
Kids Biennale Indonesia 2025, sebuah pameran seni anak yang akan berlangsung di Galeri Nasional Indonesia mulai 3 hingga 31 Juli 2025. (Foto: Ist)
Jakarta, Jurnas.com - Menjelang peringatan Hari Anak Nasional pada 23 Juli dan Hari Anak Internasional yang jatuh setiap 1 Juni, berbagai pihak mulai menggelar inisiatif untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya perlindungan dan pemenuhan hak anak.
Salah satu yang paling menonjol adalah penyelenggaraan Kids Biennale Indonesia 2025, sebuah pameran seni anak yang akan berlangsung di Galeri Nasional Indonesia mulai 3 hingga 31 Juli 2025.
Redaksi berkesempatan berbincang dengan Prof. Maila Diniah Husni Rahiem, Guru Besar Pendidikan Anak Usia Dini dan Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang juga anggota Board Advisor Kids Biennale Indonesia, serta Gie Sanjaya, Ketua Yayasan Kids Biennale, di kantor pusat kegiatan yang berlokasi di Neha Hub, Cilandak, Jakarta Selatan, pada masa persiapan pameran.
Prof. Maila menjelaskan, pameran kali ini mengangkat tema "Tumbuh Tanpa Takut", sejalan dengan kondisi anak-anak Indonesia yang masih menghadapi beragam bentuk kekerasan.
“Data Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 menunjukkan bahwa 50,8 persen anak usia 13–17 tahun pernah mengalami kekerasan, baik fisik, emosional, maupun seksual. Ini bukan sekadar angka ini adalah suara luka yang perlu kita dengarkan,” ujarnya.
Dalam konteks tersebut, seni dipilih sebagai media pemulihan dan penguatan.
Ibas Ajak Mahasiswa UIN Ponorogo Jadi Generasi Harmoni yang Cakap, Moderat, dan Berakar pada Tradisi
“Seni memberikan ruang aman yang memungkinkan anak-anak berekspresi dengan jujur tanpa takut dihakimi. Ia bukan sekadar media estetika, tetapi juga sarana terapi emosional yang terbukti menurunkan kecemasan dan membangun kepercayaan diri anak,” tambah Prof. Maila.
Tahun ini, panitia telah menerima lebih dari 1.000 karya dari anak-anak dan remaja di berbagai daerah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 300 karya telah dikurasi untuk dipamerkan, mencakup lukisan, instalasi, film pendek, dan pertunjukan wayang cilik.
Karya-karya tersebut tidak hanya menampilkan imajinasi dan kreativitas, tetapi juga menyuarakan keresahan, ketakutan, dan harapan anak-anak terhadap isu sosial seperti kekerasan, perundungan, dan intoleransi.
“Pameran ini bukan hanya ajang apresiasi seni, tetapi juga upaya membangun resiliensi dan kesadaran sosial anak-anak kita. Kami ingin masyarakat melihat bahwa setiap warna dangoresan adalah suara yang perlu dihargai,” ujar Gie Sanjaya.
Sebagai ajang puncak yang digelar dua tahun sekali(biennale), Kids Biennale Indonesia tetap konsisten menghadirkan kegiatan tahunan yang memperkuat tema dantujuan besarnya.
Tahun lalu, misalnya, rangkaian pembukaan kegiatan disemarakkan dengan ruang kesenian interaktif untuk anak-anak—sebuah sesi partisipatif yang memungkinkan anak-anak mengeksplorasi berbagai bentuk ekspresi artistikbersama seniman, fasilitator, dan pendamping anak.
Kegiatan semacam ini dirancang tidak hanya sebagai wadah kreativitas, tetapi juga sebagai ruang aman untuk tumbuh dan belajar memahami diri serta orang lain.
Lebih dari sekadar pameran, Kids Biennale membangun kolaborasi lintas sektor—melibatkan seniman, pendidik, psikolog anak, dan pemerhati kebijakan. Program ini memadukan pendekatan seni, pendidikan, dan psikososial, serta menyelaraskan dengan kerangka kebutuhan dasar manusia yang menekankan pentingnya rasa aman dan penghargaan diri, seperti dikemukakan oleh Abraham Maslow.
Di tingkat global, pendekatan serupa juga dilakukan melalui inisiatif seperti DrawBridge di Amerika Serikatdan Children’s Biennale di Singapura. “Kids Biennale Indonesia ingin menjadi bagian dari gerakan dunia untuk menghadirkan ruang aman dan bermakna bagi anak-anak,” jelas Prof. Maila.
Dengan semangat Hari Anak Nasional, kegiatan ini diharapkan dapat menggugah kesadaran masyarakat bahwa pemulihan dan perlindungan anak tidak hanya tanggung jawab negara, tetapi seluruh elemen bangsa.
Melalui Kids Biennale, anak-anak tidak sekadar menjadi objek kebijakan, tetapi subjek perubahan yang menyampaikan aspirasi merekalewat karya seni.
Pameran ini akan dibuka untuk umum dan menjadi momentum penting untuk mendengarkan suara anak-anak Indonesia.
“Mengapresiasikan karya mereka bukan hanya soal seni, tetapi soal masa depan bangsa,” Prof. Maila.
KEYWORD :
Hari Anak Nasional Kids Biennale Indonesia 2025 Maila Diniah Husni Rahiem UIN