Kamis, 19/06/2025 20:46 WIB

Mengenal Tuba Ile, Ritual Sakral Penjaga Gunung Lewotobi

Tuba Ile, Ritual Sakral Penjaga Harmoni di Gunung Lewotobi

Gambar Gunung Lewotobi sedang erupsi (Foto: Katantt)

Jakarta, Jurnas.com - Gunung Lewotobi bukan hanya lanskap megah yang membelah langit Flores Timur, tetapi juga ruang sakral yang hidup dalam kesadaran budaya masyarakat adat. Di balik aktivitas vulkaniknya yang kerap memicu kekhawatiran, tersembunyi ritual tua bernama Tuba Ile atau memberi makan funung yang diwariskan turun-temurun.

Tuan tanah Suku Paka sekaligus pemilik Gunung Lewotobi, Tobias Lewotobi Puka mengatakan, Tuba Ile berarti "beri makan gunung" sekaligus "minta restu" kepada wujud tertinggi dalam kepercayaan Suku Lamaholot.

Tobias menjelaskan, maksud ritus Tuba Ile itu beri makan kepada Ile Woka, dalam hal ini Ile Lewotobi. Ritual ini sekaligus bentuk sujud untuk meminta restu, perlindungan dari Sang Pencipta yang dipandang bersinggasana di Ile Lewotobi, demikian dikutip Ekoranntt.

Ritual ini bukan sekadar permohonan keselamatan kepada alam, tetapi juga ungkapan tunduk pada Lera Wulan Tana Ekan, yang dipercaya sebagai kekuatan ilahi tertinggi. Kepercayaan ini menjadi inti dari spiritualitas masyarakat adat, yang melihat gunung sebagai perwujudan tempat bersemayam Sang Pencipta.

Dengan kata lain, Tuba Ile bukan sekadar persembahan adat, melainkan sebuah wujud komunikasi antara manusia dengan gunung yang dipercaya memiliki roh dan kehendak. Dikutip dari berbagai sumber,, ketika Lewotobi Laki-Laki menunjukkan tanda-tanda gejolak seperti letusan, gemuruh, atau kilat, masyarakat membaca itu sebagai isyarat dari alam.

Isyarat tersebut menjadi panggilan bagi para tetua adat untuk segera menggelar Tuba Ile, karena mereka meyakini bahwa gunung sedang menyampaikan pesan. Maka, ritual dijalankan dengan penuh penghormatan, sebagai upaya memulihkan harmoni antara dunia manusia dan alam gaib yang menaungi gunung.

Dikutip dari berbagai sumber, pelaksanaan Tuba Ile selalu dipimpin oleh Suku Puka, sebab mereka adalah pemilik garis keturunan laki-laki Gunung Lewotobi. Namun, mereka tidak pernah melakukannya sendiri, karena lima suku lain—Tobi, Kwuta, Wolo, Noba, dan Tapun—ikut serta demi menjaga keseimbangan yang diwariskan sejak leluhur.

Menurut Hugo Puka, kepala Suku Puka yang tinggal di Desa Nurabelen, para leluhur telah bersumpah untuk tidak meninggalkan tanah itu. Ia mengatakan bahwa mengingkari sumpah tersebut berarti mengkhianati leluhur yang dipercaya telah menjaga mereka dari generasi ke generasi, demikian dikutip Antara.

Suku Puka dianggap sebagai tuan tanah atau pemilik Gunung Lewotobi, dan karena itulah Tuba Ile selalu digelar setiap tahun sebagai bagian dari kewajiban adat. Ritual itu menjadi sarana untuk menyampaikan rasa hormat, serta permohonan maaf atas ulah manusia yang mengusik ketenteraman alam.

Hugo meyakini bahwa setiap langkah dalam Tuba Ile adalah perwujudan dari falsafah liko lapak, yaitu saling menjaga, merawat, dan melindungi sesama makhluk hidup. Prinsip ini dijalankan bukan hanya saat ritual, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa yang tetap menjunjung nilai adat.

Sebagian warga percaya bahwa letusan dahsyat yang terjadi adalah bentuk kemarahan gunung akibat adanya oknum yang melanggar kesakralan tempat itu. Namun, mereka juga yakin bahwa Tuhan dan para leluhur telah melindungi mereka, karena sampai sekarang tidak ada jejak erupsi yang mencapai Desa Nurabelen meski berada di zona merah.

Hugo menyadari bahwa sebagai tokoh adat, ia harus berpikir jernih dan bertindak untuk kebaikan bersama. Karena itu, ia selalu menjalin komunikasi erat dengan Kepala Desa Nurabelen, Lambertus Bura Puka, dan Kepala Kampung Siaga Bencana Nurabelen, Niko Kwuta, agar tradisi dan keselamatan berjalan seiring.

Cerita rakyat menyebut bahwa Gunung Lewotobi sebenarnya bernama asli Ile Bele, yang berarti Gunung Besar. Dalam legenda lokal, Ile Bele adalah nenek moyang dari dua gunung kembar: Ile Lake (Lewotobi Laki-Laki) dan Ile Wae (Lewotobi Perempuan), yang terbentuk dari kisah dua pasangan suami istri.

Kepala keluarga mereka bernama Puka dan Tobi, yang membuat perjanjian unik sebelum anak-anak mereka lahir. Jika salah satu melahirkan anak perempuan dan yang lain anak laki-laki, maka keduanya akan menjalin hubungan sebagai Mame dan Opu, yang berarti paman dan ipar dalam struktur adat.

Saat Gunung Lewotobi Laki-Laki bereaksi, tugas Suku Puka sebagai pemilik dari garis keturunan laki-laki adalah menggelar Tuba Ile. Mereka akan memimpin doa, membawa sesajen, dan mempersembahkan kurban kepada nenek moyang sebagai bentuk penghormatan dan penguatan ikatan spiritual.

Ritual ini bukan tradisi yang lahir dari kehendak manusia semata, tetapi dari sejarah panjang yang terikat dalam ikatan darah dan tanah. Dalam setiap Tuba Ile, masyarakat bukan hanya menyapa leluhur, tetapi juga menyatakan janji baru untuk terus menjaga keselarasan dengan alam.

Karena itu, Tuba Ile tidak pernah dianggap sebagai acara seremonial biasa, melainkan sebagai kewajiban hidup yang membentuk jati diri komunitas. Bahkan di tengah era modern dan ancaman bencana, masyarakat tetap percaya bahwa keseimbangan antara manusia dan alam hanya bisa dijaga lewat kesetiaan pada warisan leluhur.

Kini, Tuba Ile mulai dilirik sebagai warisan budaya tak benda yang patut dijaga dan dihargai. Namun bagi masyarakat Lewotobi, ritual ini bukan untuk dipamerkan, melainkan untuk dijalani, karena mereka percaya bahwa menjaga gunung berarti menjaga kehidupan itu sendiri. (*)

KEYWORD :

Tuba Ile Gunung Lewotobi Ritual adat NTT Erupsi gunung Lewotobi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :