
Jurnalis perempuan Islamic Republic of Iran Broadcasting (IRIB), Sahar Emam (Foto: englishalmayadeen)
Jakarta, Jurnas.com - Di tengah intensitas konflik yang kian memuncak di Asia Barat, sejarah mencatat satu bab heroik yang tidak lahir dari medan perang bersenjata, melainkan dari sorotan kamera dan ruang siar yang menjadi medan juang baru.
Bukan peluru, melainkan narasi dan keberanian yang menjelma senjata. Di antara gempuran rudal dan gelombang propaganda, satu nama bersinar sebagai simbol keteguhan, yaitu Sahar Emami.
Pada malam Senin, 16 Juni, kantor pusat Islamic Republic of Iran Broadcasting (IRIB) menjadi sasaran serangan brutal dari militer Israel.
Namun, di tengah puing dan dentuman ledakan, justru muncul satu sosok perempuan yang tidak mundur selangkah pun. Sahar Emami, penyiar berita IRIB, tampil bukan sekadar sebagai pembaca naskah, tetapi sebagai penjaga suara bangsa.
Alih-alih bersembunyi, Emami justru kembali ke layar kaca, menghadapi lensa kamera dengan ketenangan dan tekad yang membakar.
Dilansir dari Fars News, dengan suara tegas ia menyampaikan kepada publik bahwa ini bukan hanya serangan terhadap bangunan media, melainkan terhadap nilai kebebasan dan kebenaran.
"Kami akan terus bekerja," ucapnya.
"Yang mereka targetkan bukan hanya studio berita, tetapi juga hak menyuarakan keadilan," tambahnya.
Ledakan kedua mengguncang tak lama setelah itu, namun keberaniannya tak surut. Dengan keteguhan, ia kembali muncul di layar, mengobarkan semangat bersama rekan-rekan jurnalisnya. Bagi mereka, melaporkan kebenaran bukan sekadar pekerjaan, tetapi bentuk perlawanan.
Sahar Emami kemudian menegaskan dalam wawancara dengan media lokal bahwa Israel telah salah menilai tekad para jurnalis Iran.
“Mereka pikir kami akan takut. Justru sebaliknya, semangat kami kini semakin membaja,” ungkapnya.
Pimpinan IRIB, Peyman Jebeli, dalam pernyataan resminya menyebutkan bahwa serangan itu menegaskan betapa besar kekhawatiran musuh terhadap pengaruh media.
“Yang diserang adalah kekuatan pesan. Tapi kami takkan berhenti menyuarakan nurani umat manusia,” ujarnya.
Kini, studio siaran bukan sekadar tempat bekerja, melainkan pos pertahanan narasi. Dan para penyiar seperti Sahar Emami telah menjadi pejuang di garis depan, melawan hegemoni dengan kata-kata dan kejujuran.
Zionis menyerang bukan semata karena bangunan, melainkan karena pesan yang disampaikan. Mereka ingin membungkam gelombang suara yang menelanjangi mitos keamanan dan kekuatan mereka.
Namun IRIB dan jurnalisnya justru membalikkan serangan itu menjadi bukti: ketakutan kini berpindah arah.
Apa yang menimpa IRIB tak bisa dibaca hanya sebagai bagian dari konflik militer. Ini adalah manifestasi ketakutan rezim terhadap kekuatan narasi dan suara publik.
Serangan terhadap media adalah pengakuan bahwa perang kini bukan hanya soal senjata, tapi tentang siapa yang menguasai cerita.
Hari ini, Sahar Emami bukan sekadar seorang penyiar. Ia menjadi lambang dari keberanian yang tak tergoyahkan. Di tengah teror dan ancaman, ia berdiri tegak, menyuarakan kebenaran dan membakar semangat perlawanan.
Dalam bayang-bayang asap dan kehancuran, suaranya menjadi cahaya. Dalam kekacauan geopolitik, keberaniannya menjadi petunjuk arah. Dan dalam pusaran sejarah, nama Sahar Emami akan hidup sebagai simbol perlawanan yang tak bisa dibungkam.
KEYWORD :Sahar Emami Perang Media Jurnalis Iran