Kamis, 19/06/2025 20:32 WIB

Kenapa Disebut Gunung Lewotobi? Ini Asal Usul, Mitos hingga Mistisnya

Begini asal usul nama Gunung Lewotobi serta sejarah, mitos hingga mistisnya

Gambar Gunung Lewotobi kembali erupsi (Foto: Katantt)

Jakarta, Jurnas.com - Gunung Lewotobi Laki-Laki, salah satu dari dua puncak kembar ikonik di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), kembali mengalami erupsi pada Selasa, 17 Juni 2025 pukul 17.35 WITA. Menurut laporan resmi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), kolom abu mencapai ketinggian sekitar 10.000 meter di atas puncak atau setara ±11.584 meter di atas permukaan laut.

Kolom tebal berwarna kelabu tersebut menyebar ke hampir semua arah mata angin—sebuah ciri khas letusan bermuatan tinggi. Letusan itu tidak hanya menimbulkan hujan kerikil di Desa Boru yang berjarak 6 hingga 7 kilometer dari kawah, tetapi juga menimbulkan suara gemuruh, kilatan petir, dan guntur hingga menjelang malam. Fenomena atmosfer ini menguatkan karakter letusan sebagai erupsi eksplosif bermuatan tinggi yang berpotensi membahayakan.

Sementara itu, di balik aktivitas vulkanik yang mencemaskan ini, Gunung Lewotobi menyimpan sejarah panjang yang menghubungkan sains geologi dengan mitos lokal yang diwariskan turun-temurun. Berikut adalah ulasannya yang dikutip dari berbagai sumber.

Asal-Usul Nama dan Legenda Gunung Lewotobi

Nama Lewotobi sendiri merujuk pada dua gunung kembar yang berdiri berdampingan: Lewotobi Laki-Laki dan Lewotobi Perempuan, yang dianggap sebagai simbol pasangan suami-istri yang terpisah karena pertengkaran besar.

Masyarakat percaya bahwa aktivitas gunung, termasuk letusan, merupakan bentuk kemarahan atau pertanda dari "jiwa" gunung yang terganggu oleh ketidakseimbangan antara energi maskulin dan feminin. Oleh karena itu, ritual adat kerap dilakukan sebagai bentuk komunikasi dan permohonan ampun kepada leluhur yang diyakini bersemayam di dalam gunung.

Asal-usul nama Lewotobi juga berkaitan dengan kisah dua kepala suku bernama Puka dan Tobi yang pernah hidup berdampingan. Keduanya membuat perjanjian keluarga, dan dari hubungan itu lahirlah kisah tentang dua puncak kembar yang terbentuk melalui kerja sama spiritual dan simbolik, termasuk penggunaan tempurung untuk menyempurnakan puncaknya.

Nama asli gunung ini adalah Ile Bele, yang berarti Gunung Besar, dan dalam cerita rakyat disebut sebagai nenek moyang dari dua gunung kembar saat ini. Ile Lake mewakili Lewotobi Laki-Laki, sedangkan Ile Wae merupakan sebutan untuk Lewotobi Perempuan, yang terbentuk sebagai perwujudan hubungan dua garis keturunan berbeda.

Dalam versi lain, suku Tobi membantu membentuk gunung buatan milik Puka yang terus runtuh, dengan cara menempatkan tempurung di atas puncak hingga akhirnya gunung itu berdiri kokoh dan dinamakan Lewotobi. Setelah kekuasaan berpindah ke Suku Mukin, suku Tobi mundur ke Nawokote, sementara hak atas Lewotobi tetap dimiliki oleh keturunan Puka yang kini memimpin ritual spiritual saat gunung bergejolak.

Jejak Geologi dan Sejarah Letusan Gunung Lewotobi

Secara geologis, Gunung Lewotobi terbentuk akibat subduksi antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia yang terus bergerak dan saling menekan. Tekanan ini menyebabkan terbentuknya magma yang naik ke permukaan lalu membentuk gunung api bertipe stratovolcano, dengan bentuk kerucut, lereng curam, dan puncak menjulang.

Letusan Lewotobi, khususnya Gunung Lewotobi Laki-Laki juga tercatat beberapa kali dalam sejarah, seperti peristiwa 4 November 2024 yang menewaskan sedikitnya 10 orang dan melukai puluhan lainnya. Letusan itu meluluhlantakkan desa-desa dalam radius 4 hingga 5 kilometer, dan menunjukkan betapa berbahayanya kekuatan yang tersimpan di dalamnya.

Secara ilmiah, letusan seperti ini memberikan pelajaran penting tentang pentingnya pemantauan aktivitas vulkanik di daerah subduksi aktif seperti Flores Timur. Namun, bagi masyarakat adat, letusan besar bukan hanya gejala geologis melainkan pesan dari leluhur dan simbol disharmoni yang harus segera diluruskan.

Ritual Adat dan Kepercayaan Leluhur sekitar Gunung Lewotobi

Gunung ini bukan sekadar entitas geologi, tetapi juga merupakan salah satu pusat spiritualitas masyarakat Flores Timur. Ritual adat seperti Tuba Ile masih dijalankan oleh Suku Puka dan lima suku lain yaitu Tobi, Kwuta, Wolo, Noba, dan Tapun saat gunung menunjukkan tanda-tanda "kemarahan".

Dalam ritual ini, mereka mempersembahkan sesajen untuk "memberi makan" leluhur yang dipercaya menjaga keseimbangan alam di sekitar gunung. Tradisi ini tak hanya menjadi sarana spiritual, tetapi juga menjadi upaya merawat hubungan budaya yang sudah berumur ratusan tahun.

Masyarakat juga mempercayai bahwa pendakian ke gunung ini harus disertai niat bersih dan etika adat. Misalnya, pasangan belum menikah dilarang mendaki bersama, dan perkataan kotor diyakini bisa membangkitkan murka alam.

Potensi Wisata Budaya dan Makna Spiritual Lewotobi

Lewotobi mulai dikenal luas sebagai tujuan wisata budaya dan spiritual yang kaya akan cerita dan tradisi. Wisatawan yang datang tidak hanya disuguhi pemandangan indah, tetapi juga pengalaman mendalam tentang bagaimana masyarakat lokal menjaga keseimbangan antara manusia, mitos, dan alam.

Pemerintah daerah dan komunitas lokal kini mulai merancang konsep wisata berkelanjutan yang tak hanya menjual keindahan lanskap, tetapi juga kekayaan nilai budaya dan tradisi spiritual yang masih hidup. Gunung ini pun menjadi laboratorium alam bagi para akademisi yang ingin menggali hubungan antara geologi, antropologi, dan spiritualitas.

Dengan semua kisah dan kekuatannya, Gunung Lewotobi tak hanya menjadi penjaga bumi di Timur Flores, tetapi juga menjadi simbol tentang bagaimana manusia dan alam seharusnya hidup dalam harmoni. (*)

 

KEYWORD :

Erupsi Gunung Lewotobi Sejarah Gunung Lewotobi Letusan Gunung Leowotobi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :