
Pemandangan Gunung Sindoro di Jawa Tengah (Foto: Unsplash/Rizknas)
Jakarta, Jurnas.com - Dalam beberapa tahun terakhir, salah satu tren pendakian yang menarik perhatian adalah fenomena `tektok`, atau pendakian cepat dalam satu hari tanpa bermalam. Meski awalnya viral di TikTok, tren ini kini menjadi perdebatan di komunitas pendaki.
Tektok menawarkan efisiensi waktu tinggi karena pendaki bisa pergi dan pulang dalam hitungan jam. Tren ini sangat populer di kalangan pekerja atau pelajar yang hanya punya akhir pekan pendek.
Daya tarik lainnya adalah kemudahan akses. Cukup membawa perbekalan esensial seperti air, makanan ringan, pakaian dingin, dan jaket tebal, tanpa beban berat tenda atau peralatan berat lainnya.
Jika pendaki pada umumnya harus membawa ransel besar atau tas carrier, pendaki tektok umumnya hanya membawa sebuah ransel kecil atau daypack, bahkan hydropack dengan ukuran yang lebih ramping.
Konten media sosial memainkan peran besar. Video dramatic sunrise, jalur terjal, atau momen summit point yang dibagikan di TikTok menciptakan dorongan emosional—banyak orang ingin merasa bagian dari tren viral tersebut.
Namun, tren ini bukan tanpa risiko. Kasus seperti hipotermia, kelelahan ekstrem, bahkan tersesat dialami oleh beberapa pendaki tektok karena terlalu fokus ke waktu atau konten konten.
Meski begitu, pendaki tektok juga punya dampak positif. Ada yang mengatakan, tren ini memperkenalkan keindahan gunung ke publik luas, mendorong kecintaan terhadap alam, dan meningkatkan ekonomi lokal di wilayah pendakian.
Intinya, tektok adalah pilihan gaya pendakian modern karena praktis dan menyenangkan jika dipersiapkan dengan matang. Namun, jika dijalani tanpa pengetahuan dan kehati-hatian, tektok bisa menjadi bumerang bagi pendaki baru.
KEYWORD :Pendaki Tektok Pendakian Gunung Fenomena Viral