Kamis, 26/06/2025 22:17 WIB

Mengapa Bulan Muharram Disebut Bulan Suro di Jawa? Ini Penjelasannya

Di Jawa, bulan Muharram lebih dikenal dengan sebutan bulan Suro. Nama tersebut bukan hanya sekadar penyebutan lokal, melainkan memiliki akar sejarah dan budaya yang panjang.

Ilustrasi - Mengapa Bulan Muharram Disebut Bulan Suro di Jawa? Ini Penjelasannya (Foto: Nawacita)

Jakarta, Jurnas.com - Bulan Muharram merupakan bulan pertama dalam kalender Hijriah yang dimaknai sebagai awal tahun baru Islam. Di dalamnya tersimpan sejarah penting umat Muslim yang berkaitan dengan hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah pada tahun 622 Masehi.

Namun di Jawa, bulan ini lebih dikenal dengan sebutan bulan Suro. Nama tersebut bukan hanya sekadar penyebutan lokal, melainkan memiliki akar sejarah dan budaya yang panjang.

Dikutip dari laman UIN Malang, istilah "Suro" berasal dari kata Arab "Asyura" yang berarti hari kesepuluh dalam bulan Muharram. Kata ini kemudian diserap ke dalam bahasa Jawa dan menjadi simbol spiritualitas dalam kebudayaan lokal.

Seiring penyebaran Islam ke Nusantara, akulturasi antara budaya Arab dan Jawa pun terjadi. Hal ini membuat nama Asyura berkembang menjadi Suro dan dijadikan sebagai penanda awal tahun dalam kalender Jawa.

Kalender Jawa sendiri merupakan hasil modifikasi yang dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram pada abad ke-17. Ia menggabungkan sistem kalender Islam dengan sistem penanggalan tradisional Jawa, yang kemudian dikenal sebagai kalender Aboge.

Dalam sistem ini, bulan Suro menjadi bulan pertama, sejajar dengan posisi bulan Muharram dalam kalender Hijriah. Karena itu, secara waktu keduanya merujuk pada momen yang sama, meski pengungkapannya berbeda secara kultural.

Bagi umat Islam, bulan Muharram adalah bulan suci yang dimuliakan karena banyak peristiwa penting terjadi di dalamnya. Di antaranya adalah keselamatan Nabi Musa dari kejaran Firaun, tobatnya Nabi Adam, dan Nabi Nuh yang selamat dari banjir besar.

Karena itulah, bulan ini dianjurkan untuk diisi dengan berbagai amal kebajikan seperti berdoa, zikir hingga refleksi diri. Momentum tahun baru ini menjadi ajakan untuk memperbaiki kualitas hidup secara spiritual dan sosial.

Di sisi lain, masyarakat Jawa juga memaknai bulan Suro sebagai bulan sakral yang penuh misteri. Namun, penyambutannya lebih kental dengan nuansa mistis dan simbolik dibandingkan dengan nilai-nilai ibadah dalam Islam.

Misalnya, banyak masyarakat Jawa yang memilih tidak mengadakan hajatan di bulan Suro karena dianggap membawa sial. Ada pula tradisi tapa bisu, larung kepala kerbau ke laut, hingga mencuci benda pusaka seperti keris.

Tradisi-tradisi tersebut berangkat dari keyakinan bahwa bulan Suro adalah saat di mana alam gaib menjadi lebih aktif. Sebagian masyarakat percaya bahwa malam satu Suro adalah waktu untuk ritual pembersihan diri secara batin maupun lahir.

Pemahaman ini sejalan dengan makna asli kata "mandi" yang sering disalahartikan dalam tradisi malam satu Suro. Mandi sejatinya adalah simbol untuk mensucikan diri dari dosa dan memulai hidup baru yang lebih baik.

Dengan demikian, baik Muharram maupun Suro sebenarnya sama dalam hitungan waktu, namun berbeda dalam cara pemaknaan. Islam memaknai Muharram sebagai bulan peningkatan spiritualitas, sedangkan dalam budaya Jawa, Suro adalah bulan refleksi, ritual, dan kontemplasi—meski kadang tercampur dengan unsur mistik yang tidak sesuai ajaran Islam. (*)

KEYWORD :

Bulan Muharram Bulan Suro Kalender Jawa Tradisi Suro




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :