Minggu, 29/06/2025 01:51 WIB

Khomeini Pulang, Iran Berubah

Ketika Khomeini Pulang dan Seluruh Iran Berubah

Ayatollah Ruhollah Khomeini melambai ke kerumunan pendukung yang antusias sekembalinya ke Teheran (Foto: Ahlulbait Indonesia)

Jakarta, Jurnas.com - Pada pagi musim dingin tanggal 1 Februari 1979, langit Tehran, Iran dipenuhi gema takbir dan harapan. Setelah lebih dari satu dekade hidup dalam pengasingan, Ayatollah Ruhollah Khomeini akhirnya kembali ke tanah airnya—dan pulang bukan sebagai pengungsi, tapi sebagai pemimpin revolusi yang menang.

Di jalanan ibu kota, jutaan warga berbaris sambil membawa bunga, foto, dan air mata. Mereka menyambut sosok tua berjanggut putih yang telah lama mereka dengar dari rekaman kaset dan selebaran bawah tanah, sosok yang selama ini berbicara atas nama mereka ketika negara mereka terasa terlalu asing, terlalu tunduk pada Barat, dan terlalu jauh dari Islam.

Khomeini bukan tokoh baru dalam sejarah politik Iran, tapi dalam pengasingan—dari Turki, Irak, hingga Prancis—ia berubah dari ulama ke simbol perlawanan nasional,demikian dikutip berbagai sumber. Dari kejauhan, ia memimpin dengan kata-kata, dengan retorika yang tajam, dan dengan keyakinan bahwa rakyat Iran masih punya kekuatan untuk menentukan nasibnya sendiri.

Gerakan rakyat Iran mulai membara sejak 1978, ketika ketidakpuasan terhadap Shah Mohammad Reza Pahlavi tidak lagi bisa dibendung. Modernisasi yang dipaksakan, ketimpangan ekonomi, dan represi politik justru mempercepat keruntuhan kekuasaan lama. Ketika Shah akhirnya meninggalkan negara itu pada Januari 1979, semua mata tertuju pada satu nama: Khomeini.

Kepulangan Khomeini bukan sekadar akhir dari monarki, tetapi awal dari sebuah eksperimen politik yang belum pernah terjadi sebelumnya di Timur Tengah—negara yang dipimpin oleh seorang ulama, berdasarkan hukum Islam, namun tetap terlibat dalam urusan modern seperti politik internasional, militer, dan ekonomi global.

Dua bulan setelah kembali ke Iran, Khomeini memimpin transformasi besar: sebuah referendum nasional menghasilkan deklarasi berdirinya Republik Islam Iran pada 1 April 1979. Ini bukan sekadar perubahan nama, melainkan perubahan arah peradaban. Negara tidak lagi berdiri netral terhadap agama—justru agama menjadi fondasi negara.

Konstitusi baru yang disusun di bawah pengaruh langsung Khomeini menetapkan posisi Pemimpin Tertinggi, atau Rahbar, sebagai otoritas tertinggi di Iran. Dengan ini, Khomeini tidak hanya menjadi pemimpin spiritual, tetapi juga kepala negara sejati, di atas presiden dan parlemen.

Sejak saat itu, kehidupan di Iran berubah secara menyeluruh. Hukum-hukum syariat mulai diberlakukan dalam sistem hukum sipil, dan norma sosial pun mengalami penyesuaian radikal. Perempuan diwajibkan mengenakan hijab, media dikendalikan, dan ruang gerak budaya dibatasi. Bagi sebagian rakyat, ini adalah penebusan; bagi yang lain, ini awal dari represi baru.

Namun Khomeini tidak hanya mengubah Iran dari dalam. Ia juga menantang tatanan global. Dengan lantang ia menyebut Amerika Serikat sebagai “Setan Besar” dan menolak segala bentuk dominasi asing. Ketegangan itu mencapai puncaknya dalam peristiwa penyanderaan 52 diplomat AS di Tehran selama 444 hari, yang menyulut krisis diplomatik dan menjadikan Iran musuh utama bagi Washington selama dekade-dekade berikutnya.

Tetapi di balik retorika keras dan kebijakan tegas, Khomeini tetap menjadi simbol yang rumit. Bagi para pendukungnya, ia adalah penyelamat identitas Islam yang selama puluhan tahun ditekan oleh kekuasaan sekuler dan Barat. Bagi para pengkritiknya, ia adalah tokoh otoriter yang mematikan kebebasan dalam nama agama.

Ketika Khomeini wafat pada 3 Juni 1989, Iran berkabung seperti kehilangan ayah bangsa. Jutaan orang turun ke jalan untuk mengiringi pemakamannya, memperlihatkan betapa dalam pengaruhnya terhadap rakyat. Namun warisan terbesarnya bukanlah pada kematiannya, melainkan pada sistem yang tetap bertahan hingga kini: sebuah negara yang menjadikan agama sebagai pusat kekuasaan.

Empat dekade setelah revolusi, Iran masih memegang struktur pemerintahan yang dirancang Khomeini. Para pemimpin setelahnya tetap berada dalam bayang-bayangnya, dan kebijakan-kebijakan strategis negara tetap merujuk pada ideologi yang ia rumuskan sejak di pengasingan.

Hari ini, nama Khomeini tidak hanya dikenal di Iran, tapi juga menjadi bahan studi politik, agama, dan sejarah di seluruh dunia. Ia adalah satu dari sedikit tokoh abad ke-20 yang berhasil mengganti sebuah rezim, membentuk konstitusi baru, dan meninggalkan jejak ideologi yang terus mengalir dalam urat nadi bangsanya. (*)

KEYWORD :

Ruhollah Khomeini Revolusi Iran Republik Islam iran




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :