
Ilustrasi sedang bersyukur (Foto: Pexels/PNW Production)
Jakarta, Jurnas.com - Di tengah dunia yang semakin sibuk, serba cepat, kompetitif, dan saling sikut-sikutan, manusia terkadang mudah kehilangan arah dan lupa mensyukuri nikmat yang sudah dimiliki. Padahal, dalam Islam, syukur bukan sekadar sikap, melainkan kunci keberkahan hidup.
Karena itu, Allah menegaskan dalam Al-Qur’an, seperti dalam Surat Ibrahim ayat 7 bahwa siapa yang bersyukur akan ditambah nikmatnya, sedangkan siapa yang kufur, diingatkan bahwa azab Tuhan sangat pedih. Ini menunjukkan bahwa syukur bukan hanya urusan hati, tapi berdampak langsung pada realitas hidup.
Mensyukuri nikmat merupakan prinsip sentral dan fundamental dalam ajaran Islam. Allah SWT berfirman dalam QS. Ibrahim ayat 7:
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Lebih dari sekadar ucapan, syukur tercermin dari bagaimana seseorang menggunakan nikmatnya untuk hal yang baik dan bermanfaat. Maka, orang yang bersyukur akan menjadikan hartanya sebagai alat, bukan tujuan.
Sebaliknya, ketika hati tidak terisi dengan syukur, ia rentan diisi oleh tamak. Sifat tamak mendorong seseorang untuk terus merasa kurang, bahkan ketika segala sesuatu sudah ada di genggaman.
Dalam Islam, seperti dikutip dari berbagai sumber, tamak digambarkan sebagai penyakit jiwa yang halus namun berbahaya. Rasulullah menganalogikan bahwa jika manusia diberi dua lembah emas, maka ia tetap akan mencari lembah ketiga.
Cari Kerja Tak Kunjung Dapat? Coba Amalan Ini
Rasulullah SAW bersabda:
“Jika anak Adam memiliki dua lembah emas, niscaya ia akan menginginkan yang ketiga. Tidak ada yang bisa memenuhi (nafsu) perut anak Adam kecuali tanah (kematian).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tamak mendorong manusia mengejar dunia tanpa batas etika dan kepuasan. Ia bisa menjadi sumber masalah moral, dan akar ketidakadilan, mulai dari korupsi, penindasan, hingga kerusakan lingkungan. Menurut Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, sifat tamak merupakan hijab atau penghalang antara manusia dan ketenangan jiwa. Ia menulis: “Orang tamak akan selalu gelisah dan jauh dari kebahagiaan sejati.”
Karena itu, tamak bukan hanya soal harta, tapi juga tentang kehausan terhadap dunia yang tidak pernah puas. Ia menjauhkan manusia dari ketenangan, bahkan menjerumuskannya pada perbuatan yang menyimpang.
Lebih parahnya, tamak bisa menghilangkan nilai moral dan spiritual, karena yang dikejar bukan lagi ridha Allah Swt, melainkan kepuasan pribadi. Dari sini, lahirlah berbagai bentuk ketidakadilan sosial, keserakahan ekonomi, dan krisis nilai.
Namun, ketika seseorang mengisi hatinya dengan syukur, ia akan merasa cukup meski tidak memiliki banyak. Inilah yang disebut qana’ah, yaitu kepuasan hati yang menjadikan hidup lebih tenteram.
Dengan rasa cukup, seseorang tetap bisa berusaha keras tanpa diperbudak oleh hasil. Ia tidak takut gagal, karena tahu bahwa yang terpenting adalah usaha yang halal dan niat yang lurus.
Pada titik ini, syukur dan anti-tamak bukan hanya nilai spiritual, tetapi juga prinsip hidup yang rasional. Keduanya menjaga manusia dari kehampaan batin di tengah gelombang materialisme.
Selain itu, syukur membuat manusia lebih peka terhadap kebutuhan orang lain. Ia tak sekadar menikmati nikmat, tapi juga berbagi dan memberi makna pada nikmat itu.
Kesadaran ini menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial, sebab ia sadar bahwa nikmat bukan semata-mata hak pribadi. Maka dari itu, ia akan lebih berhati-hati dalam menggunakan hartanya dan lebih dermawan terhadap sesama.
Dengan begitu, Islam tidak menolak kekayaan, namun menempatkannya dalam bingkai akhlak dan ketakwaan. Kaya tidak dilarang, tapi tamak yang merusak dan berbahaya.
Karena itulah, keseimbangan antara syukur dan usaha menjadi inti ajaran Islam dalam memandang dunia. Dunia bukan tujuan akhir, melainkan jalan menuju kebaikan yang lebih besar.
Jika seseorang mampu menjaga hatinya dari tamak dan mengisinya dengan syukur, maka ia telah memegang kunci ketenangan sejati. Sebab pada akhirnya, kebahagiaan bukan ditentukan oleh seberapa banyak yang dimiliki, tapi seberapa besar rasa cukup dalam hati. (*)
Wallohu`alam
KEYWORD :Keutamaan bersyukur Bahaya tamak Hikmah bersyukur Islam