Minggu, 22/06/2025 03:32 WIB

Larangan Merusak Bumi dalam Al-Quran di Tengah Krisis Iklim Global

Ilustrasi krisis iklim global (Foto: Pexels/ArtHouse Studio)

Jakarta, Jurnas.com - Di tengah dunia yang makin riuh oleh berita perang, kegaduhan politik, dan algoritma yang memelintir kesadaran, sebuah suara pelan namun mendalam muncul dari penjuru bumi, bergema dari 77 negara, disuarakan dalam 87 bahasa: kami takut. Mereka bukan elite politik, bukan pula ilmuwan bergelar PhD, melainkan manusia biasa yang kini merasa masa depannya digadaikan oleh krisis yang mereka tak ciptakan: krisis iklim.

Suara itu termaktub dalam survei global "People’s Climate Vote 2024" yang diluncurkan oleh UNDP. Dari 73 ribu responden, mayoritas mengaku lebih cemas dibanding tahun lalu, demikian dikutip NU Online. Bukan hanya karena konflik geopolitik atau lonjakan harga pangan, melainkan karena perubahan cuaca yang kian ekstrem. Menurut mereka, bumi kini tak lagi terasa seperti rumah, melainkan ancaman yang mendekat bagi penghuninya.

Seolah semesta telah memberi peringatan keras: suhu rata-rata global tahun ini sudah menembus 1,52°C di atas era pra-industri—angka yang mendekati batas maksimum Perjanjian Paris. Jika tren emisi tak berubah, pada awal 2028, umat manusia akan melampaui "jatah karbon" terakhir untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5°C. Waktu yang tersisa: kurang dari tiga tahun. Peringatan tegas ini datang dari laporan terbaru Indicators of Global Climate Change, penilaian tahunan terhadap "tanda-tanda vital" planet kita, demikian dikutip Earth.

Namun jauh sebelum laporan ilmiah tersebut terbit, seperti dirujuk dari laman Nahdlatul Ulama, kitab suci umat Islam, Al-Quran telah mengingatkan dengan tegas: “Janganlah kalian membuat kerusakan di bumi.”

Ekoteologi Islam, Ketika Alquran Bicara Soal Lingkungan

Dalam Al-Qur’an, larangan merusak bumi bukan sekadar perintah moral, tapi bagian dari sistem keyakinan yang menempatkan manusia bukan sebagai pemilik, melainkan sebagai penjaga (khalifah). Dalam surat Al-Baqarah [2]:11, Allah berfirman:

“Apabila dikatakan kepada mereka: Janganlah berbuat kerusakan di bumi, mereka menjawab: Sesungguhnya kami hanya orang-orang yang melakukan perbaikan.”

Imam Thabari menjelaskan bahwa “kerusakan” di sini mencakup maksiat dan kemunafikan. Dalam konteks modern, ini mencakup tindakan eksploitasi alam yang berlebihan, pembakaran hutan, pencemaran laut, hingga perampasan sumber daya demi keuntungan jangka pendek—semua dilakukan atas nama "kemajuan" atau "kebutuhan pembangunan".

Pertanyaannya, jika bumi rusak demi perbaikan, perbaikan untuk siapa? Jika didasarkan untuk kemajuan, kemajuan untuk apa dan siapa? Jika tujuan mengeruk bumi didasarkan demi meningkatkan pendapatan, lalu pendapatannya untuk siapa, kalangan mana? Jika maksudnya untuk mensyukuri anugerah alam, kenapa cara mengeksplorasinya harus melalui perusakan? Kenapa efeknya harus menyesakan alam dan makhluk yang mendiami serta bergantung kepadanya?

Dalam surat Al-Baqarah [2]:205, Allah kembali mengecam perusak lingkungan:

“Apabila berpaling, dia berusaha menimbulkan kerusakan di bumi dan membinasakan tanam-tanaman dan hewan ternak. Allah tidak menyukai kebinasaan.”

Tafsir klasik menyebutkan bahwa orang-orang yang merusak ladang, membunuh hewan, atau menjarah hutan adalah pelaku fasad—kerusakan yang tak hanya mengundang laknat, tapi juga hukuman kolektif, seperti kekeringan dan gagal panen. Sebuah gambaran yang kini makin relevan ketika kita melihat bencana ekologis yang terjadi berulang: dari banjir bandang, kebakaran hutan, hingga krisis pangan akibat iklim ekstrem.

Ketika atmosfer dipenuhi karbon dan laut menelan garis pantai, apakah itu bukan bagian dari "maksiat zaman modern"?

Kemudian, dalam surat Al-A’raf [7]:56, Allah mengingatkan:

“Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah ia diciptakan dengan baik.”

Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menafsirkan ayat ini sebagai larangan mencemari ekosistem yang telah Allah ciptakan dalam keseimbangan sempurna. Ketika hutan ditebang, sungai dikotori, atau udara dicekik asap industri, manusia sedang mencederai harmoni ciptaan Tuhan.

Bumi adalah tanda kebesaran (ayatullah)—bukan sekadar objek konsumsi. Bumi juga bukan hanya sebagai objek eksploitasi atau pengejawantahan nafsu, keserekahan segelintir manusia atau kelompok.

Surat Al-Mulk [67]:15 mengingatkan manusia bahwa bumi ditundukkan bukan untuk dirusak, tapi dijelajahi dengan penuh syukur:

“Dialah yang menjadikan bumi mudah bagi kalian. Maka berjalanlah di penjuru-penjurunya dan makanlah dari rezeki-Nya.”

Namun setiap nikmat datang bersama tanggung jawab. Syekh Wahbah Az-Zuhaili menyebut bahwa bumi adalah ladang ujian, tempat perilaku manusia diamati oleh Tuhan. Maka kebebasan yang kita miliki dalam memanfaatkan sumber daya alam bukanlah hak absolut, tapi uji kesadaran moral.

Selain itu, dalam surat Al-A’raf [7]:85, disampaikan pesan yang sangat sosial-ekologis:

Artinya: Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka, Syu`aib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman".

Tafsir Marah Labib karya Syekh Nawawi Banten menjelaskan bahwa kerusakan bisa lahir dari ketidakadilan ekonomi: penipuan, korupsi, dan kerakusan. Ini adalah pengingat bahwa keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis berjalan beriringan.

Akhirnya, Pertanyaan Itu Datang: Apakah Kita Sedang Memperbaiki atau Memperhalus Kerusakan? Krisis iklim bukan sekadar fenomena alam. Ia merupakan cermin moral umat manusia. Ketika laut menghitam, ketika air sungai meredam pemukiman, ketika suhu membakar ladang dan kota, ketika anak-anak lahir dalam dunia yang tak pasti, itu bukan bencana alam semata—tapi hasil pilihan kita.

Al-Qur’an telah lama memberi arah: jagalah bumi, karena ia bukan milikmu. Ia adalah amanah Tuhan, yang akan dimintai pertanggungjawaban.

Pada akhirnya, semua ini bukan hanya seruan untuk bertobat secara individu, tetapi panggilan kolektif untuk kembali ke posisi kita yang sebenarnya: sebagai tamu di rumah Tuhan, bukan pemilik yang bebas merusak. Karena bumi bukan warisan yang bisa diwariskan sesuka hati, melainkan amanah yang akan ditagih pertanggungjawabannya. Dan jika bumi ini adalah ayat yang terhampar, maka setiap kebohongan dan keserakahan yang kita tanam di dalamnya akan tumbuh menjadi bencana yang tak bisa lagi kita tepis.

Kita mungkin bisa menipu statistik dan membungkus krisis dengan retorika "pembangunan hijau", tetapi bumi tak bisa ditipu. Ia mengingat, dan ia membalas. Dalam situasi seperti ini, suara-suara dari langit—melalui ayat suci—tidak lagi terdengar sebagai metafora, melainkan sebagai peringatan yang sangat nyata. Mungkin, sebelum dunia benar-benar terbakar, kita perlu mendengar kembali suara itu: larangan merusak bumi, dari Tuhan yang menciptakannya, untuk seluruh makhluk yang menumpang hidup di atasnya. (*)

Wallohu`alam

Sumber: Nu Online

 
KEYWORD :

Krisis Iklim Larangan Merusak Bumi Al-Quran Lingkungan Ekoteologi Islam




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :