Sabtu, 21/06/2025 02:53 WIB

Kisah Raja Sunda Takluk oleh Al-Quran dan Sosok Subang Larang

Raja Sunda Prabu Siliwangi terkesima oleh lantunan Al-Quran dari sosok berparas cantik Nyi Subang Larang

Ilustrasi ketika Prabu Siliwangi luluh oleh lantunan Al-Quran santriawati Karawang, Nyi Subang Larang (Foto: Theasianparent)

Jakarta, Jurnas.com - Di tengah dinamika politik dan spiritual abad ke-15, satu peristiwa di pesantren Syekh Quro di Rengasdengklok menandai titik balik penting dalam sejarah Sunda. Seorang raja besar yang semula datang dengan amarah, pulang membawa benih toleransi. Itulah yang terjadi saat Prabu Siliwangi bertemu Subang Larang, murid pesantren yang kelak membuka jalan masuknya Islam ke lingkungan istana.

Peristiwa ini bukan sekadar kisah cinta. Ini adalah momen ketika tatanan spiritual di kerajaan Pajajaran atau tataran Sunda dan ajaran Islam untuk pertama kalinya berinteraksi langsung dalam ruang kekuasaan. Berikut adalah ulasannya yang dikutip dari berbagai sumber.

Syekh Quro dan Gelombang Baru Spiritualitas di Barat Pulau Jawa

Pada masa itu, Syekh Quro — ulama kelahiran Cina bernama asli Haji Hasanuddin — mulai dikenal di pesisir utara Jawa Barat sebagai penyebar Islam yang menggunakan pendekatan pendidikan. Ia mendirikan pesantren di Karawang dan mengajarkan Al-Qur’an kepada para santri lokal, termasuk putri bangsawan dari Cirebon, Nyi Subang Larang.

Namun kehadiran pesantren itu tidak diterima dengan tangan terbuka oleh semua pihak. Raden Pamanah Rasa (Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi ke-3/4) yang kala itu memimpin Kerajaan Pajajaran, merasa terganggu oleh pengaruh ajaran baru yang menjangkau wilayah kekuasaannya.

Menurut K.H. Said Aqil Siradj, Prabu bahkan sempat berniat membunuh Syekh Quro. Namun, niat itu berubah ketika ia mendengar suara lantunan Al-Qur’an dari seorang santri perempuan — yang kelak diketahui sebagai Subang Larang.

Dari Ancaman ke Diplomasi: Subang Larang sebagai Jembatan Dua Peradaban

Transformasi Prabu Siliwangi bukanlah karena debat teologis atau kekalahan politik, melainkan karena pengalaman spiritual mendengar ayat Al-Qur’an dibaca oleh seorang perempuan santri. Perempuan yang tidak hanya pintar, tetapi juga berprinsip.

Subang Larang menetapkan syarat tegas jika ingin dinikahi oleh Prabu: ia tidak akan melepaskan keislamannya, dan maskawin pernikahan harus berupa “Lintangkerti” — tasbih langka yang hanya bisa diperoleh di Arab. Menurut cerita lisan yang dikutip dari Said Aqil, Prabu menyanggupi syarat itu dan berhasil membuktikan kesungguhannya.

Pernikahan mereka bukan hanya penyatuan dua individu, tapi juga menjadi ruang diplomasi spiritual antara istana Pajajaran dan nilai-nilai Islam. Subang Larang tetap menjadi Muslimah, dan diberi ruang mendidik anak-anaknya secara Islam.

Islam Tidak Menumbangkan Pajajaran, Tapi Menyelinap lewat Anak-anaknya

Uniknya, Prabu Siliwangi tidak serta-merta memeluk Islam. Namun, ia tidak menutup pintu bagi anak-anaknya untuk mempelajarinya. Dari sini, kita melihat pola penyebaran Islam yang tidak konfrontatif, melainkan melalui akses budaya, keluarga, dan pendidikan.

Dari pernikahan ini lahir tiga tokoh penting yang menjadi penggerak dakwah Islam di Tatar Sunda: Ki Kuwu Cirebon (Walangsungsang), Prabu Kian Santang (Syekh Rahmatullah), dan Nyimas Rara Santang, yang menjadi ibu dari Sunan Gunung Jati, Wali Songo yang kelak mengislamkan Jawa Barat.

Hal ini sejalan dengan catatan dalam Sejarah Pajajaran (Saleh Danasasmita, 1997), bahwa Islam masuk bukan melalui perang, tapi melalui pernikahan politik dan diplomasi spiritual yang subtil.

Transformasi Kekuasaan Lewat Jalur Intelektual dan Perempuan

Jika banyak kerajaan Islam berdiri dengan kekuatan militer atau perdagangan, maka Cirebon tumbuh dari pendidikan pesantren dan keberanian seorang perempuan santri. Subang Larang tidak memaksa, tapi konsisten dengan keyakinan.

Ia adalah simbol keberhasilan dakwah berbasis integritas dan kecerdasan, bukan dogma. Ketika istana besar seperti Pajajaran mulai mendengarkan lantunan Al-Qur’an di dalamnya, itu menandai awal dari perubahan struktur spiritual masyarakat Sunda.

Dari Rengasdengklok ke Nusantara

Apa yang terjadi di Karawang tidak hanya berdampak pada lokalitas. Ia menciptakan efek berantai. Subang Larang mendidik generasi yang kelak memainkan peran strategis dalam integrasi Islam dan budaya lokal di pesisir utara Jawa, dari Cirebon, Banten, hingga Demak.

Kisah ini menunjukkan bahwa sebuah ide besar bisa masuk ke pusat kekuasaan bukan lewat paksaan, tapi lewat pengalaman batin, suara yang menyentuh, dan kehadiran perempuan berilmu yang teguh pada prinsip. (*)

Sumber: UIN Sunan Gunung Djati, https://youtu.be/kUuY0CpPzQc?si=ELXfxfM3f70SCEyj, 

KEYWORD :

Sunda Prabu Siliwangi Al-Quran Nyi Subang Larang Kerajaan Pajajaran




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :