sebagai negara Syiah.

Komunitas Sunni di Iran, terutama di wilayah Sistan-Baluchestan, Kurdistan, dan Golestan, hidup berdampingan dengan komunitas Syiah yang dominan. Mereka memiliki akses terhadap pendidikan, ibadah, bahkan kursi parlemen dan wakil presiden, meski dalam ruang yang terbatas dan penuh negosiasi identitas.

Menurut Iran Wire, Komunitas Sunni di Iran relatif bebas menjalankan agamanya di sebagian besar dari 31 provinsi di Iran. Menurut Pasal 12 Konstitusi Iran, kaum Sunni diizinkan untuk menjalankan ritual keagamaan mereka dan memberikan pendidikan agama kepada anak-anak penganutnya sesuai dengan keinginan mereka. Meskipun, prinsip ini tidak selalu diterapkan dalam praktik dan kebebasan yang diberikan kepada kaum Sunni di lapangan tidak seragam, demikian dikutip Iran Wire.

Kendati demikian, fakta ini memberi catatan penting bahwa pertentangan Sunni-Syiah tidak selalu berarti bentrokan berdarah, apalagi jika negara mampu menciptakan kerangka koeksistensi yang meskipun rapuh, tetap fungsional. Justru dari negeri yang dianggap episentrum Syiah inilah muncul pelajaran bahwa perbedaan tidak selalu harus menimbulkan perpecahan.

Sayangnya, ketika konflik IranIsrael meletus, dunia Islam seperti kembali ditarik dalam jurang dikotomi lama: Sunni melawan Syiah. Narasi itu menyebar cepat ke Indonesia melalui media sosial, sering kali tanpa konteks dan penuh sentimen. Hal demikian juga yang dikhwatirkan oleh pemimpin tertinggi IranAyatollah Ali Khamenei--yang menginginkan Islam, khususnya Syiah dan Suni bersatu dan saling menghormati-- seperti disampaikan dalam beberapa pidatonya belakangan ini.

Padahal seperti disebut dalam buku Gerakan Syiah di Nusantara oleh Wahyu Iryana, sejarah mencatat bahwa Syiah bukan pendatang asing dalam lanskap Islam Indonesia. Sejak abad ke-13, pengaruh Syiah telah membentuk pola ritual, karya sastra, bahkan struktur sosial kerajaan-kerajaan Islam awal di Nusantara.

Namun sejak masuknya Islam ortodoks dari Gujarat dan pengaruh Turki Utsmani pada abad ke-16, Syiah perlahan terpinggirkan dalam sejarah resmi. Gelombang purifikasi oleh gerakan Wahabi pada abad ke-18 memperkuat narasi dominan yang menghapus simbol dan jejak Syiah dari ruang publik, demikian dikutip NU Online.

Walau begitu, sejarah tak benar-benar diam, sebab Revolusi Iran 1979 menjadi titik balik yang menyemangati sebagian intelektual Muslim Indonesia untuk menggali kembali warisan Syiah. Iran pun menjelma bukan hanya sebagai pusat politik, tetapi juga simbol spiritual, budaya, dan pendidikan bagi sebagian komunitas Syiah dunia, termasuk di Indonesia.

Namun simbolisme Iran sering kali menciptakan dilema: antara inspirasi teologis dan kekhawatiran akan ekspansi ideologis. Di sinilah pentingnya membedakan antara Syiah sebagai keyakinan dan Iran sebagai negara, agar tidak terburu-buru menghakimi komunitas lokal yang tak selalu berafiliasi langsung.

Perang IranIsrael memperbesar sorotan terhadap komunitas Syiah di Indonesia yang selama ini hidup di bawah radar. Tuduhan sebagai agen negara asing dan ancaman ideologi mulai menyeruak, meski sering kali tak dilandasi pemahaman yang utuh.

Menurut Wahyu Iryana, kita kadang lupa bahwa Indonesia bukan Iran dan juga bukan Arab Saudi, apalagi Israel; negeri ini dibangun bukan dengan fondasi mazhab tunggal, melainkan semangat Islam Nusantara yang toleran dan adaptif. Maka konflik di Timur Tengah tak seharusnya diimpor mentah-mentah ke ruang sosial Indonesia yang berbeda secara historis, kultural, dan politik.

Ia juga berpandangan bahwa moderasi beragama menjadi jalan paling masuk akal dalam menjaga kesatuan bangsa di tengah arus ideologi transnasional. Negara harus hadir bukan sebagai penghakim, tetapi sebagai fasilitator dialog yang merangkul semua mazhab dalam kerangka kebangsaan yang utuh.

Wahyu menilai, komunitas Syiah di Indonesia, sebagian besar, tetap cinta tanah air dan aktif dalam dunia pendidikan, sosial, dan dakwah damai. Namun tentu saja kewaspadaan tetap penting terhadap segala bentuk ekstremisme, baik yang lahir dari mazhab Syiah maupun Sunni.

Sebab bahaya terbesar bukan perbedaan mazhab, melainkan fanatisme yang menolak hidup berdampingan. Jika Iran saja bisa mengelola pluralitas internal di tengah tekanan global, maka Indonesia seharusnya jauh lebih mampu melakukannya.

Pertanyaannya kini bukan siapa yang benar atau menang dalam konflik IranIsrael, melainkan apakah umat Islam akan terus terjebak dalam pertikaian internal yang melemahkan solidaritas. Dunia Islam perlu berani melangkah lebih jauh: meninggalkan ego sektarian demi ukhuwah Islamiyah yang nyata dan produktif.

Karena jika Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, maka persatuan adalah jalan menuju rahmat itu. Dan Indonesia, dengan sejarah pluralitasnya, bisa menjadi bukti nyata bahwa perbedaan mazhab tak harus berarti perpecahan. (*)

KEYWORD :

Israel Iran Sunni Syiah Indonesia Islam




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :