
Legislator DR. I Wayan Sudirta, SH., MH. Foto: Ist
JAKARTA, Jurnas.com – Legislator yang juga kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Dr. I Wayan Sudirta, SH., MH., membuat catatan 55 tahun meninggalnya Presiden Pertama RI Ir. Soekarno, 21 Juni 1970 – 21 Juni 2025.
Dalam catatan yang diterima jurnas.com, Minggu (22/6/2025), Anggota Komisi III DPR RI tersebut memulai tulisannya tentang Bung Karno dengan kisah Sutasoma yang digambarkan sebagai putra Raja Mahaketu dari Hastina dan keturunan Pandawa yang memilih mengorbankan dirinya dimakan raja raksasa untuk menyelamatkan orang lain.
Dalam kisah tersebut, digambarkan bahwa para dewa seperti Brahma, Wisnu, dan Iswara sering menjelma menjadi raja-raja di dunia. Kini, di zaman Kaliyuga, Sri Jinapati (Buddha) turun ke bumi untuk meredakan kemarahan Kala.
Ini Alasan Sepak Bola Sangat Digemari di Dunia
Sutasoma yang merupakan titisan Sri Jinapati, memilih meninggalkan kehidupan istana. Ia menjadi seorang pertapa dan menjalani hidup spiritual.
Suatu hari, para pertapa diganggu oleh Porusada, raja raksasa pemakan daging manusia. Mereka memohon bantuan Sutasoma untuk membunuh raksasa itu, tetapi ia menolak. Setelah mencapai kemanunggalan dengan Buddha Wairocana melalui olah spiritualnya, Sutasoma akhirnya kembali ke istana dan dinobatkan sebagai Raja Hastina.
Sementara itu, Porusada yang menderita sakit parah di kakinya, bernazar akan mempersembahkan seratus raja sebagai santapan Batara Kala jika ia sembuh. Namun, Sutasoma bersedia mengorbankan dirinya untuk disantap Kala, asalkan seratus raja itu dibebaskan. Kerelaan ini sangat menyentuh hati Kala, dan bahkan Porusada pun terharu.
Dewa Siwa, yang selama ini menitis dalam tubuh Porusada, akhirnya meninggalkan raksasa itu. Ia menyadari bahwa Sutasoma adalah Buddha sendiri. Dari sinilah lahir filosofi: "Mangka Jinatwa lawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa" yang berarti Hakikat Buddha dan hakikat Siwa adalah satu, berbeda dalam perwujudan luarnya (eksoteris) tetapi secara mendalam (esoteris) adalah sama. Tidak ada dualisme dalam kebenaran agama.
Ini 5 Hal Tentang Iran yang Perlu Kamu Ketahui
Istilah Pancasila yang juga ditemukan dalam karya Mpu Tantular ini, sejatinya berakar pada lima hukum moral ajaran Buddhis. Seperti yang diungkapkan, "Pancasila ya gegen den teki away lupa" yang berarti "Pancasila harus dipegang teguh jangan sampai dilupakan."Salah satu sila dari Pancasila Buddhis adalah larangan untuk membunuh sesama makhluk hidup ("Panapati vermanai sikkapadam samadiyami"). Prinsip inilah yang kiranya menjiwai kisah pengorbanan Sutasoma dan, di kemudian hari, menginspirasi pilihan moral Bung Karno untuk rela dirinya sendiri "tenggelam" demi menjaga keutuhan bangsa dan negara yang sangat dicintainya.
Spiritualitas Bung Karno
Meskipun Bung Karno mengambil inspirasi konsep nasionalisme dari pemikiran Ernest Renan, nasionalisme Indonesia sesungguhnya memiliki pijakan historis yang jauh lebih kokoh. Landasan ini tak hanya baru muncul pada abad ke-19, melainkan telah tertanam sejak era keemasan Majapahit. Melalui karya-karya seperti Mpu Tantular, bangsa ini tidak hanya mengembangkan strategi politis untuk mengelola pluralisme agama, tetapi bahkan telah merumuskan landasan teologis yang jauh lebih mendalam.
Bung Karno sendiri, dalam perjalanan spiritualnya, bisa dibilang "berdialog spiritual" dengan Mpu Tantular. Dari dialog inilah, Bung Karno mengembangkan kesadaran yang kini sering disebut oleh para teolog sebagai philosophia perennis. Ini adalah keyakinan mendalam bahwa kebenaran abadi sejatinya berada di pusat semua tradisi spiritual, tak peduli apakah itu disebut sanatha dharma dalam Hinduisme, al-hikmah al-khalidah dalam sufisme Islam, atau logos spermatikos (benih sabda Ilahi) dalam pemikiran patristik Kristen.
Esensinya adalah bahwa kebenaran itu satu dan tak terbagi, meskipun ia menjelma dalam simbol-simbol yang secara lahiriah (eksoteris) tampak berbeda-beda. Prinsip kasunyatan (kebenaran sejati) dari Mpu Tantular ini, oleh Bung Karno, diterjemahkan menjadi “Ketuhana yang berkebudayaan” atau” Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila.” Seiring dengan itu, seloka Bhinneka Tunggal Ika pun dibaptiskan ke dalam lambang negara.
Dengan sila pertama ini, Bung Karno secara cerdas membebaskan bangsa Indonesia dari "keharusan menantikan pesawat penyelamat dari Moskwa atau seorang kalifah dari Istanbul." Artinya, Indonesia tidak menjadi negara Islam, karena hal itu akan bertentangan dengan realitas kemajemukan bangsa. Namun, Indonesia juga bukan negara sekuler, sebab hal itu akan berlawanan dengan detak jantung sanubari rakyatnya yang sangat religius. Ini adalah bukti genius Bung Karno dalam meramu ideologi yang secara fundamental sesuai dengan karakter dan keberagaman Indonesia.
Perjalanan Perjuangan dan Pengorbanan Bung Karno
Jauh sebelum ia menjadi arsitek bangsa, Bung Karno muda telah menapaki jalan perjuangan yang penuh liku. Gagasan-gagasan visionernya tentang kemerdekaan, nasionalisme, dan persatuan Indonesia telah tumbuh subur sejak usia belia.
Ia adalah seorang pemikir yang cemerlang, menggali inspirasi dari berbagai ideologi dunia, namun selalu menyaringnya melalui lensa keindonesiaan. Pemikiran-pemikirannya, seperti Marhaenisme yang merangkul nasib rakyat kecil, atau konsep Trisakti yang menuntut berdikari dalam politik, ekonomi, dan budaya, adalah bukti nyata kedalaman intelektualnya. Namun, perjalanan ini tidaklah mudah.
Sejak masa mudanya, Bung Karno telah merasakan pahitnya penindasan kolonial. Penjara dan pengasingan menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangannya. Ia pernah dibuang ke Ende, Flores, pada tahun 1934, dan kemudian ke Bengkulu pada tahun 1938.
Di tempat-tempat terpencil itu, jauh dari pusat pergerakan, ia tetap gigih menggembleng diri, merenungkan nasib bangsanya, dan merumuskan strategi perjuangan. Bahkan dalam pengasingan, semangatnya tak pernah padam.
Ia mengubah keterasingan menjadi ruang kontemplasi, mengasah kembali gagasan-gagasannya tentang Indonesia merdeka yang berdaulat. Pengadilan demi pengadilan ia hadapi dengan tegar, menjadikan mimbar pengadilan sebagai arena untuk menyuarakan kebenaran dan menuntut kemerdekaan bangsanya. Setiap vonis pengasingan dan pemenjaraan adalah bukti pengorbanan personalnya demi cita-cita yang lebih besar.
Di hari-hari terakhirnya, Bung Karno, sang arsitek bangsa, harus menapaki via dolorosa—jalan sengsara yang penuh duri—dalam sebuah "karantina politik". Sendiri, terasing, dan sepi, terlepas dari gemuruh puja-puji yang pernah mengiringi langkahnya.
Bukanlah rahasia lagi, sebuah pengkhianatan senyap merayap, sebuah "creeping coup d`etat" yang dirancang dengan sistematis dan keji, secara perlahan namun pasti menjatuhkan sang Proklamator.
Namun, di tengah kesunyian itu, Bung Karno tetaplah sang Bapak yang mencintai seluruh rakyatnya, bahkan ketika badai pengkhianatan menerjang dari segala penjuru, dari orang-orang yang dulu setia di sekelilingnya. Kala itu, Indonesia, ibu pertiwi yang dicintainya, berada di ambang jurang kehancuran. Badai fitnah mengganas, ancaman perang saudara menganga lebar, seolah seekor harimau lapar siap memangsa anaknya sendiri.
Dan di momen paling genting itu, dengan jiwa seorang pahlawan sejati, Bung Karno memilih jalan pengorbanan yang luhur, layaknya Sutasoma. Ia menyerahkan dirinya sendiri, rela tenggelam dalam pusaran intrik dan kekuasaan, demi satu tujuan mulia: keutuhan bangsa dan negara yang begitu dicintainya. "Cak Ruslan, saya tahu saya akan tenggelam," ujarnya dengan ketegasan yang pilu kepada Ruslan Abdulgani, "Tetapi ikhlaskan Cak, biar saya tenggelam asalkan bangsa ini selamat, tidak terpecah belah!" Sebuah pernyataan yang menggetarkan, mengukir abadi kebesaran jiwa seorang pemimpin yang memilih pengorbanan personal demi keselamatan jutaan anak bangsanya.
Maka Bung Karno menempuh jalan ahimsa (tanpa kekerasan), ketika drama pengalihan kekuasaan itu bahkan hanya berlangsung 2-3 babak saja. Semua berjalan begitu cepat dan rapi. Sang Penyambung Lidah Rakyat pun akhirnya tenggelam, meskipun Orde Baru yang "menjambret" kekuasaannya tidak pernah mampu menguburkan pengaruhnya yang besar.
Jiwa Abadi Bung Karno
55 tahun yang lalu, tepatnya pada 21 Juni 1970 Presiden Sukarno meninggal dunia. Hari-hari akhir hidupnya dijalani dengan memilukan sebagai tahanan rumah di Istana Bogor dan di Wisma Yaso (kini Museum Satria Mandala), setelah ia digulingkan pada Maret 1967 dengan naiknya Jenderal Soeharto sebagai Presiden.
Bagi Bung Karno, Sutasoma adalah cermin bagi Indonesia itu sendiri. Sebuah gugusan kepulauan yang dihuni oleh ratusan suku, bahasa, dan keyakinan, yang jika dilihat dari permukaan tampak terpisah, namun di kedalaman jiwanya terikat oleh benang persatuan yang tak terlihat. Ia memahami bahwa kekuatan Indonesia terletak pada kemampuannya merayakan perbedaan tanpa terpecah-belah, mencari titik temu di tengah segala disparitas.
Jiwa abadi Bung Karno, yang menyerap kearifan Sutasoma dan menerjemahkannya kedalam visi kebangsaan, adalah warisan yang tak ternilai. Ia mengajarkan kita bahwa keberagaman bukanlah kutukan, melainkan anugerah yang harus dirawat. Bahwa persatuan sejati lahir dari pemahaman akan esensi yang satu di balik segala perbedaan. Dan bahwa kepemimpinan sejati adalah tentang pengorbanan demi kepentingan yang lebih besar, demi keselamatan sebuah bangsa.
Di tengah tantangan zaman yang terus berubah, di mana polarisasi dan perpecahan kerap mengancam, nyala jiwa Bung Karno dan semangat Sutasoma menjadi semakin relevan. Ini adalah panggilan untuk kembali meresapi nilai-nilai persatuan dalam perbedaan, untuk memahami bahwa di balik segala atribut lahiriah, kita semua adalah bagian dari satu "Indonesia." Itulah esensi jiwa abadi Bung Karno, yang akan terus membimbing langkah kita dalam menjaga keutuhan dan keberagaman negeri ini.
Beberapa ajaran dan pemikiran Bung Karno yang tetap relevan untuk Indonesia di masa depan dalam menghadapi tantangan zaman antara lain:
Pancasila sebagai Dasar Negara: Pancasila, sebagai buah pemikiran mendalam Bung Karno, adalah tiang penyangga keberagaman Indonesia. Nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial adalah kompas moral yang tak lekang oleh waktu. Dalam menghadapi tantangan ideologi global dan polarisasi internal, Pancasila akan selalu menjadi benteng pertahanan bangsa.
Bhinneka Tunggal Ika, sebagai sebuah semboyan yang diangkatnya dari kakawin Sutasoma ini adalah fondasi persatuan di tengah perbedaan. Di era informasi yang serba cepat dan mudah memicu perpecahan, pemahaman mendalam tentang "berbeda-beda tetapi tetap satu jua" menjadi krusial untuk menjaga harmoni sosial dan keutuhan bangsa.
Konsep berdikari dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya adalah panggilan untuk mandiri dan tidak mudah didikte oleh kekuatan asing. Di tengah arus globalisasi dan persaingan ekonomi yang ketat, semangat berdikari mendorong inovasi, kemandirian ekonomi, dan pelestarian identitas budaya bangsa.
Nasionalisme yang Humanis, nasionalisme ala Bung Karno bukanlah nasionalisme yang sempit dan eksklusif, melainkan nasionalisme yang humanis dan universal. Ia mencintai bangsanya, namun juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian dunia. Dalam konteks hubungan internasional saat ini, ajaran ini mengingatkan kita untuk menjadi bagian dari solusi global, bukan bagian dari masalah.
Semangat Anti-Kolonialisme dan Anti-Imperialisme. Meskipun secara fisik kolonialisme telah berakhir, bentuk-bentuk penjajahan baru dalam wujud hegemoni ekonomi dan budaya masih terus ada. Semangat anti-kolonialisme Bung Karno tetap relevan untuk mendorong bangsa Indonesia berani menentukan nasibnya sendiri, menolak segala bentuk dominasi, dan memperjuangkan keadilan global.
Sang Proklamator, Bung Karno bukan hanya seorang pemimpin, melainkan seorang visioner yang jauh melampaui zamannya, seorang pejuang yang rela mengorbankan segalanya demi tanah air tercinta.
“Di setiap sudut negeri ini, gema pidatonya masih terdengar, semangat perjuangannya masih terasa, dan warisan pemikirannya terus membimbing langkah kita,” kata I Wayan Sudirta.
“Mengenang Bung Karno bukan sekadar mengenang pribadi, melainkan meresapi kembali nilai-nilai luhur yang ia tanamkan: persatuan, kemerdekaan, keadilan sosial, dan keberanian untuk berdiri tegak di hadapan dunia. Semoga jiwa abadi Bung Karno senantiasa menjadi suluh bagi perjalanan bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih gemilang.”
KEYWORD :Jiwa Abadi Soekarno Bung Karno Soekarno