
Ilustrasi ketika Prabu Siliwangi luluh oleh lantunan Al-Quran Nyi Subang Larang (Foto: Theasianparent)
Jakarta, Jurnas.com - Di tengah masa keemasan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi dikenal sebagai raja agung yang menjunjung tinggi ajaran Sunda Wiwitan, mengedepankan harmoni kemanusiaan dengan keselarasan alam. Ia bukan hanya pemimpin politik, tetapi juga tokoh spiritual yang menjaga harmoni adat leluhur.
Namun pada suatu masa, gelombang baru mulai menyentuh Tanah Sunda melalui dakwah Islam. Salah satu episentrum awalnya berada di "pesantren" kecil atau pondok Quro yang dipimpin oleh Syekh Quro, ulama asal Tiongkok. Jejak episentrum itu, seperti makam Syeh Quro, kini berada di Pulo Bata, Desa Pulokalapa, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, demikian dikutip UIN Sunan Gunung Djati.
Syekh Quro—juga dikenal sebagai Haji Hasanuddin—menyebarkan ajaran Islam melalui pengajaran Al-Qur’an. Kehadirannya dianggap mengganggu tatanan spiritual oleh sebagian kalangan istana, termasuk Raden Pamanah Rasa (Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi ke-3/4) sendiri.
Dikisahkan, Prabu Siliwangi kala itu (pada 1421) mendengar kabar bahwa seorang ulama asing tengah mengajarkan ajaran baru yang berbeda dari keyakinan warisan leluhurnya. Ia merasa resah dan memutuskan untuk turun tangan sendiri guna menyelesaikan persoalan itu.
Dengan kemarahan yang memuncak, ia berangkat ke pesantren Syekh Quro di wilayah Rengasdengklok. Niat awalnya jelas: menghentikan penyebaran ajaran Islam dan menyingkirkan sang ulama, demikian dituturkan K.H. Said Aqil Siradj dalam pengajiannya yang diupload dalam channel CS Media, dikutip Jurnas.com pada Kamis (19/6/2025).
Namun setibanya di pesantren, suasana yang Prabu Siliwangi, temui justru jauh dari bayangannya. Bukan suara debat atau perlawanan yang terdengar, melainkan lantunan ayat suci Al-Qur’an yang lembut dan mendalam.
Suara itu begitu merdu hingga mampu meredakan gejolak dalam hati Prabu Siliwangi. Ia terdiam, bahkan terdistraksi, seolah seluruh amarahnya hilang tertelan oleh harmoni spiritual yang mengalun, terlebih ketika ia melihat paras cantik sosok yang melantunkan ayat suci Al-Qur`an.
Lantunan tersebut ternyata berasal dari seorang santriawati muda bernama Nyi Subang Larang. Ia adalah putri Ki Gedeng Tapa dari Cirebon yang sedang menuntut ilmu di bawah bimbingan Syekh Quro.
Parasnya cantik, namun bukan hanya itu yang membuat sang prabu terpikat. Kecemerlangan pikirannya dan kedalaman spiritualnya membuat Subang Larang berbeda dari perempuan lain yang pernah ditemui Prabu Siliwangi.
Kekaguman itu segera berubah menjadi cinta yang dalam. Prabu Siliwangi pun menyatakan keinginannya untuk meminangnya, namun ia tak bisa sekadar menikahinya tanpa syarat.
Syekh Quro menegaskan bahwa untuk menikahi muridnya, Prabu Siliwangi harus lebih dulu mengucapkan dua kalimat syahadat. Selain itu, ia diminta untuk membawa lintangkerti—tasbih suci yang hanya ada di Tanah Arab—sebagai maskawin.
Prabu menerima syarat itu tanpa ragu dan berniat segera menjalankannya. Ia mencoba menggunakan ilmu kesaktiannya untuk terbang, namun kali ini mantranya tidak bekerja.
Biasanya ia cukup mengucapkan "hong" untuk mengangkat tubuhnya ke udara, tapi kali ini tak ada daya. Syekh Quro lalu memberi petunjuk bahwa kekuatan sejati hanya akan hadir jika dia membaca “Bismillahirrahmanirrahim”.
Dengan sedikit ragu dan lidah yang belum terbiasa, Prabu mengucapkannya, meski masih mencampurkan "hong" di ujung kalimat. Ajaibnya, mantranya pun berhasil, dan ia terbang menuju negeri Arab untuk menunaikan misi cintanya, demikian dituturkan Aqil Siradj.
Ringkasnya, Prabu Siliwangi kembali membawa lintangkerti sebagaimana diminta. Dengan terpenuhinya syarat itu, pernikahan antara Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang akhirnya terlaksana. Kisah pernikahan ini juga turut terabadikan dalam buku Sejarah Pajajaran karya Saleh Danasasmita (1997), demikian dikutip Kumparan.
Meski pernikahan itu disebut-sebut tak menjadikan Prabu Siliwangi sepenuhnya memeluk Islam, ia memberi kebebasan penuh kepada Subang Larang untuk menjalankan dan mengajarkan keyakinannya. Dari kebijakan itu, kelak lahirlah generasi penerus yang mengubah wajah sejarah Sunda.
Anak pertama mereka, Raden Walangsungsang, menjadi pelopor berdirinya Cirebon sebagai pusat dakwah Islam. Ia dikenal bijaksana dan memiliki ilmu lahir maupun batin yang kuat.
Putra kedua, Prabu Kian Santang atau Syekh Rahmatullah, tumbuh sebagai penyebar Islam hingga ke pelosok Sunda. Ia meninggalkan jejak spiritual mendalam, bahkan dimakamkan di tempat keramat Gunung Godog, Garut.
Putri bungsu mereka, Nyimas Rara Santang, menikah dengan Sayyid Abdullah Azmatkhan dari Gujarat. Dari garis keturunannya, lahirlah Sunan Gunung Jati, salah satu tokoh penting Wali Songo yang membawa Islam ke pesisir barat Pulau Jawa.
Kisah ini bukan sekadar romantika dua tokoh besar, melainkan persilangan sejarah antara dua dunia: kekuasaan dan wahyu. Sebuah kisah tentang bagaimana cinta dan spiritualitas bisa menjadi pintu peradaban baru.
Hal serupa pernah terjadi dalam sejarah Islam ketika Umar bin Khattab—sebelum masuk Islam—tersentuh oleh bacaan Al-Qur’an dari adiknya sendiri. Dari sosok yang keras dan tegas, Umar berubah lunak dan takluk pada ayat-ayat Ilahi.
Demikian pula Prabu Siliwangi, yang luluh bukan karena kekuatan senjata, melainkan karena kekuatan iman yang mengalun dari suara Nyi Subang Larang. Lantunan Al-Qur’an itu menjadi cahaya yang menembus dinding keangkuhan dan menyinari jalan perubahan.
Dalam sejarah Sunda, peristiwa ini menjadi momen penting transisi budaya dan keyakinan. Ia membuka jalan bagi Islam untuk tumbuh berdampingan dengan kearifan lokal, bukan melalui paksaan, melainkan lewat cinta dan ketulusan. (*)
Prabu Siliwangi Al-Quran Nyi Subang Larang Kerajaan Pajajaran Santriawati