Jum'at, 27/06/2025 01:35 WIB

Kenapa Malam 1 Suro Dianggap Sakral? Ini Makna, Mitos hingga Mistisnya

Malam 1 Suro merupakan salah satu malam yang dianggap paling sakral dalam budaya masyarakat Jawa

Ilustrasi - Kapan Malam 1 Suro 2025? Simak Jadwal, Tradisi hingga Filosifinya (Foto: Nawacita)

Jakarta, Jurnas.com - Malam 1 Suro merupakan salah satu malam yang dianggap paling sakral dalam budaya masyarakat Jawa. Momen ini menandai pergantian tahun baru Jawa yang jatuh setiap awal bulan Suro, bulan pertama dalam penanggalan Jawa.

Dalam sistem kalender Jawa, terdapat dua belas bulan, yakni Suro, Sapar, Mulud, Bakdo Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Dzulqo’idah, dan Besar. Kalender ini merupakan hasil sinkretisme budaya Hindu, Islam, dan Masehi yang diresmikan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo pada abad ke-17.

Tahun ini, berdasarkan kalender Hijriah 2025 dari Kementerian Agama RI, satu Suro jatuh pada Jumat, 27 Juni 2025. Namun karena pergantian hari dalam tradisi Jawa dimulai saat matahari terbenam, malam 1 Suro dimulai sejak Kamis malam, 26 Juni 2025, tepat setelah waktu Magrib.

Kepercayaan terhadap malam 1 Suro bukan hanya berkaitan dengan penanggalan, tetapi juga dimaknai sebagai waktu untuk menyepi, merenung hingga mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam pandangan masyarakat Jawa, malam ini membawa energi spiritual yang kuat sekaligus dianggap sebagai masa transisi yang penuh makna.

Sultan Agung, sebagai pencetus penanggalan Jawa-Islam, merancang 1 Suro sebagai malam perenungan, bukan pesta atau hura-hura. Ia berharap agar masyarakatnya dapat menyatukan nilai-nilai keagamaan dan kearifan lokal dalam satu napas budaya.

Dalam perjalanannya, malam 1 Suro berkembang menjadi ruang spiritual sekaligus sosial bagi masyarakat. Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta masih menjaga tradisi ini melalui serangkaian upacara adat yang berlangsung secara sakral.

Di Yogyakarta, tradisi Mubeng Benteng menjadi simbol pengendalian diri dan refleksi spiritual. Dalam prosesi ini, para abdi dalem dan masyarakat berjalan kaki mengelilingi benteng keraton tanpa alas kaki dan tanpa bicara, sambil melafalkan doa dan tasbih.

Sementara itu, prosesi Jamasan Pusaka dilakukan untuk merawat dan menyucikan benda-benda pusaka milik keraton. Tradisi ini bukan hanya sekadar pelestarian benda warisan, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai leluhur.

Di Surakarta, peringatan malam 1 Suro ditandai dengan kirab Kebo Bule Kyai Slamet, kerbau albino yang diyakini membawa berkah dan keselamatan. Hewan ini merupakan peninggalan kesayangan Paku Buwono II dan masih dijaga keturunannya hingga kini.

Namun di balik semua tradisi tersebut, terdapat sejumlah larangan yang dipercaya oleh sebagian masyarakat Jawa. Larangan ini bukan bersifat agama, tetapi lebih kepada nilai kultural dan spiritual yang diyakini turun-temurun.

Salah satu kepercayaan yang masih kuat adalah larangan keluar rumah pada malam 1 Suro, terutama bagi mereka yang memiliki weton tertentu. Mereka percaya bahwa malam tersebut rawan terhadap energi negatif atau bahkan gangguan gaib.

Selain itu, banyak masyarakat yang memilih untuk diam, tidak berbicara, dan menjauhi keramaian. Di Keraton Yogyakarta, ritual bisu menjadi simbol tirakat dan pengendalian diri yang dilakukan dalam hening.

Malam 1 Suro juga dianggap bukan waktu yang tepat untuk menikah atau pindah rumah. Meskipun tidak dilarang secara agama, banyak yang memilih menunda kegiatan besar demi menjaga keharmonisan dan menghindari hal-hal yang dianggap sial.

Tidak hanya itu, sebagian orang melakukan tirakat pribadi seperti berpuasa, menyepi, atau semedi di tempat-tempat keramat. Mereka meyakini bahwa malam ini menjadi waktu terbaik untuk membersihkan jiwa dan memperkuat niat spiritual.

Namun, tidak semua praktik yang berkembang bersifat murni spiritual. Sebagian kepercayaan berkembang ke arah mitos, seperti mencari kekayaan melalui ziarah kubur, sesajen ke laut, hingga mencari berkah lewat ritual yang menyimpang.

Penelitian Zainuddin dalam tulisan “Tradisi Suro dalam Masyarakat Jawa” menyebut bahwa sebagian masyarakat menyalahartikan malam suci ini sebagai momen untuk tujuan-tujuan mistis. Hal tersebut menimbulkan ketakutan yang tidak sejalan dengan niat awal Sultan Agung.

Padahal sejak awal, Sultan Agung ingin menciptakan suasana spiritual yang menyejukkan dan menyatukan antara kaum santri dan abangan. Oleh karena itu, tradisi ziarah ke makam para wali seperti Sunan Ampel dan Sunan Giri juga dilakukan beriringan dengan pengajian dan laporan dari pejabat lokal.

Peringatan malam 1 Suro pada Jumat Legi pun diyakini lebih keramat oleh masyarakat karena bertepatan dengan hari yang dianggap istimewa dalam kalender Jawa. Hari tersebut dianggap membawa keberkahan jika diperingati dengan zikir, haul, dan pengajian, bukan untuk kepentingan lain yang bersifat duniawi.

Kini, di tengah derasnya arus modernitas, malam 1 Suro tetap memiliki tempat tersendiri dalam budaya masyarakat Jawa. Ia menjadi simbol dari kesadaran untuk memperlambat langkah, menyucikan hati, dan merawat warisan budaya yang hampir dilupakan.

Penting bagi generasi sekarang untuk memahami makna 1 Suro secara utuh, bukan sekadar larangan atau mitos. Tetapi sebagai warisan sejarah dan spiritualitas yang mengajarkan tentang keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan. (*)

Sumber: Gramedia

KEYWORD :

Malam 1 Suro Bulan Suro Mitos 1 Suro Kalender Jawa




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :