Rabu, 18/06/2025 05:36 WIB

Mengenal Ayatollah Ali Khamenei, Sosok Sentral Republik Islam Iran

Ayatollah Sayyid Ali Hosseini Khamenei tetap menjadi tokoh sentral yang menentukan arah politik dan ideologi Republik Islam Iran

Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei (FOTO: WANA/AFP)

Jakarta, Jurnas.com - Di tengah dinamika Timur Tengah yang terus berubah, termasuk kian memanasnya konflik Israel-Iran, Ayatollah Sayyid Ali Hosseini Khamenei tetap menjadi tokoh sentral yang menentukan arah politik dan ideologi Republik Islam Iran. Sejak 1989, ia menjabat sebagai Rahbar atau Pemimpin Tertinggi, posisi paling berpengaruh dalam sistem pemerintahan Iran.

Dikutip dari berbagai sumber, peran ini menempatkannya di puncak struktur kekuasaan, mengendalikan kebijakan militer, kehakiman, media, serta arah hubungan luar negeri Iran. Dengan kewenangan seluas itu, Khamenei bukan hanya simbol keagamaan, tetapi juga pengendali utama negara.

Ia lahir pada 17 Juli 1939 di kota Mashhad dari keluarga ulama Syiah yang terpandang. Pendidikan agamanya dimulai di kota kelahirannya, lalu dilanjutkan ke Qom, pusat studi Islam Syiah yang paling berpengaruh di Iran.

Di Qom, ia berguru pada ulama besar, termasuk Ayatollah Ruhollah Khomeini yang kelak memimpin Revolusi Islam. Pertemuan dengan Khomeini menjadi kunci pembentukan pandangan ideologis Khamenei di kemudian hari.

Pada era pemerintahan Shah Mohammad Reza Pahlavi, Khamenei aktif dalam gerakan oposisi yang berujung pada serangkaian penangkapan dan pengasingan. Namun justru dari tekanan itu, ia semakin dikenal sebagai tokoh revolusioner Islam.

Setelah Revolusi Islam 1979 menggulingkan monarki, Khamenei langsung masuk ke lingkaran elit kekuasaan. Ia dipercaya menjadi anggota Dewan Revolusi dan tak lama kemudian diangkat sebagai Imam Salat Jumat Teheran.

Posisi tersebut memberinya panggung untuk menyuarakan ideologi revolusioner sekaligus memperkuat legitimasinya di hadapan publik. Peran ini menjadi batu loncatan bagi karier politiknya yang kian kokoh.

Pada 1981, Khamenei lolos dari percobaan pembunuhan yang melukai tubuh dan suaranya secara permanen. Namun di tahun yang sama, ia terpilih sebagai Presiden Iran dan menjabat dua periode selama masa krisis perang Iran-Irak.

Sebagai Presiden, ia bekerja erat dengan Perdana Menteri Mir-Hossein Mousavi dalam menghadapi tekanan ekonomi dan invasi militer Irak. Pengalaman ini memperkuat posisinya sebagai sosok yang tangguh dalam krisis.

Setelah wafatnya Ayatollah Khomeini pada 1989, Ali Khamenei ditunjuk oleh Majelis Ahli sebagai Pemimpin Tertinggi. Meski saat itu ia belum berstatus marja’, pengangkatannya menjadi awal dari era kekuasaan baru di Iran.

Sebagai Pemimpin Tertinggi, ia memiliki wewenang absolut dalam berbagai aspek pemerintahan. Ia mengontrol Garda Revolusi, sistem peradilan, militer, serta dapat menolak atau menyetujui kebijakan strategis negara.

Ia juga mengarahkan kebijakan luar negeri Iran, termasuk posisi tegas terhadap Amerika Serikat, konflik di Suriah, dan isu nuklir. Pandangannya yang anti-Barat konsisten sejak masa awal revolusi hingga kini.

Dalam retorikanya, Khamenei selalu menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai revolusioner dan menolak normalisasi hubungan dengan Israel. Ia juga mendukung kelompok-kelompok perlawanan seperti Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Palestina.

Namun di balik kekuasaan besar itu, kritik terhadap kepemimpinannya terus mengemuka. Sentralisasi otoritas pada satu figur dinilai menghambat reformasi dan memicu pembatasan terhadap kebebasan sipil.

Selama dua dekade terakhir, gelombang protes rakyat bermunculan, dari isu ekonomi hingga hak perempuan. Ketidakpuasan ini memperlihatkan ketegangan antara negara dan masyarakat dalam sistem politik yang tertutup.

Meskipun demikian, Khamenei tetap menjadi figur yang hampir tak tergoyahkan di puncak kekuasaan. Ia jarang memberi wawancara terbuka dan lebih banyak berbicara melalui pidato resmi dan tulisan-tulisan publik.

Dalam setiap pidatonya, ia menekankan ancaman “invasi budaya Barat” dan pentingnya ketahanan nasional. Bagi Khamenei, menjaga fondasi Islam adalah syarat mutlak bagi keberlangsungan Republik Islam.

Kini, di usianya yang mendekati 86 tahun, pertanyaan soal siapa penerusnya mulai mencuat. Masa depan Iran, baik secara ideologis maupun geopolitik, sangat dipengaruhi oleh warisan yang ia tinggalkan.

Meskipun konstelasi global dan tekanan internal berubah, posisi Pemimpin Tertinggi tetap menjadi poros utama sistem politik Iran. Dan selama Khamenei masih menjabat, segala keputusan besar negara hampir pasti melewati tangan dan restunya. (*)

KEYWORD :

Ali Khamenei Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :